Napasku seketika memburu kencang. Ingatanku masih sangat baik-baik saja dan aku tahu siapa yang menerobos masuk ke kamarku.
Dia berusaha mendekat, sebelum akhirnya kedua lengannya dicekal oleh para penjaga. Ia memberontak, namun semuanya sia-sia. Ia tak mampu melawan penjaga-penjaga yang berjumlah 10 orang itu. Kini dia hanya berakhir dengan lemas dan menatapku intensif.
Aku perlahan mendekatinya, membuatku meninggalkan Zevran di belakang. Aku yakin Zevran tahu maksudku, sehingga ia hanya memandangku tanpa berkata sedikit pun.
Aku tersenyum perlahan. "Tolong lepaskan dia. Aku ingin bicara dengannya." Kataku kepada para penjaga.
Para penjaga itu bergeming sesaat. Mereka kemudian melirik ke arah Zevran dan aku melihatnya mengangguk. Dengan segera mereka melepaskan tangan pria itu dan pergi keluar ruangan sembari menutup pintu.
Aku lantas men
"Apa maksudmu, Zev?" Tanyaku ketika aku menatapnya. Dia dengan tenang melangkah ke arahku. "Mereka hanya tidak boleh bebas setelah apa yang mereka lakukan padaku dan padamu. Terlebih untukmu, aku tidak akan diam saja." Aku bisa merasakan aura yang pekat dan cukup mengerikan dari setiap kata yang dikatakannya dengan penuh penekanan. Aku hanya mengangguk pasrah sebagai ganti jawaban dari perkataannya. Berdebat dengannya tidak akan membuatku menang. Justru aku sendiri juga menginginkan dalam hati bahwa suatu saat akan ada yang menuntut balas atas apa yang telah terjadi padaku. Selama 5 tahun berada dalam penyiksaan dan ancaman, aku merasakan bahwa sekarang aku akhirnya bisa bebas dari neraka yang membelengguku. Kini aku justru tengah dilindungi oleh orang yang mencintaiku. Lantas, kenapa aku harus mendebatnya lagi? Zevran menatap ke arahku dengan senyum simpul.
Aku melangkah masuk ke apartemen pribadi berlantai belasan yang bak istana ini. Aku cukup terkesan dengan interior yang mewah namun minimalis ini. Zevran memang tidak pernah salah soal selera desain. Ia selalu berhasil menghipnotisku dengan desain rumah yang cukup elegan, modern, dan ciamik. Aku melenggang masuk lebih dalam mengikuti Zevran yang telah lebih dulu masuk. Kami berdua sama-sama berhenti di ruang tengah, sebuah ruang keluarga yang cukup luas. Di sana telah menanti sekitar 8-9 asisten rumah tangga yang mengurus apartemen Zevran setiap hari. "Mari, Non." Salah satu asisten itu menawarkanku membawa koperku yang nampak berat. Aku sejenak membeku, kemudian melihat ke arah Zevran. Ia mengangguk. Aku pun menyerahkan kopernya kepada mereka, kemudian aku dibimbing menuju ke sebuah kamar tamu yang cukup bersih dan luas. "Nona Rain, di sini kamar Anda. Mohon untuk ber
Aku duduk di ujung kasur putih yang empuk. Hatiku masih berkecamuk dengan perkataan Zevran yang terakhir. 'Nina. Ada apa dengan Nina? Apa yang akan dia lakukan?' Batinku bertanya-tanya. Aku meringis. Mendadak memoriku kembali terlempar ke kejadian 5 tahun silam. -Flashback Dimulai- Aku berjalan dengan tertatih-tatih. Kadang aku juga menyeret kakiku karena tidak bisa kuangkat atau gerakkan. Rasa sakit dan perih itu masih menderaku, membuatku hanya bisa menangis tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meraba-raba pintu gudang tersebut, mencoba mencari engsel yang menahannya. Klik. Ketemu! Aku mencoba menggesernya. Tidak bergeser. Kucoba sekuat tenaga, tetap tidak bisa. Aku menyerah setelah hampir 15 menit mencoba berbagai macam cara membuka pintu gudang itu.
Bhaskara membawaku ke sebuah paviliun yang sangat jauh dari rumah utamanya. Bentuk paviliun tersebut bergaya klasik, persis seperti dari era romantik saat Jerman berada di periode pertengahan di tahun 1700-an. Ketika kami berdua masuk, hamburan debu tak terelakkan beterbangan, menandakan bahwa paviliun itu hampir tak pernah terjamah oleh manusia, bahkan oleh pembantu keluarga Dhananjaya sekali pun. Bhaskara menurunkanku di sebuah sofa panjang di ruang tamu. Sekilas sofa itu terlihat cukup bersih, sepertinya ia baru saja membersihkannya sebelum membawaku ke sini. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan, membuatku menengok sekilas dan mendapati sebuah kotak obat yang entah sejak kapan berada di sana. Bhaskara mendekat, dengan hati-hati ia membuka kotak obat tersebut, mengambil kapas dan alkohol lalu membasahi kapas dengan alkohol. Sesaat kemudian aku meringis menahan sakit saat kapas itu digunakan mengusap luka-luka di lutut dan
2001"Apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu gemetar. Air mata membanjiri pipinya yang memerah. Laki-laki di hadapannya hanya tertawa sinis. "Jangan!!! Jangan kau apa-apakan anakku!" teriaknya. Lelaki itu menjambak rambut seorang gadis kecil dan melemparnya. Gadis itu menangis. "Diam kau brengsek!!" umpat lelaki itu. Suara tangis itu tercekat. Tatapannya berubah nanar. Keringat dingin membasahi dahinya. Tak terasa sebuah getaran di hatinya memaksa untuk bertindak. Tangannya memegang sesuatu dan...BRUKKK!!! Orang itu terkapar bersimbah darah. Seorang g
Harapan untuk sebuah kebahagiaan selalu ada. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar. Apakah aku sanggup? Padahal luka ini belum kering. Luka ini selalu basah kembali, bersama hujan yang tiap kali turun....~(Rainisa Soedibjo Tunggal)~ Rain POV 2015 "Tidak!!!!" Ada seseorang yang tidak pernah bisa lepas dari mimpi buruk, bahkan setelah kejadian buruk menimpanya bertahun-tahun lamanya. Salah satunya aku. Hampir setiap hari aku mengalami mimpi yang sama. Dan hari ini, aku kembali mengalaminya. Mataku mulai membiasakan sinar matahari yang perlahan masuk dari jendela kamarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali. Dan tak lama,
Aku tidak tahu akan jadi apa hidupku di masa depan. Manusia cuma bisa berharap dan berusaha. Tuhan yang menentukan. Tapi, aku tahu satu hal. Selama sahabatku ada di sisiku, semua masalahku akan sanggup kuhadapi... ~(Milanda Revalido Sulistya)~"Tolongin gue, Rain!"Aku hanya diam saja. Mila menghambur ke pelukanku sesaat setelah ia masuk ke kafe. Aku yang tak mengerti apapun hanya menyambut pelukannya. Biarkan ia memelukku dulu. Kalau tangisnya sudah reda, Mila pasti akan cerita. Aku tahu watak Mila."Dia udah ngerebut semuanya, Rain. Semuanya! Sekarang semuanya sirna sudah. Musnah harapan. Musnah dunia!" isaknya dalam pelukanku.Aku mengernyit. Dia? Semuanya? Si
Apakah lukamu begitu dalam sehingga kau tak bisa melihatku? Apakah aku tak cukup berhasil untuk membuatmu jatuh cinta padaku?Lihatlah sejenak, Rain. Lihatlah aku. Akulah pelangi yang kau tunggu setelah hujan malam itu. Lihatlah. Meski aku tak bisa sepenuhnya menghapus luka itu, setidaknya warna baru hadir dalam hidupmu. Jangan menjadi bintang di malam kelabu, terlihat dekat, namun sangat sulit kugapai...~(Zevran Abraham Radjoan)~ Aku menoleh dan mendapati seorang pria menatap ke arahku dan Mila. Seluruh tubuhnya basah dan rambutnya yang kecoklatan berantakan. Tubuhnya tegap. Dan ia menatapku sendu."Zevran." Ucapku lirih.Mila cuma melongo. Sedangkan aku segera berdiri dan mendekati Zevran.