Share

Dimadu

Petir yang sedang menyambar di luar rumah dengan energi luar biasa, kini sampai pada hati Eriska. Wajahnya langsung memucat, suaranya berubah parau. "Apa, mas ...?" 

 

Bagas membuat garis bibirnya melengkung sesaat. "Iya, sayang. Bukankah kamu liat sendiri, ada bercak darah di atas ranjang kita. Itu milik Andin." Pria itu menyeringai.

 

Kini Eriska tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang sudah melebur hingga sebuah tetesan bening jatuh begitu saja. Namun, dia segera mengusapnya. "Apa alasan kamu melakukan ini padaku, mas?" Bibirnya bergetar hebat.

 

Bagas tertawa singkat. "Aku menginginkan seorang putra, tapi kamu tidak bisa mengabulkan keinginanku. Kamu harusnya bersyukur selama ini aku masih bertahan dan menutupi kekurangan kamu itu di depan orangtuaku." Angkuh Bagas. 

 

"Terus, kamu pikir wanita itu bisa?" tantang Eriska, dia meninggikan wajahnya dengan suara menekan.

 

Keangkuhan Bagas menipis. "Sudahlah, Andin adalah wanita sempurna berbeda dengan kamu!" pungkasnya. 

 

Bagas segera berdiri di sisi Andin lalu merangkul bahu wanita yang terlihat sedikit lebih muda dari Eriska. "Besok kami akan meminta restu pada orangtuaku, tapi ... sebelum itu aku membutuhkan restumu, sayang." Bagas kembali menyeringai. 

 

"Ini cara kamu memperlakukan aku, mas? Kamu ambil aku dari orangtua yang tulus menyayangi bagaimanapun keadaan aku, tapi ternyata tujuan kamu hanya untuk ini, iya mas?" cerocos Eriska dengan suara sendu.

 

"Aku melakukannya karena kekurangan kamu, sayang. Pria mana yang menginginkan istri mandul?" hina Bagas. Pria itu masih merangkul mesra Andin yang sedang bersandar manja di dadanya. 

 

"Itu belum pasti, mas. Hanya satu dokter yang menyatakan aku mandul. Bukannya dokter itu juga menyarankan untuk periksa ulang," protes Eriska. Istri mandul yang disematkan oleh suaminya sendiri terasa berkali lipat lebih menyakitkan dibandingkan dengan penghianatannya.

 

"Sayang ... jangan mengelak, semua sudah jelas," ucap Bagas dengan santainya. Dia segera mengelus dagu Andin di depan Eriska, lalu kembali melanjutkan obrolannya dengan Eriska, "jadi, bagaimana sayang, kamu memberi izin agar aku bisa poligami?" tanyanya tanpa ragu dan tanpa berbelas kasihan pada Eriska.

 

Eriska tengadah ke arah langit-langit untuk menahan air matanya yang mungkin banjir setelah ini, lalu kembali menatap sang suami dengan suara dan sikap tubuh dibuat seoalah tidak peduli. "Silahkan, mas. Lakukan jika itu memang mau kamu dan buktikan kalau wanita itu memang sempurna!" 

 

Bagas dan Andin mendengus tidak suka dengan tantangan Eriska. "Oke, aku akan memberikan bukti bahwa Andin bisa memberikan keturunan!" Angkuh Bagas lagi disertai percaya diri tinggi. 

 

Setelah pembicaraan itu, Eriska tidur di kamar tamu. Dia menagis meraung-raung di sana. Menumpahkan segala isi hatinya hingga tanpa jeda. 

 

Sementara Bagas dan Andin tidur di ranjang yang biasa ditempatinya bersama Eriska. Mereka bersenang-senang merayakan hubungan yang sebentar lagi akan mendapatkan kata sah. 

 

***

 

Pagi harinya Eriska berkerja rumah seperti biasanya layaknya ibu rumah tangga dan seakan kejadian semalam tidak pernah ada. Langkah kaki mesra menginjak lantai yang masih basah. "Kita mau ke rumah orangtua aku. Kamu di sini aja nggak usah ikut, aku akan bilang kalau kamu udah kasih izin buat aku poligami," ucap Bagas. Dia masih merangkul mesra Andin tanpa rasa malu sedikitpun bahkan di depan tetangga.

 

"Iya, mas." Eriska meraih tangan kanan Bagas yang mengganggur. Dia mengecup punggung tangannya seperti biasa dia lakukan. 

 

Andin memutar bola mata malas dengan sikap Eriska, dia merasa dialah nyonya rumah dan Eriska hanya pembantu yang seharusnya tidak punya hak menyentuh Bagas.

 

Bagas dan Andin pergi menaiki mobil, sedangkan Eriska masih berdiri di teras seraya memegangi gagang lap pel. Dia menatap mobil sang suami yang melaju meninggalkan luka hingga menghilang dari pandangan. 

 

"Mbak, mbak Eriska!" panggil salah satu tetangga. Wanita itu sedikit mengguncang bahu Eriska. 

 

Guncangan itu berhasil membawa Eriska kembali pada dunia. "Eu, i-iya?" 

 

"Loh ... Mbak Eriska kenapa? Eh, tadi Mas Bagas pergi sama siapa, mbak?" 

 

Eriska bergeming sesaat untuk berpikir. "Sama ... adiknya." 

 

"Hah, masa sih mbak. Kok saya liat mesra banget!" 

 

Eriska terpaksa harus menunjukan senyum palsu. "Cuma perasaan ... lagian wajar kok, kakak laki-laki mesra sama adik perempuannya. Mereka jarang ketemu," dustanya panjang lebar. 

 

"Oh ... gitu ya." 

 

Setelah hari itu Eriska sah menjadi istri pertama dan Andin istri kedua. 

 

"Sah!" Kata itu terucap dari semua tamu undangan, tidak banyak karena pernikahan Bagas dan Andin hanya dihadiri oleh kerabat dekat juga warga sekampung. 

 

Pelaminan yang seharusnya diisi berdua. Namun, pemandangan berbeda hadir. Kursi itu diduduki oleh Eriska, Bagas dan Andin. 

 

Eriska masih tersenyum manis dan anggun kala menyambut tamu yang dibuat heran setengah mati atas ketegarannya. Mereka bersalaman seperti biasanya. 

 

Bisik-bisik mengiringi musik pernikahan yang tentu saja tertuju untuk Eriska. Bahkan tetangga yang tempo hari menanyakan Andin tersentak begitu dalam setelah tahu ternyata dulu wanita itu calon madu Eriska.

 

Bersambung ....

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status