Share

Amarah Ayahnya Eriska

Setibanya di rumah, kado dari Eriska tidak langsung disimpan di kamar pengantin, tapi dia akan memberikannya secara langsung pada Andin kala dia dan suaminya pulang.

 

Sekarang waktu menunjukan tengah hari. "Halo, Mas Adam. Maaf hari ini aku nggak bisa masuk," ucap Eriska dalam saluran telepon.

 

"Iya, nggak apa-apa. Kamu istirahat aja selama beberapa hari." Suara keramaian restoran terdengar jelas di indera pendengaran Eriska yang dibawa oleh sambungan di udara.

 

Setelah menelepon, Eriska menata rumah, mengubah letak furniture di beberapa ruangan. "Biar Mas Bagas nggak bosen di rumah." Senyuman tulus terpatri dibingkai oleh wajah cantik nan memesona.

 

Ting tong

 

Lagi-lagi bel rumahnya berbunyi. "Siapa lagi?" Eriska menoleh ke arah pintu, kebetulan dia sedang berada di ruang tamu. 

 

Pintu terbuka perlahan, lalu didorong oleh seseorang diluar sana. "Nak!" Ibunya berhamburan memeluk pilu.

 

"Mama!" Eriska terperanjat menatap tamunya sekarang, "mama sama papa kok nggak bilang mau kesini?" tanyanya pada sang ayah yang sedang mematung di depan punggung istrinya yang sedang memeluk putri bungsunya.

 

Kedua orangtuannya tidak menjawab, bibir ayahnya hanya mengatup, sedangkan sang ibu masih memeluk juga mengelus punggung putrinya. "Nak ... kenapa kamu nggak bilang?" Suara lantang ibunya dibarengi tangisan.

 

Dari tangisan sang ibu, Eriska sudah bisa menebak jika kabar pernikahan Bagas sampai pada mereka. Eriska balik mengelus lembut punggung ibunya. "Mama tenang dulu ya, yuk masuk." Suara Eriska lembut dan tenang, tidak terdengar sama sekali suara hatinya yang membatin.

 

Kini mereka bertiga duduk di sofa yang sudah berubah letaknya. Eriska baru saja keluar dari dapur lalu mempersilahkan kedua orangtuanya minum. Namun, alih-alih minum justru ayahnya bertanya tegas, "Apa benar Bagas poligami!" Terdapat api di matanya.

 

Eriska masih bersikap santai, dia duduk di samping ibunya. "Papa tenang dulu, ya." 

 

"Jawab saja petanyaan papa!" Sikap tubuh ayahnya menegang dan darahnya sudah mendidih sejak kabar pernikahan Bagas sampai padanya. Eriska tidak pernah memberikan kabar buruk pada orangtuanya jadi, kabar itu bukan terlontar dari mulutnya. 

 

Eriska melirik sekejap pada ibunya yang sedang duduk di sampingnya selagi menggenggam tangan hangat wanita yang telah mengurusnya hingga dua puluh dua tahun, setelah itu tatapannya dilempar pada sang ayah. "Iya, pa." 

 

"Sialan!" Ayahnya langsung menggebrak meja, "menantu tidak tahu diri! Kenapa kamu enggak bilang ke papa! kamu menerima begitu saja!" Kalimat yang keluar dari mulut ayahnya begitu membakar, jika saja saat ini Bagas ada di hadapan sang ayah mungkin dia sudah ditelan bulat-bulat.

 

Kala ayahnya mengamuk, ibunya memegangi dada menahan sakit sekaligus kaget. "Pa ... sabar, kasian mama," ucap Eriska justru terdengar tidak lazim di telinga ayahnya.

 

"Nak, kamu ini bagaimana. Suamimu menikah lagi, kenapa kamu diam saja dan kamu juga sembunyikan hal ini dari papa dan mama!" Suara ayahnya masih lantang. 

 

"Pa ... udah, malu sama tetangga," ucap Eriska bersuara lembut dan pelan.

 

Ayahnya mendengus kesal, lalu bergeming beberapa saat. "Papa nggak terima kamu diperlakukan seperti ini oleh Bagas. Menantu tidak tahu diri, tidak tahu aturan!" Suara ayahnya belum mengecil volumenya.

 

"Udah pa ... semua udah terjadi, lagian Eriska ...."

 

"Kenapa kamu pasrah?" Ayahnya memotong kalimat Eriska.

 

"Bukankah ... suami memang boleh berpoligami. Eriska punya kekurangan yang nggak bisa diterima Mas Bagas ...," lirihnya. 

 

Seketika ayah dan ibunya tersentak. "Itu bukan alasan logis, dulu mamamu juga tidak langsung hamil, kami harus menunggu selama empat tahun, tapi papa tetap setia," bongkarnya. 

 

Eriska mengerjap. "Jadi?" 

 

Kini ibunya yang menjawab, "Iya, nak. Mungkin kamu bukan mandul, tapi belum waktunya. Dulu mama tidak percaya pada kata mandul jadi, mama sama papa sabar menunggu tanpa konsultasi atau pun cek ke dokter. Hingga akhirnya mama mengandung."

 

"Eriska juga udah bilang itu ke Mas Bagas karena dokter menyarankan pemeriksaan ulang, tapi Mas Bagas nggak mau denger ...." 

 

"Kemana dia sekarang? Biar papa bakar hidup-hidup!" Amarah ayahnya masih saja melonjak naik.

 

"Tenang, pa ... Mas Bagas beda sama papa, Mas Bagas nggak sabaran," tutur Eriska, tapi tidak menceritakan bahwa suaminya sudah mengambil kesucian Andin lebih dulu.

 

"Cih, memang laki-laki sialan!" umpat ayahnya lagi. Kebencian ayahnya begitu menggunung kepada Bagas setelah sebelumnya menjadi menantu kesayangan berkat kasih sayangnya kepada putrinya juga prestasi dalam bekerja. Kebetulan perusahaan miliknya bekerjasama dengan perusahaan ayahnya Bagas jadi, dia tahu betul kinerja menantunya itu. 

 

"Pa ... jangan ...." 

 

"Eriska!" Suara bariton seorang pria mapan memotong dan mengagetkan ketiga orang itu.

 

Bersambung ....

 

 

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status