“Ada apa Hasna?” tanya ami penuh selidik.
“Ngapunten Umik, Abah, tapi Halwa—”“Mbak!” pekikku memotong ucapan Mbak Hasna. "Ngapunten, Halwa kalih Mbak Hasna ke belakang sebentar, nggih." Aku mendorong kursi roda Mbak Hasna membawanya kembali ke dapur.“Mbak, apa yang Mbak lakukan? Jangan merusak kebahagian Ami sama Abah," sungutku ketika kami telah berada di dapur.“Dik, ndak bisa Mbak menikah sama Gus Azam sementara Mbak tahu kamu itu sukanya sama Gus Azam.”“Jangan keras-keras Mbak.” Aku berlutut di depan Mbak Hasna, agar lebih rendah darinya. “Gus Azam mau Mbak Hasna jadi pendampingnya, Halwa seneng ada laki-laki soleh yang bisa jagain Mbak Hasna. Ndak usah pikirin Halwa, kalau Halwa nikah sama Gus Agam kita bisa terus sama-sama, iya tha?”“Dik, ndak bisa gitu.”“Udah, pokoknya Halwa ndak mau Mbak Hasna bicara apapun sama Ami kalih Abi.”Aku kembali mendorong kursi roda Mbak Hasna menuju ruang tamu, tetapi ami datang menghadang kami.“Halwa, Hasna, apa yang kalian sembunyikan dari Ami?”Aku menelan ludah, harus menjawab apa? Aku harus cepat mengambil jawaban sebelum Mbak Hasna lebih dulu menjawab.“Ini tadi Mbak Hasna kebelet pengen buang angin Ami. Makanya panggil Halwa sedikit teriak karena Halwa ndak denger lagi fokus sama Umik.”Mbak Hasna melotot menatapku, sementara aku hanya tersenyum lebar memperlihatkan baris gigi.“Bener Hasna?” tanya ami masih tak percaya dan terus menatap Mbak Hasna tanpa berkedip.Aku mencubit pelan lengan Mbak Hasna.“Em… nggih Mi, ngapunten Hasna udah bikin canggung. Habis perutnya mules banget, Hasna mboten tahan," jawabnya.“Oalah Nduk, kalian ini bikin Umik jantungan aja!” Umik sudah berdiri di belakang ami entah sejak kapan.“He… ngapunten Mik, Hasna jadi malu. Hasna pamit ke kamar sebentar udah ndak tahan,” ucap Mbak Hasna sambil memegang perutnya dan meringis seperti orang menahan sakit.“Yawes ndak apa-apa, Umik sama Abah sekalian mau pamit pulang dulu.”“Loh, lha kok udah pamit Dik Farah.” Ami menggandeng umik kembali ke ruang tamu.Aku bergegas membawa Mbak Hasna ke kamar setelah lebih dulu menyalami abah dan umik bersama Mbak Hasna.“Dik,” ucap Mbak Hasna lirih setelah kami di kamar.“Heum… kenapa tha Mbak? Sekarang suka banget panggil Halwa.” Aku mencoba tersenyum dan tak memperlihatkan kekecewaan karena tidak terpilih. Bagaimanapun aku harus tetap bahagia Mbak Hasna mendapat seorang laki-laki seperti Gus Azam.“Kamu ndak papa?”“Emangnya Halwa kenapa? Halwa ndak apa-apa.” Aku duduk di depan Mbak Hasna melanjutkan hafalan Qu'ranku.“Dik, jangan bohong, Mbak bakal bilang sama Ami biar kamu aja yang nikahnya sama Gus Azam.”Aku menghela nafas berat, menutup Al-Qur'an dan mantap Mbak Hasna dengan senyum.“Mbak ini ngomong apa? Apa Mbak Hasna ndak dengar tadi Gus Azam bilang apa?” Aku meraih tangan Mbk Hasna dan menggenggamnya. "Halwa ikut bahagia, Gus Azam memilih Mbak Hasna. Setidaknya Halwa ndak perlu terlalu khawatir kalau Halwa ndak selalu di samping Mbak Hasna.”“Mbak ndak bisa lihat kamu sedih Halwa, apalagi menikah dengan lelaki yang bukan pilihanmu.”“Siapa bilang Halwa sedih, ini buktinya Halwa senyum terus dari tadi, Mbak ini ngaco.”“Mau bagaimanapun kamu sembunyikan, Mbak tetep tahu. Setiap hari kamu cerita tentang Gus Azam, buka laptop cuma cari semua kegiatanya. Mbak tahu Halwa, Mbak tahu kamu mencintai Gus Azam.”“Halwa, Hasna, apa yang kalian bicarakan? Ami salah dengar, kan? Halwa kamu ndak mau merebut calon mbakmu tha?”Ami mendorong pintu sedikit kasar.“Ami ini ndak seperti itu, Halwa cuma—” Ami menutup mulutku dengan jari telunjuk memintaku untuk diam.“Ami tahu, Ami mungkin salah dengar, ndak mungkin anak Ami, Halwa yang cantik dan soleha mau merebut calon suami kakaknya. Ingat Halwa, mbakmu Hasna sudah banyak berkorban untukmu, Gus Azam sudah sepantasnya memang menjadi calon Mbak Hasna. Kalaupun kamu memiliki rasa kepada Gus Azam kamu harus membuangnya. Gus Azam sudah memilih Mbak Hasna.”Ami memegang bahuku dan menatap tajam, setiap kata yang keluar seolah menekankan bahwa aku harus sadar diri, aku tidak terpilih dan aku memang harus membuang rasa ini. Namun, itu memang benar aku harus mengalah.“Ami, jangan bicara seperti itu. Halwa ndak salah.” Mbak Hasna memegang gamis Ami dan menariknya pelan.“Ngapunten Mi, Halwa ndak akan merebut Gus Azam. Halwa ndak ada pikiran seperti itu.”“Ami tahu, Halwa anak Ami yang soleha memang ndak mungkin berpikir seperti itu, Ami ndak mau dengar lagi kalian bahas ini. Hasna akan menikah dengan Azam dan Halwa dengan Agam. Ami ndak ingin sampai Abi dengar masalah ini. Dengar kata Ami kan, Nduk?”Ami menatapku bergantian dengan Mbak Hasna.“Nggih Mi,” jawabku serentak Mbak Hasna.“Ya sudah sekarang kalian mandi, anak gadis ndak boleh mandi sore-sore udah hampir Magrib, bada Magrib Ami sama Abi mau antar Mbak Hasna ke rumah Bu Hajjah lagi,” ucap ami sebelum pergi keluar kamarku dan Mbak Hasna.Mbak Hasna sudah beberapa kali terapi pijat di rumah Pak Yai kenalan Abi. Bu Hajjah sendiri yang mengobati kaki Mbak Hasna meskipun kata dokter sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi abi dan mi tetap berusaha. Mereka bilang tidak ada yang tidak m
Selesai berjamaah kami mengaji sejenak, abi menyimak hafalan Qu'ranku dan Mbak Hasna, sementara Ami membantu Mbak Ida menyiapkan makanan. Mbak Ida gadis yang Ami rawat sejak ia berusia sepuluh tahun, siang dia ikut mengajar di madrasah dan akan kembali ke rumah sore hari sama sepertiku dan Mbak Hasna. Kami sudah berkumpul di meja makan menyantap hidangan makan malam sederhana yang dimasak oleh Ami. Di rumah kami tak ada pembantu semua dikerjakan oleh ami kadang aku membantu dan Mbak Hasna sebisanya, setelah mengajar di madrasah.“Mbak, bagaimana?” tanya abi setelah selesai menyantap makanannya.“Apanya Bi?” Mbak Hasna balik bertanya.Ia masih sibuk mengupas jeruk, buah kesukaannya. Di meja makan harus ada jeruk karena Mbak Hasna akan mencari buah itu setiap selesai makan. Sementara aku tidak menyukai buah. Jika ami tidak memaksaku selalu minum jus buah aku tak akan menyentuh yang namanya 'buah', entahlah buah apapun terasa tak menarik untukku. Ami akan selalu mengomel setiap pagi jik
“Pelan-pelan Nduk.” Ami mengusap pelan bahu Mbak Ida.“Pelan-pelan aja Mbak, Halwa ndak minta, kok. Habisin aja, habisin. Kalau kurang tambah lagi,” ucapku meledek.“Halwa,” panggil abi lirih,Aku tersenyum dan menutup mulut.“Anak Abi yang satu itu memang suka banget kalau meledek.” Mbak Hasna kembali melempar bantal.“Entah Halwa ini.” Ami mencubit pelan pipiku.“Ida ke kamar dulu, Abi, Ami. Pengen rebahan bentar.”“Iya, Nduk. Istirahat, kamu pasti capek,” jawab ami.Aku masih memandang bahu yang bergoyang menjauh milik Mbak Ida, hingga ia menghilang di balik tangga. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Mbak Ida, seperti ada yang disembunyikan. Ah, sudahlah, aku tidak ingin suudzon. Dosaku saja sudah banyak ditambah pikiran buruk, bisa tertimbun di arang neraka nanti aku.“Mi, sepertinya Abi sudah dapat calon buat Ida,” ucap Abi.“Iya tha? Siapa Bi?” tanya ami antusias.“Itu loh anaknya Yai Salman, si Maher.”“Maher Fauzan lulusan Kairo itu, ya Allah beneran dia mau ta'aruf
Kusiapkan segelas susu dan biskuit lalu mengantar ke atas, ke kamar Mbak Ida. Ami dan abi tak pernah membedakan kami, kamar Mbak Ida tak jauh berbeda denganku dan Mbak Hasna. Tadinya kami bertiga tidur di lantai dua. Sekarang kamar tempat kami di lantai dua kosong dan digunakan abi untuk menyimpan buku-buku juga berkas-berkas, lebih tepatnya menjadi kamar kerja milik abi saat ia menghitung hasil peternakan sapi perah miliknya yang dikelola Paman Adam, adik abi. Abi mempercayakan semuanya termasuk kebun peninggalan Mbah Kung kepada Paman Adam dan Paman Faiz yang tinggal di desa bersama Mbah Putri dan Mbah Kung, sementara abi fokus mengurus dan mengabdi mengembangkan madrasah.Selain mengurus madrasah abi juga menjual keterampilan karya anak-anak yang nantinya hasil jualan akan dimasukan untuk keperluan madrasah. Mbak Ida yang mengajar mereka untuk melukis, sementara Mbak Hasna mengajar mereka membuat kerajinan tangan dan menjahit agar mereka memiliki keterampilan lain. Madrasah milik a
Kurebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengambil buku The Miracle Of The Qur'an, buku karya Caner Tasalman, buku yang sudah berulang kali kubaca. Buku riset yang mengkaji tentang hubungan intim antara Al-Qur'an dan sains modern. Buku ini mengungkap bagaimana Al-Qur'an menjabarkan berbagai macam fenomena, hingga bagaimana sebuah kehidupan dalam rahim terjadi. Selain itu buku ini juga menjelaskan bagaimana Al-Qur'an mencakup filsafat-filsafat dan fisika yang begitu rumit. Selain pembahasan yang sudah sedemikian luas dicakup Al-Quran, ditampilkan pula penerapan kode matematis ajaib pada buku tersebut. Kajian dalam topik-topik buku ini menyempurnakan pengakuan tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an adalah karya Tuhan dan bukan karangan manusia. Wallahualam, semua kebenaran ada pada Allah.Caner Taslaman melakukan risetnya di Istanbul, Turki. Kota tempat kelahirannya. Setelah menamatkan tingkat sarjana di Universitas Bosphorus, dia meraih gelar master dalam kajian Filsafat dan Agama di Univers
Mbak Hasna memutar roda kursinya dan mendekati ami memeluknya bersamaku.“Ngapunten nggih Mi, Hasna selalu ngrepotin Ami, Hasna selalu minta tolong sama Ami.”“Mbak Hasna ndak boleh ngomong seperti itu, kalian anak-anak Ami ndak ngerepotin Ami, Nak.” Ami mencium pucuk kepalaku dan Mbak Hasna bergantian. “Nduk, kalian saudara, kalian lahir dari rahim dan titisan yang sama. Hanya berbeda beberapa menit. Ingat pesan Ami, apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar, kalian harus saling melindungi, yo Nduk.”Aku dan Mbak Hasna sama-sama mengangguk dalam dekapan ami.“Udah, Ami ndak boleh seperti itu, kasihan anak-anak kalau nanti sampai kepikiran," kata abi menghentikan acara haru kami.“Besok, keluarga Umik sama Abah akan datang. Halwa, ingat Nduk, ingat yang Ami katakan, kalian saudara, jangan egois dan apapun yang terjadi jangan saling menjatuhkan. Dik Halwa di jaga sikapnya, meski Umik dan Abah sudah seperti orang tuamu, tetapi mereka tetap mertua Nduk, kalian harus lebih menjaga sika
Mbak Hasna menarik nafas yang terasa berat kemudian mengucap basmalah. “Insya Allah jika Abi dan Ami ridha, juga adikku Halwa ikhlas, Hasna terima lamran Gus Azam,” jawab Mbak Hasna.Detak jantungku seolah berhenti setelah Mbak Hasna mengatakan itu, kemudian kembali berpacu cukup kuat saat seorang pemuda datang dengan santainya.“Assalamualaikum,” ucapnya masih berdiri di depan pintu.Pemuda dengan thawb berwarna coklat, aku menatapnya detail. Perpaduan thawb dengan lis putih di bagian kancing dan saku, peci mesir menjadi pelengkap dan juga kacamata hitam yang baru saja ia lepas setelah kami menjawab salam bersama.Benarkah dia Agam? gumamku lirih. Ah, biarpun dia tampan, tapi tetap saja dia pemuda yang menyusahkan umik dan abah, pasti juga akan menyusahkanku esok, sudah bisa ditebak. Ya Allah kenapa aku begitu suudzon, aku menggeleng pelan. Bagaimanapun dia akan menjadi suamiku, sudah sepantasnya aku mengurus semuanya kalaupun benar sia
Baiklah, ini saatnya aku beraksi, bukan mempersulit aku hanya ingin melihat bagaimana calon imamku. Bisakah dia menjadi imam yang baik untukku?Meskipun dia anak seorang ustaz pimpinan pesantren, tetapi sikap buruknya tak mencerminkan dia seorang pemuda yang tumbuh di lingkungan pesantren.“Ngapunten nggih Gus, Halwa ndak minta banyak hanya sedikit dan insya Allah ndak akan memberatkan Gus Agam.” Aku menarik nafas, bersiap mengutarakan syarat ia bisa meminangku. “Halwa hanya ingin mahar hafalan tiga juz al qur'an, surah mulk, dan yasin. Untuk mahar lain Halwa hanya ingin sepuluh ribu.” Aku diam sejenak, semua orang memandangku, mungkin mereka tak akan mengira aku akn meminta hal itu. “Nduk kamu ndak salah?” tanya umik.Ya, mestinya mana ada wanita yang meminta mahar sepuluh ribu, di luar sana mereka berlomba mencari lelaki yang memberi mahar hingga puluhan jutaan rupiah. Namun, bagiku itu tak penting, mahar bukan harga seorang wanita, mahar bukan