Share

Chapter 4. Kilas Balik (Permasalahan)

''Hallo ... Ada apa menghubungiku di jam kerja?" tanya Andrina dengan berbisik ketika mengangkat telpon dari adiknya.

Dia terpaksa menghentikan pekerjaan, matanya awas melongok kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat aktivitasnya.

''Halo, Kak. Bapak kambuh, obatnya juga habis. Bagaimana ini, Kak?''

Suara panik adiknya menyapa indra pendengarannya untuk pertama kali.

''Kamu tenang dulu. Buatkan air hangat untuk bapak! Nanti, sepulang kerja kakak akan beliin obatnya,'' kata Andrina berusaha menenangkan adiknya.

Meskipun, dia tak tahu akan mendapat uang darimana. Dia akan mengusahakannya, dengan meminta gajinya bulan ini terlebih dahulu, misalnya.

''Oke, nanti aku buatkan buat bapak.''

''Kak,'' panggil Andhika lagi.

''Ya, apa?''

''Emmm ... gimana ya?'' Andhika meragu untuk menyampaikan.

''Apa, Dhika?'' tanya Andrina dengan tidak sabar, ''cepetan kerjaan kakak belum selesai.''

''Uang bulanan sekolahku nunggak tiga bulan. Sebentar lagi, aku juga ujian semester. Aku diberi waktu tiga hari untuk melunasi semuanya. Kalau tidak, aku enggak boleh ikut ujian.''

Andrina menghela nafas panjang. ''Kakak usahakan tiga hari lagi kamu bisa melunasi semuanya.''

''Beneran, Kak.'' Terdengar nada antusias dari seberang sana.

''Iya,'' jawab Andrina lemah.

''Oh, ya, Kak.''

''Apalagi, Dhika...,'' sahut Andrina dengan gemas sekaligus geram.

''Pak Harjo si Rentenir tua itu tadi kemari. Dia menagih uang cicilan berserta bunganya. Kalau kakak tidak segera membayar, nanti rumah ini akan disita,'' tutur Dhika dengan hati-hati.

Andrina memejamkan mata, kepalanya berdenyut seketika. Kenapa masalah datang bertubi-tubi seperti ini. Belum selesai masalah satu, datang masalah lain. Ingin rasanya, dia berteriak sekeras-kerasnya agar bebannya bisa hilang.

Dua bulan lalu, dia terpaksa meminjam uang kepada Rentenir itu untuk membiayai pengobatan ayahnya di rumah sakit. Ayah Andrina menderita penyakit Tuberculosis yang lumayan parah. Dan waktu itu sedang kambuh hingga mengharuskannya di rawat inap.

''Nanti kakak pikirkan.'' Andrina memutus sambungan teleponnya sepihak. Dia tidak ingin lagi mendengar sesuatu yang membuat kepalanya bertambah pening.

''Andrina!''

Andrina tersentak mendengar suara lantang atasannya.

''Ya, Bu.''

''Pekerjaan kamu belum selesai sudah bermain ponsel. Mau saya beri SP 1, kamu?'' tegur wanita tambun itu dengan berkacak pinggang.

''Tidak, Bu. Maaf. Saya akan segera menyelesaikan pekerjaan saya.''

Andrina segera meraih kembali peralatan kebersihan, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya.

Andrina bekerja sebagai Petugas kebersihan di sebuah Bank Konvensional. Dia hanya tamatan Sekolah Menengah Atas, sangat sulit baginya untuk mencari pekerjaan yang layak dengan gaji yang lumayan.

''Cepat kamu selesaikan! Saya tidak mau saat nasabah datang tempat ini belum bersih,'' titah tegas sang atasan.

''Iya, Bu, iya....''

Sungguh, telinganya terasa panas mendengar omelan wanita cerewet ini.

----------------

"Kak Na, mana obat buat bapak?"

Belum sempat Andrina mendudukkan tubuh untuk melepas penat tapi adiknya sudah menodong dirinya dengan pertanyaan yang membuat kepalanya pening.

Wanita itu hanya menghela nafas.

"Bapak mana?"

Mengabaikan pertanyaan sang adik, dia justru balik bertanya.

"Istirahat di kamarnya," jawab Dhika singkat.

Pemuda itu masih fokus dengan buku-buku yang ada di meja belajarnya.

"Kamu lanjut belajar saja. Kakak mau nengok bapak dulu," kata Andrina dengan berlalu menuju kamar ayahnya.

"Bapak tidur?" tanya Andrina pelan dengan melongokkan kepala.

Seorang pria paruh baya tersenyum lembut pada putrinya.

"Belum," jawabnya dengan nada lemah sambil menahan batuk.

"Bapak udah baikan belum?"

"Sudah," jawabnya masih dengan nada yang sama.

Pria paruh baya itu berusaha terlihat baik-baik saja untuk menghilangkan kekhawatiran putrinya.

Uhuk-uhuk-uhuk.....

Sandi terbatuk tanpa henti dengan tangan menutupi mulut. Tak lama setelahnya tampak noda darah menempel di telapak tangannya.

"Bapak, maafkan Na," kata Andrina dengan mata berkaca-kaca.

Dia membantu membersihkan darah yang ada di tangan sang ayah menggunakan tisu basah yang ada di dekatnya.

Andrina benar-benar seperti anak tak berguna karena tak bisa membelikan obat untuk orang tuanya.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi bapak akan baikan. Tadi sudah minum air hangat di buatkan adikmu," ucap Sandi untuk menenangkan putrinya.

Sandi berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak terjatuh. Hatinya benar-benar hancur saat melihat Andrina berjuang mati-matian untuk kesembuhannya.

Setengah tahun yang lalu, lebih tepatnya beberapa bulan setelah kematian sang istri. Sandy di diagnosis terkena Tuberculosis yang menyerang organ paru-parunya. Awalnya, ia hanya mengidap TBC laten karena memang tidak menunjukkan gejala apapun. Namun seiring berjalan waktu, berubah menjadi TBC Aktif karena ia tidak teratur menjalani pengobatan sesuai anjuran dokter.

Semenjak saat itu, ia diharuskan meminum obat secara rutin selama sembilan bulan. Pengobatan Sandi terhambat karena seringkali Andrina tidak mempunyai uang untuk menebusnya. Dan hal itu pula yang menyebabkan kondisi pria baya itu semakin parah.

''Bapak mungkin bisa membohongi Dhika, tapi tidak dengan Na," ujar Andrina dengan menatap nanar tubuh kurus sang ayah.

''Bapak tidak apa-apa, Na. Sungguh!"

''Beli obatnya besok saja setelah kamu punya uang. Bapak masih bisa menahan, batuk dan sesaknya bisa di redam dengan minum air hangat."

Andrina segera menghapus air mata yang sempat menetes, kemudian bangkit dari duduknya.

"Bapak istirahat saja. Aku usahakan malam ini bapak bisa minum obat."

''Na, kalau tidak punya uang tidak usah dipaksa. Bapak masih bisa menahan." Sandi mengulangi perkataannya.

''Ada kok, Pak. Tadi aku diperbolehkan bon gaji sama atasan," dustanya sambil berlalu dari kamar sang ayah.

Padahal tidak seperti itu kenyatannya. Dia sempat izin meminta gajinya di awal, namun langsung ditolak tegas oleh atasannya meskipun Andrina sudah mengutarakan alasannya.

''Dhika, kakak mau cari obat buat bapak. Kalau mau tidur, jangan lupa kunci pintu. Kakak bawa kunci cadangan." Dia berpesan kepada sang adik sebelum meninggalkan rumah.

''Iya...."

----------------

"Mau kemana, Drina?"

Andrina terkejut ketika melihat pria yang sangat dia hindari menghadang langkahnya.

"P-pak Harjo."

''Iya ini aku. Mau sampai kapan kau terus-menerus menghindariku? Ingat, Drina! Jika kau tak segera membayar cicilan, hutangmu akan semakin menumpuk."

''Aku beri tau total hutangmu saat ini."

''Berapa, Pak?" tanyanya dengan menahan nafas karena pria itu berucap tepat di depan wajahnya.

''Dua puluh lima juta," bisik pria tua itu.

Andrina tak dapat menutupi rasa terkejutnya.

Dia menelan ludah kelat. " Kenapa jadi sebanyak itu?" bisiknya dalam hati.

''Itu belum masuk hitungan bunga bulan ini," ucap pria itu dengan santainya.

''Apa, Pak? Bapak mau memeras saya apa gimana? Saya hanya berhutang lima juta, kenapa jadi membengkak sebesar ini?" Andrina menyanggah tidak terima.

''Apa kau lupa kesepakatan awal, bunganya sebesar lima persen per bulan, sedangkan kamu belum mencicilnya sama sekali. Jadi, salah siapa?" Pria paruh baya itu tersenyum mengejek kearahnya.

''Beri saya tenggat waktu," ujar Andrina dengan nada pelan.

"Kuberi waktu selama seminggu dan kamu harus membayar setengahnya. Jika masih molor, terpaksa aku ambil rumahmu."

''Baik, akan saya usahakan."

Andrina terpaksa menyetujui, meski dia juga tidak tahu dari mana akan mendapat uang sebanyak itu.

''Aku tunggu kedatanganmu."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status