Share

Wait At 24
Wait At 24
Author: Ghandistri

Mas Essa

Media sosial dan dunia maya itu surganya orang-orang pengkhayal sepertiku. Dan untuk saat ini benda itulah yang paling berjasa atas pertemuanku dengan Ressa atau biasa aku panggil Mas Essa. Mahasiswa jurusan Teknik Manufaktur di salah satu kampus di Yogyakarta. Usia yang lebih tua tiga tahun tidak aku permasalahkan.

Tujuanku tidak aneh-aneh, aku hanya mencari teman bercerita dan tidak terlalu memakai rasa. Tapi sebuah pencapaian yang luar biasa untukku saat itu. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP merasa bangga mempunyai teman seorang mahasiswa. Ressa tidak terlalu istimewa, parasnya biasa saja. Wajah masa peralihan dari remaja menuju dewasa masih terlihat jelas, campuran antara muda menuju tua. Gaya berpakaiannya juga sedikit norak, kurang mengikuti mode terkini. Dia tipe mahasiswa yang tidak mengikuti arus, cuek dengan segala hal yang kurang ‘berfaedah’, terlalu serius belajar, terlalu kaku, terlalu kolot dan sangat pintar. Aku belajar  menerima semuanya dan tidak menuntut lebih. Setidaknya aku bersyukur dia mau menjadi temanku disamping banyak orang yang menolak mempunyai teman dekat sepertiku lebih tepatnya karena fisik. Dia masih menerimaku sejauh ini. Selama kami belum bertemu karena masih berhubungan hanya via chat dan sms. Kita lihat saja nanti, apa dia masih bertahan saat melihat aku secara nyata.

Awal mengenal Ressa aku masih belum mengerti betul mengenai “rasa”, dimana aku baru mengalami puber yang sebenarnya dan belum pernah merasakan pacaran. Di dalam keluargaku tidak terbiasa dengan yang namanya pacaran. Agak jadul memang, tapi aku beruntung tidak menjalani hidup terlalu bebas pada waktu itu. Setidaknya sekarang aku masih utuh dan higienis. Orang tuaku memang tidak secara khusus mengikrarkan kami anak-anaknya dilarang pacaran. Namun bila dilihat dari ekspresi wajah mereka ketika aku membahas lelaki atau membawa teman lelaki akan sangat terlihat jelas dalam raut wajahnya, mereka tidak setuju dengan namanya pacaran. Terutama abangku, mereka sangat protective terhadap semua adik perempuannya. Mungkin karena mereka laki-laki, sedikit banyak mengetahui jalan pikiran setiap pasangan laki-laki saat sedang pacaran.

Ressa dan aku  terus berkomunikasi melalui sms dan telepon cukup lama sampai aku masuk SMA. Meskipun kami belum pernah bertemu, sudah mulai ada rasa sayang tumbuh sedikit-demi sedikit, merasa rindu ketika salah satu tidak menghubungi, menghabiskan waktu merangkai kata untuk dikirim, menunggu setiap waktu di depan handphone, semua itu yang peribahasa bilang “rasa datang karena terbiasa”. Rasa kami, tepatnya rasaku untuk Ressa masih timbul tenggelam. Tersamarkan oleh lingkungan baru di SMA orang-orang baru terutama rasa-rasa suka yang baru pada senior-seniorku istilah kerennya itu ‘ngeceng’.  Ngeceng atau naksir pada seseorang itu rasanya tidak jauh berbeda dari pacaran. Kalau menurutku ngeceng itu lebih mempunyai sensasi daripada pacaran. Ada rasa tertentu yang tidak bisa dijelaskan. Ada kangennya, membuat kita semangat untuk pergi ke sekolah, kesenangan tersendiri melihat kecengan dari jarak jauh, ngulik-ngulik tentang kecengan dan berusaha terlihat baik di mata kecengan. Bonusnya kalau lagi melamun , ada kecengan lewat itu serasa sedang dehidrasi disediakan air segalon, adem banget. Apalagi kalau kecengan secara tidak sengaja tersenyum kearahku, rasanya ingin teriak dan loncat-loncat, padahal belum tentu senyum itu benar untuk kita, bisa saja kebetulan.

Sekolahku yang baru termasuk sekolah berstandar tinggi, jadi tidak aneh kalau siswanya juga banyak yang berkualitas. Baik dari segi materi , wajah dan tentunya otak mereka. Sudah dapat dibayangkan akan banyak sekali siswa laki-laki yang layak dijadikan kecengan, hal itu sampai membuatku plin-plan dan selalu mengubah siapa orang yang aku suka. Tak heran jika setiap bulannya aku selalu mempunyai kecengan yang berbeda. Mudah sekali aku menyukai siswa laki-laki, terkadang karena wajahnya, kadang juga karena perawakannya, tak jarang hal itu bisa timbul hanya karena hal sepele, dengan singkat aku bisa menyukai mereka hanya karena laki-laki itu meminjamkan aku pulpen. Ah, dasar.

Hampir semua orang yang pernah mengagumi dari jauh. Mereka yang lebih memilih diam dibandingkan mengungkapkan, lebih memilih melirik daripada harus teriak memekik dan lebih memilih menahan rasa daripada berusaha menjadi penguasa cinta. Ya , lagi-lagi mereka adalah orang-orang sepertiku, yang tidak percaya diri ataupun sadar diri apa yang diharapkan adalah hal yang terlalu tinggi. Tidak ada yang memilih terlahir menjadi orang yang kurang diperhitungkan, jangankan dikagumi untuk disadari keberadaannya saja mustahil. Mengagumi itu menyiksa sekali, menahan suka pada orang yang jelas bukan milik kita, menahan rindu seperti orang dungu dan setiap memejamkan mata dunianya penuh mimpi membuat cerita sendiri dengan orang yang dikagumi. Orang kasmaran tapi tidak ada bedanya dengan orang depresi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anisa Septiati
mantap beritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status