Share

Ingin Memata-Matai Andin

Nina sudah pulang, Eriska kembali menutup pintu rapat-rapat. "Nina peduli banget sama aku, tapi maaf aku nggak mungkin cerita keluh kesah aku ke kamu." 

 

Wanita itu kembali membersihkan rumah seperti biasanya, tapi kali ini tanpa sarapan karena ketidakhadiran sang suami membuat lidahnya sangat hambar seolah mati rasa. 

 

Setelah selasai pekerjaan rumah, barulah Eriska bersantai sejenak. Baru saja bokongnya menyapa sofa yang empuk, bel kembali berbunyi. "Ya ampun, Nina." Dia terkekeh melihat kelakuan tetangga over protektifnya. 

 

Kala membuka pintu, rupanya dugaan Eriska salah. "Maaf, apa benar ini rumah Tuan Bagas dan Nyonya Andin?" tanya seorang kurir. 

 

"Eu ... iya, mas," jawab Eriska membatin. 

 

"Tolong tanda tangan di sini." Kurir menyodorkan selembar kertas dan sebuah bolpoin. Eriska melakukannya. "Ini barangnya, kiriman dari Jakarta."

 

Eriska menerima kiriman barang yang sepertinya tertuju untuk Andin. Beberapa kardus berlapis kertas cokelat itu dikemas rapih dan benar saja di sana tertulis nama Andin. Tanpa berpikir apapun Eriska segera mengantar beberapa paket itu ke dalam kamar pengantin. Dia menata rapih, jika saja dia tidak ikhlas pada pernikahan suaminya maka pasti kamar itu sudah menjadi target utama amukannya.

 

Wanita itu berdiri di ambang pintu selagi menatap kamar yang kental dengan aroma melati khas kamar pengantin, dia membuang napas perih. "Aku emang harus keluar untuk mencari suasana baru." 

 

Setelah memutuskan, Eriska mencoba bangkit dari keterpurukan. Kini dia mengendarai mobilnya yang jarang sekali digunakan karena biasanya dia pergi bersama Bagas. 

 

Eriska berbelanja, alasan yang dibuat-buat itu kini dilakukannya untuk sedikit menjahit hatinya yang diiris tipis-tipis. "Aku harus pulang sebelum Mas Bagas pulang," gumamnya di sela-sela memilih, "tapi ... kapan Mas Bagas pulang?" 

 

Otaknya kembali memutar kala mereka berbulan madu. Bagas menirukan gaya Jack kala bersama Rose di atas kapal. "Enak kan, anginnya?" ucap mesra Bagas.

 

"Sejuk, banget." Kala itu Eriska baru berusia dua puluh dua tahun, sedangkan Bagas dua puluh tujuh tahun. Sifat kekanak-kanakan Eriska sering muncul, dia juga sangat manja hingga seolah Bagas adalah ayahnya.

 

Menghabiskan dua minggu bulan madu di pulau memang menyenangkan. Hampir setiap hari mereka bulak-balik naik kapal hanya untuk sekedar merasakan hembusan angin laut yang jarang sekali ditemui. 

 

Bagas mengesampingkan pekerjaannya demi menyenangkan hati Eriska. Kala itu perusahaan masih atas nama ayahnya dan Bagas hanya sekedar membantu saja. Bisa dibilang dia juga karyawan biasa yang bernaung di bawah nama besar sang ayah. 

 

"Nanti mau punya anak berapa?" tanya Bagas layaknya pria matang yang sudah memikirkan buah hati.

 

"Hm ... berapa ya, mas?" Eriska bingung menjawab apa karena diusianya itu hingga dia masih ingin melangkah bebas tanpa menggendong seorang bayi?

 

Bagas membalik tubuh Eriska dengan hati-hati. "Kalo gitu, biar aku yang tentuin." 

 

Eriska mengerjap. "Emangnya ... mas mau aku ngelahirin berapa anak?" 

 

"Kayanya enam deh." Bagas tertawa renyah, sedangkan Eriska bergidik ngeri.

 

"Bukannya itu kebanyakan, mas," protes Eriska.

 

"Nggak kok, cukup menurut aku." Sebuah kecupan hangat mendarat begitu bebas di dahi Eriska. "Mas sayang kamu, makasih udah mau jadi istri mas." 

 

"Iya." Eriska mesem-mesem dibuatnya. 

 

"Mbak!" panggil spg toko untuk keempat kalinya. 

 

Eriska terperanjat selagi memegangi dadanya. "Eh maaf, mbak. Maaf!" paniknya. 

 

Spg hanya mengangguk. "Jadi, mau ambil warna apa?" 

 

"Satu yang putih dan satu lagi peach." Eriska sedang memilih tas, wanita itu baru mengingat jika dia belum memberikan kado pernikahan untuk suaminya dan Andin.

 

Sebuah tas dengan branded terkenal dipilihnya sebagai hadiah spesial. "Aku ga tahu warna kesukaan Andin, tapi mungkin dia suka warna peach." Tas itu bermodel sama hanya warna sebagai pembedanya, sedangkan yang putih dipakai oleh Eriska.

 

Eriska bukannya mengasihani Andin, apalagi menerimanya sebagai madu. Jujur dalam dasar hatinya, Eriska tidak pernah menerima kehadiran Andin dalam rumah tangganya. Namun, mau bagaimana lagi suaminya sudah mengambil kesucian wanita itu. 

 

Sebuah kado sudah dibungkus sedemikian cantiknya. "Aku harus lindungi kamu, mas. Aku juga harus mata-matain Andin, apa maksud Andin rela jadi istri kedua?" Eriska masih berpikir jika tujuan wanita itu adalah uang karena sebelum perusahaan Bagas naik daun, suaminya itu tidak pernah berbuat macam-macam. Kesetiaan teramat besar selalu terpancar dalam mata hitam sedikit kecokelatan.

 

Eriska masih berjalan mengitari mall, dia masih mencari benda lain yang mungkin berhasil menghiburnya sesaat. Sebuah peralatan rumah tangga dipilihnya. "Aku baru inget pisau di rumah model gambar di gagangnya udah ketinggalan zaman." Dia menelisik pada pisau bermotif indah, "mbak, ambil yang ini ya." 

 

Ternyata pisau itu satu set bersama satu lusin piring dan satu lusin gelas tidak lupa garpu dan sendoknya. "Pas banget buat ganti yang di rumah." 

 

Bahkan kala Eriska harus tinggal dengan madunya, dia masih memikirkan seisi rumah yang dibangun Bagas sebelum mereka sah.

 

Bersambung .... 

 

Desti Angraeni

Happy reading ... semoga suka sama ceritanya ....

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status