Media sosial dan dunia maya itu surganya orang-orang pengkhayal sepertiku. Dan untuk saat ini benda itulah yang paling berjasa atas pertemuanku dengan Ressa atau biasa aku panggil Mas Essa. Mahasiswa jurusan Teknik Manufaktur di salah satu kampus di Yogyakarta. Usia yang lebih tua tiga tahun tidak aku permasalahkan.
Tujuanku tidak aneh-aneh, aku hanya mencari teman bercerita dan tidak terlalu memakai rasa. Tapi sebuah pencapaian yang luar biasa untukku saat itu. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP merasa bangga mempunyai teman seorang mahasiswa. Ressa tidak terlalu istimewa, parasnya biasa saja. Wajah masa peralihan dari remaja menuju dewasa masih terlihat jelas, campuran antara muda menuju tua. Gaya berpakaiannya juga sedikit norak, kurang mengikuti mode terkini. Dia tipe mahasiswa yang tidak mengikuti arus, cuek dengan segala hal yang kurang ‘berfaedah’, terlalu serius belajar, terlalu kaku, terlalu kolot dan sangat pintar. Aku belajar menerima semuanya dan tidak menuntut lebih. Setidaknya aku bersyukur dia mau menjadi temanku disamping banyak orang yang menolak mempunyai teman dekat sepertiku lebih tepatnya karena fisik. Dia masih menerimaku sejauh ini. Selama kami belum bertemu karena masih berhubungan hanya via chat dan sms. Kita lihat saja nanti, apa dia masih bertahan saat melihat aku secara nyata.
Awal mengenal Ressa aku masih belum mengerti betul mengenai “rasa”, dimana aku baru mengalami puber yang sebenarnya dan belum pernah merasakan pacaran. Di dalam keluargaku tidak terbiasa dengan yang namanya pacaran. Agak jadul memang, tapi aku beruntung tidak menjalani hidup terlalu bebas pada waktu itu. Setidaknya sekarang aku masih utuh dan higienis. Orang tuaku memang tidak secara khusus mengikrarkan kami anak-anaknya dilarang pacaran. Namun bila dilihat dari ekspresi wajah mereka ketika aku membahas lelaki atau membawa teman lelaki akan sangat terlihat jelas dalam raut wajahnya, mereka tidak setuju dengan namanya pacaran. Terutama abangku, mereka sangat protective terhadap semua adik perempuannya. Mungkin karena mereka laki-laki, sedikit banyak mengetahui jalan pikiran setiap pasangan laki-laki saat sedang pacaran.
Ressa dan aku terus berkomunikasi melalui sms dan telepon cukup lama sampai aku masuk SMA. Meskipun kami belum pernah bertemu, sudah mulai ada rasa sayang tumbuh sedikit-demi sedikit, merasa rindu ketika salah satu tidak menghubungi, menghabiskan waktu merangkai kata untuk dikirim, menunggu setiap waktu di depan handphone, semua itu yang peribahasa bilang “rasa datang karena terbiasa”. Rasa kami, tepatnya rasaku untuk Ressa masih timbul tenggelam. Tersamarkan oleh lingkungan baru di SMA orang-orang baru terutama rasa-rasa suka yang baru pada senior-seniorku istilah kerennya itu ‘ngeceng’. Ngeceng atau naksir pada seseorang itu rasanya tidak jauh berbeda dari pacaran. Kalau menurutku ngeceng itu lebih mempunyai sensasi daripada pacaran. Ada rasa tertentu yang tidak bisa dijelaskan. Ada kangennya, membuat kita semangat untuk pergi ke sekolah, kesenangan tersendiri melihat kecengan dari jarak jauh, ngulik-ngulik tentang kecengan dan berusaha terlihat baik di mata kecengan. Bonusnya kalau lagi melamun , ada kecengan lewat itu serasa sedang dehidrasi disediakan air segalon, adem banget. Apalagi kalau kecengan secara tidak sengaja tersenyum kearahku, rasanya ingin teriak dan loncat-loncat, padahal belum tentu senyum itu benar untuk kita, bisa saja kebetulan.
Sekolahku yang baru termasuk sekolah berstandar tinggi, jadi tidak aneh kalau siswanya juga banyak yang berkualitas. Baik dari segi materi , wajah dan tentunya otak mereka. Sudah dapat dibayangkan akan banyak sekali siswa laki-laki yang layak dijadikan kecengan, hal itu sampai membuatku plin-plan dan selalu mengubah siapa orang yang aku suka. Tak heran jika setiap bulannya aku selalu mempunyai kecengan yang berbeda. Mudah sekali aku menyukai siswa laki-laki, terkadang karena wajahnya, kadang juga karena perawakannya, tak jarang hal itu bisa timbul hanya karena hal sepele, dengan singkat aku bisa menyukai mereka hanya karena laki-laki itu meminjamkan aku pulpen. Ah, dasar.
Hampir semua orang yang pernah mengagumi dari jauh. Mereka yang lebih memilih diam dibandingkan mengungkapkan, lebih memilih melirik daripada harus teriak memekik dan lebih memilih menahan rasa daripada berusaha menjadi penguasa cinta. Ya , lagi-lagi mereka adalah orang-orang sepertiku, yang tidak percaya diri ataupun sadar diri apa yang diharapkan adalah hal yang terlalu tinggi. Tidak ada yang memilih terlahir menjadi orang yang kurang diperhitungkan, jangankan dikagumi untuk disadari keberadaannya saja mustahil. Mengagumi itu menyiksa sekali, menahan suka pada orang yang jelas bukan milik kita, menahan rindu seperti orang dungu dan setiap memejamkan mata dunianya penuh mimpi membuat cerita sendiri dengan orang yang dikagumi. Orang kasmaran tapi tidak ada bedanya dengan orang depresi.
Karena hari ini pengalaman pertamaku harus duduk berdampingan dengan senior, maka aku memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal. Selain agar aku bisa mengulang sedikit pelajaran, aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian para senior saat aku masuk kelas kalau datang terlalu siang,. Sampai kelas tempatku ujian, baru ada sekitar 7 siswa, 3 orang senior perempuan yang sedang berkumpul di bangku yang ada di sudut kelas dan sisanya adalah teman-teman sekelasku.Aku langsung memeriksa satu-persatu meja untuk mencari nomor pesertaku. Meja ketiga di baris kedua dekat pintu masuk, cukup strategis dan "Abimanyu Nayawaki Mohammed" nama senior yang akan menjadi teman ujianku selama seminggu ini. Nama yang cukup unik, baiklah mungkin aku panggil Bima saja agar lebih singkatBel ujian belum berbunyi, satu kelas masih ribut mengobrol kesana kemari, termasuk aku yang sedang membahas sedikit materi bahan ujian hari ini bersama teman yang duduk dibelakangku. Pukul 06.43 yang artinya
Ujian hari kedua diawali dengan semua siswa berdoa. Kali ini aku berdoa dengan khusyuk dan sangat berharap soal Matematikanya mudah dan dapat berkonsentrasi penuh tanpa ada ulah dari seniorku. Amin.Ujian Matematika hampir berlangsung setengah jam, suasana kelas serius mengerjakan soal Matematika yang memang cukup membuat otak protes. Hampir tidak ada suara kecuali suara kertas dan gesekan penghapus. Jika diamati mungkin ruangan kelas sudah dipenuhi oleh asap yang berasal dari otak siswa yang berpikir sangat keras mencari jawaban, baik itu dengan cara menghitung atau mencari inspirasi dengan melamun. Tak sedikit juga siswa yang wajahnya memerah seperti duduk di atas kompor. Logaritma, trigonometri dan saudara-saudaranya berlomba-lomba bersuara untuk diselesaikan terlebih dahulu, tapi apa daya jika otak saja tidak mampu mengingat apapun mengenai mereka."sst..sst." Aku menoleh ke arah suara yang ternyata berasal dari mulut Coki. Aku langsung sedikit mengangkat daguku un
Hari terakhir ujian, aku sampai di sekolah lebih pagi dan standby di bangku. Sepuluh menit sebelum bel masuk, aku masih menyempatkan membaca buku pelajaran Bahasa Inggris karena aku agak kesulitan untuk pelajaran yang satu ini. Aku tidak sepenuhnya fokus memahami setiap materi dari buku yang aku baca, yang aku pikirkan tentang kenapa Bima belum datang juga.Sampai bel berbunyi Bima belum datang dan aku sedikit kecewa karena hari terakhir ujian dan duduk bersama Bima tapi dia malah tidak datang. Dan kekecewaanku bertambah saat melihat soal ujian yang membuatku baru mampu mengerjakan 5 soal di sepuluh menit pertama." Tok..Tok..Tok" Waktu ujian sudah berjalan lima belas menit ketika ada sesosok yang sangat aku kenal dari rambutnya membuka pintu kelas." Maaf bu telat, tadi sudah ijin ke piket. Ini surat ijin masuknya." Bima memberikan surat ijin ke bangku pengawas dan menuju bangkuku, tepatnya bangku disebelahku. Aku berpura-pura fokus pada peker
Semester keduaku dikelas 1 SMA berakhir dengan bayangan Bima di setiap kegiatanku. Entah bagaimana caranya berita tentang aku menyukai Bima beredar dengan cepat ke seantero sekolah. Teman sekelasku, teman sekelas Bima bahkan sampai Bima pun tahu kalau aku suka sama dia. Mungkin karena Bima cukup famous atau bisa jadi karena temanku agak gila, dia suka berteriak-teriak saat kebetulan Bima lewat di depan kami "Bim, nih ada salam dari Tria!" Reka selalu teriak dengan volume yang melebihi speaker. Entah kenapa setiap Reka teriak Bima selalu ada tepat di dekat kami. Kalau itu terjadi, aku hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Tapi hari seterusnya aku tidak kapok untuk mencari posisi tepat saat melihat Bima dan Reka pun terus dengan kegilaannya berteriak di dekat Bima. Lebih tepatnya saat Bima melewati kami.Tidak terasa ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Aku takut menghadapi ujian kali ini. Bukan karena aku tidak pernah belajar, tapi karena aku akan sekelas lagi deng
Letak kelas Bima di lantai atas dan aku dilantai bawah. Akses yang tidak mendukung membuatku jarang melihat Bima, hal ini membuatku nekat untuk mencari nomor handphone Bima. Dan untuk pertama kalinya aku menghubungi Bima.Aku bukan termasuk perempuan yang gampang mengungkapkan perasaan dan mempunyai keberanian untuk itu. Bukan karena aku penakut, tapi karena aku sadar mengenai tubuhku yang sebesar Gajah Bengkak waktu itu. Aku sengaja membeli nomor baru untuk sms Bima karena aku tidak mau Bima tahu kalau yang menghubungi dia itu adalah aku. Agak sedikit konyol dan norak karena aku lebih memilih sms Bima dengan kata-kata mutiara yang aku kirim sehari 3 kali dan anehnya kata-kata itu muncul dengan sendirinya, tanpa aku harus menduplikat kata-kata penyair terkenal. Itulah jatuh cinta, semuanya bisa tercipta tanpa harus dipaksa.Bima 11.22 : " Ini siapa ya? Kata-kata mutiaranya keren. Up two thumbs."Satu kalimat yang sukses membakar semangatku, banyak sms yang
Hubunganku dengan Ressa agak sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu apa karena aku merasa terlanjur sayang dia atau hanya sekedar ingin melupakan Bima dan bisa saja karena terlanjur ingin merasakan pacaran yang sebenarnya. Saat itu tidak ada alasan yang paling menonjol. Aku semakin sering berhubungan dengan Ressa melalui sms dan membuat rasaku semakin kuat. Pernah suatu waktu Ressa tidak menghubungiku selama seminggu. Rasa kangenku memuncak saat itu dan aku sadar kalau aku mulai menyayangi Ressa.Aku menipu Ressa untuk tahu perasaannya terhadapku seperti apa. Aku mengirim sms ke nomor Ressa dengan nomor baru yang sengaja aku beli, sama seperti ketika aku menghubungi Bima dulu. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk saat aku berpura-pura sebagai orang lain disitu, itu hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan seseorang. Aku sms dia dan mengaku sebagai mantanku. Jam istirahat sekolah waktu yang tepat untuk mengirim sms karena aku tahu p
Untuk pertemuan pertamaku dengan Ressa sebagai pacar, aku membuat sedikit cokelat untuk diberikan kepada Ressa. Hari janjian bertemu, aku berusaha tampak semenarik mungkin, memakai baju ketat agar tidak terlalu kelihatan gendut dan melatih ekspresi terbaik aku semalaman di depan cermin. Aku janjian ketemu di perempatan, tempat yang sama ketika aku janjian dengan Ivan. Ressa belum mengetahui alamat rumahku, jadi kita memilih tempat janjian yang mudah dicari."Hai dek?" Katanya di atas motor matic berwarna hitam tanpa membuka helm dan masih menyalakan mesin motornya. Dibalik helmnya terlihat kedua matanya yang berbulu lentik"Hai mas, apa kabar?" Aku masih agak kaku dan bingung harus bersikap bagaimana."Baik, yuk naik!!" Aku memakai helm dan langsung naik ke jok belakang motor Ressa dengan posisi tangan "masih" di pegangan belakang." Kita ke Dago Pakar yuk, mas sudah lama gak kesana."" Oke, aku belum pernah malah kesana." Aku menyetujui saja keing
"Ya, ayo kantin!!" Tiba-tiba sahabatku Ita nongol di pintu kelas. Kelas kita berdua berbeda namun kita tidak bisa dipisahkan seperti mempunyai kontrak yang tak tertulis, secara bergiliran kita saling mengunjungi kelas masing- masing. Dia tahu tentang semuanya, dari hal terkecil, terintim sampai aib sekalipun mengenaiku. Aku keluar kelas dan langsung ke kantin bersama Ita. Kita bukan termasuk anak yang diberi uang jajan banyak, strategi makan kami adalah membeli makanan yang murah dan banyak, rasa nomor dua yang penting kenyang." Mau makan apa Ya?" Katanya sedikit mendongakkan lehernya ke atas untuk melihatku. Ita yang tinggi tubuhnya cukup jauh di bawahku memang selalu mengeluh saat berbicara denganku dalam posisi berdiri karena membuat lehernya selalu pegal. Tak jarang aku menyebutnya kurcaci, dibandingkan keponakanku yang baru kelas 2 SMP, Ita jauh lebih kecil." Aku mau bubur," Jawabku tanpa melihatnya balik." Oke." Ita langsung menggandeng dan menarikku.