Share

Ujian

Ujian hari kedua diawali dengan semua siswa berdoa. Kali ini aku berdoa dengan khusyuk dan sangat berharap soal Matematikanya mudah dan dapat berkonsentrasi penuh tanpa ada ulah dari seniorku. Amin.

Ujian Matematika hampir berlangsung setengah jam, suasana kelas serius mengerjakan soal Matematika yang memang cukup membuat otak protes. Hampir tidak ada suara kecuali suara kertas dan gesekan penghapus. Jika diamati mungkin ruangan kelas sudah dipenuhi oleh asap yang berasal dari otak siswa yang berpikir sangat keras mencari jawaban, baik itu dengan cara menghitung atau mencari inspirasi dengan melamun. Tak sedikit juga siswa yang wajahnya memerah seperti duduk di atas kompor. Logaritma, trigonometri dan saudara-saudaranya berlomba-lomba bersuara untuk diselesaikan terlebih dahulu, tapi apa daya jika otak saja tidak mampu mengingat apapun mengenai mereka.

"sst..sst." Aku menoleh ke arah suara yang ternyata berasal dari mulut Coki. Aku langsung sedikit mengangkat daguku untuk klarifikasi kenapa seniorku itu memanggil dan tanpa lupa melihat kearah pengawas untuk memastikan keselamatanku.

"Panggilin Bima!" kata Coki. Aku menyenggol tangan Bima memakai sikut sambil tetap waspada. Bima melihat kearahku dan aku menunjuk ke arah Coki.

" Apaan?" Bima agak sedikit kesal saat melihat ke arah Coki. Sepertinya dia sedang benar-benar fokus mengerjakan ujiannya, tergambar dari ukuran rambutnya yang semakin membesar karena terdorong uap yang keluar dari otaknya.

" Apa?" Coki malah kembali bertanya pada Bima. Bima terlihat bingung dan semakin bertambah kesal.

" Ih anjrit tadi kan kamu manggil aku, kenapa sekarang malah balik nanya? Yang benar dong kamu!" Volume suara Bima cukup mengusik beberapa siswa membuat mereka menengok ke arahnya dan siap-siap melemparnya dengan penghapus.

" Kertas yang aku lempar goblok! Mana jawabannya?" Kata Coki tidak kalah volume.

Bima langsung celingukan mencari kertas yang dikatakan Coki. Sepertinya bukan karena ingin tahu isinya, tapi lebih karena takut ketahuan oleh pengawas. Aku yang tadinya berjanji akan fokus hari ini untuk mengerjakan soal, malah jadi tidak konsentrasi. Mau konsentrasi gimana kalau melihat orang di sebelahku rusuh kayak kemasukan ulet bulu.

"Nyari apa?" Tanyaku berbisik kearah Bima yang sedang asyik di bawah meja kami.

"Nyari kertas contekan si Coki tuh" jawab Bima tanpa menoleh ke arahku dan masih tetap rusuh mencari kertas. Sebagai adik kelas yang baik aku membantu mencari dengan sangat berhati-hati berusaha untuk tidak terdeteksi pengawas.

" Gak ada, Kang,"  Ucapku di atas kursi.

Lagi rusuh-rusuhnya tiba-tiba pengawas mendekati kita, spontan kita langsung duduk rapi seakan tidak terjadi apa-apa. Aku berusaha duduk setenang mungkin, meskipun pikiranku tidak karuan, aku takut kertas itu ketahuan atau terinjak oleh pengawas dan pengawas berpikir akulah yang memberi contekan, matilah kita kalau sampai itu terjadi. Pengawas berhenti tepat di bangku sisi Bima, dan aku heran dengan orang di sebelahku yang santai banget dan terlihat sangat tenang. Tidak ada kepanikan sama sekali di wajahnya.

" Ada apa ini, kenapa kamu turun-turun ke bawah bangku?" Tanya pengawas pada Bima yang langsung berpura-pura membuka-buka kertas soal sambil bersandar ke kursi kayu yang sedang didudukinya.

" Nggak bu, ini badan saya pegal-pegal, biasalah bu kalau terlalu fokus kan badan suka tegang gitu." Katanya memiringkan lehernya ke kanan- dan ke kiri lalu meregangkan kedua lengannya persis seperti orang baru bangun tidur.

Oh God, aku tidak habis pikir sama orang di sebelah aku ini, apa dia diciptakan Tuhan untuk menjadi orang paling santai di dunia. Anehnya, pengawas langsung pergi saja setelah mendengar penjelasan dari Bima tadi. Mungkin pengawas malas berdebat dengan orang yang super santai itu.

" Santai aja kali, gak usah gugup, kalau gugup malah ketahuan!" Bima hanya tersenyum dan mulai mengajarkan jurusnya padaku.

" Yaelah,, aku botakin juga tuh rambut kamu Bim" kataku dalam hati, kalau ngomong langsung mana aku berani.

Tidak lama dari kejadian tadi saat pengawas mendekati bangku kita, pengawas langsung keluar kelas. Entah mau memberi kesempatan kita untuk mencontek atau sekedar ngobrol dengan pengawas kelas sebelah. Tanpa buang-buang waktu, Bima langsung melesat merangkak ke bawah bangku dan meneruskan misinya mencari kertas dari Coki. Kolong meja, kolong bangkuku dan kolong-kolong yang lainnya dia jamah. Aku tidak membantu kali ini karena pekerjaanku masih banyak yang belum diisi. Aku menyempatkan melirik ke bawah kearah orang yang sedang merangkak itu. Dalam hati aku berpikir, baru kali ini beremu senior yang tidak ada jaim-jaimnya di depan junior.

Aku berpikir dan melihat rambutnya Bima, apalagi yang bisa  dilihat dari atas selain rambutnya yang menonjol dan menutupi semua kepalanya kalau dilihat dari belakang. Sedikit fokus aku perhatikan, ada bagian yang putih-putih di rambutnya Bima, kayak ketombe tapi agak besar. Aku tidak yakin itu ketombe, bisa jadi itu cicak putih yang jatuh ke rambut Bima dan tidak bisa keluar lagi gara-gara terlalu rumitnya lalu lintas di rambut Bima. Aku jadi penasaran, aku melihat lebih dekat.

"Kang, kang" Aku memanggil sambil mencolek punggung Bima

"Apa? Ada pengawas?" Bima bicara tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.

" Itu dirambutnya ada"

" Kecoa? Biarin aja, di dalamnya masih banyak kok." Belum selesai aku bicara, Bima langsung memotong pembicaraanku.

" Kamu kira rambut kamu gudang apa Bim?," gerutuku dalam hati, aku biarkan saja Bima ngubek-ngubek lantai sampai akhirnya dia menyerah dan duduk di bangkunya.

" Aduh mana sih, Eh, tadi di rambut aku ada apa?" Tanya Bima sambil mengacak-acak rambutnya tanpa berguna sama sekali.

"  Kertasnya ada di rambut akang." Kataku agak ragu menunjuk rambutnya. Bima menunduk dan mengoyang-goyangkan kepalanya berharap kertasnya akan terjatuh, tapi percuma, daya gravitasi rambutnya lebih kuat dan kertasnya tetap menempel manis di sana.

" Nggak ada, mana?" Tanyanya menarik beberapa helai rambutnya dan mengernyit kepadaku.

" Sorry ya kang," Karena aku junior yang baik, aku mengambilkan kertas yang ada di rambut Bima dan memberikannya. Aku menahan tertawa setengah mati, karena sungguh aku tidak habis pikir kenapa kertas itu lebih memilih mendarat disana.

Tanpa pikir panjang Bima langsung mengisi kertas itu dengan jawaban yang dia tahu dengan santainya dan masih sempat menyanyi Welcome to the Black Parade. Disisi lain aku salut pada solidaritas ini orang, kalau aku mungkin berpikir dua kali untuk memberikan semua jawaban ujian yang sudah susah payah aku kerjakan. Dan sepertinya dia dapat membaca pikiranku, tanpa aku meminta dia langsung ngomong "Kalau nilai bagus bareng-bareng gak ada ruginya kan?". Aku hanya menggaruk-garuk kepala dan merasa malu sendiri. " Yah kalau begitu kertasku diisi juga dong." Candaku

" Teet… Teet,, Teet.." Bel tanda ujian berakhir berbunyi, siswa langsung ribut mengumpulkan kertas ujian ke depan meja pengawas, tidak terkecuali aku dan Bima. Bima keluar terlebih dahulu dibanding siswa lain dan menyempatkan diri membalikan tubuh saat di depan pintu kelas dan teriak.

" Makasih ya Tria, sampai ketemu besok!!' Tanpa mempedulikan reaksi siswa sekelas dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Semua siswa dikelas melirikku, aku tidak membalas teriakannya dan hanya berani mengacungkan jempol saja kepada Bima karena sudah terlanjur malu oleh yang lain meskipun sangat ingin aku berteriak juga.

Ketertarikanku pada Bima dimulai detik itu. Entah apa yang membuatku tertarik, seperti biasanya mungkin hal yang sangat sepele yang tidak masuk akal sama sekali. Aku menyukainya karena dia konyol. Dan aku tidak sabar untuk menunggu hari-hari ujian berikutnya yang jelas bukan semangat untuk mengerjakan ujianku tapi karena aku akan duduk bersebelahan dengan Bima lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status