Share

BAB 1: AWAL DARI SEMUANYA

6 bulan kemudian …

Sharon berlari kencang tatkala jam tangan pink yang selalu ia kenakan jika bepergian hampir menunjukkan pukul tujuh. Keringat sudah mulai bercucuran dipelipisnya. Punggungnya mulai basah. Hingga pada detik-detik terakhir, ia mempercepat kecepatan berlarinya. 

“PAK SAMSON, TUNGGU!” Teriak nyaring Sharon membuat beberapa siswa-siswi yang sudah di dalam sekolah menoleh sebentar kearahnya.

Pak Samson, satpam sekolah yang hendak menutup gerbang  menggelengkan kepalanya mantap lalu melanjutkan aktifitasnya; menutup gerbang.

Sharon terengah-engah dan ia telah sampai didepan pintu gerbang.

“Pak! Tolong pak! Saya janji besok tidak akan telat.” Ujar Sharon dengan wajah memelas yang hampir saja meluluhkan hati Pak Samson.

“Saya janji!” Kedua jari Sharon menunjukkan peace tanda bahwa ia berjanji.

Terlihat Pak Samson sedang berfikir. Lalu beberapa detik kemudian, ia membukakan gerbang untuk Sharon. “Jangan kasih tahu kepala sekolah!”

Dengan sigap, Sharon memasuki gerbang sekolah dan berterimakasih kepada Pak Samson.

SMA Kartika adalah SMA paling bonafit di kota itu. Hampir semua anak dari pejabat kota maupun negara bersekolah disini. Memiliki bangunan super mewah adalah salah satu keunggulan sekolah ini. Sharon hanyalah anak beruntung yang mendapat beasiswa dari pemerintah karena ia berhasil meraih medali emas Taekwondo semester lalu. Jadi, ia dipindahkan dari sekolah lamanya dan melanjutkan studi di sekolah ini.  Ia juga tidak terlalu bodoh dalam pelajaran matematika, walaupun ia tak menyukai pelajaran itu. Ia hanya malas menghitung. Sharon juga friendly, sehingga ia mudah mendapatkan teman walau masih tergolong ‘anak baru’.

Upacara akan segera dimulai. Sharon segera belari menuju kelasnya.

“Telat lagi, lo!” Kata-kata sambutan itu meluncur begitu saja dari mulut Lisa, teman sebangkunya  ketika Sharon meletakkan tas diatas mejanya.

Sharon hanya nyengir kuda. “Gue banyak hutang budi sama si Samson.”

Lisa hanya memutar bola matanya dengan malas lalu membenarkan dasi yang terlihat miring baginya. “Gue mau kasih tau bokap ah supaya satpamnya diganti.”

“Canda lo jelek, Lis.” Tegur Sharon. “Baik banget dia sama gue.” Lanjutnya sambil membenahi rambut yang sudah lepek dan memakai topi.

Lisa hanya melengos. “Ayuk lah ke lapangan.”

Siswa-siswi berkumpul di lapangan. Sebenarnya, ini lebih pantas disebut aula. Tetapi, mereka lebih suka menyebutnya dengan lapangan. Ruangan yang cukup besar dan tertutup ini mampu menampung lebih dari 1.000 jiwa.

Upacara segera dimulai. Danton mulai bersuara. Upacara berlangsung dengan khidmat. Mereka memang diajarkan untuk benar-benar tertib dan disiplin dalam upacara. 

Hingga Danton bersuara “UPACARA SELESAI!”

Semua anggota sekolah seakan-akan kompak bernafas lega. Padahal mereka tidak merasakan panasnya sinar matahari seperti upacara di tempat lain.

Lisa merangkul pundak Sharon. “Gimana liburan lo?”

“B aja kaya plat Jakarta.”

Mereka sambil berjalan pelan menuju pintu keluar aula. 

Lisa menjitak Sharon. “Masa lo di rumah terus sih? Gak bosen?”

“Mau sih ke New york. Tapi engga punya duit.”

“Mau? Sini gue yang bayarin!”

Sharon mencubit pinggang Lisa yang membuat Lisa melepaskan rangkulannya. “Gue bercanda kali!”

“Gue juga bercanda! Ogah traktir manusia model begini.” Ujar Lisa sambil mencolek pipi Sharon.

“Pagi nona-nona!” Intrupsi dari seorang lelaki menghentikan aktivitas mereka berdua.

“ada apa?” Tanya Lisa jutek.

Sharon cekikikan melihat ekspresi Lisa yang menurutnya konyol. 

Gideon tetap tersenyum kepada Lisa. “Pagi-pagi kok udah jelek mukanya?” goda lelaki itu.

Muka Lisa semakin ketekuk. Gideon adalah anak dari salah-satu pengusaha paling konglomerat di negeri ini. Ia menyukai Lisa, tepatnya mereka sudah dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Sistem perjodohan memang lazim untuk anak seperti mereka, jadi jangan heran.

Sikap Lisa selama ini baik kepada Gideon hanya di depan keluarga besar saja. Menurut Lisa, Gideon sangat norak dan genit. Entah siapa yang ia tiru. 

Walau begitu, Lisa tetap menerima Gideon. Walaupun lelaki itu terkadang menjengkelkan.

“apasih, lo!” Lisa memukul pelan dada Gideon yang membuat Sharon ingin muntah. 

“yaudah, ya! Gue duluan dulu. Selamat menikmati waktunya wahai sepasang kekasih.” Sharon segera berlalu dari situ dan berjalan santai menuju kelas.

Sambil berjalan, Ia merogoh kantung rok dan mengeluarkan ponsel dari sana. Ia membalas pesan-pesan yang sudah dua hari ia abaikan. 

‘brukk’

Seseorang tak sengaja menabraknya. Seorang siswa yang perawakannya cukup tampan dan memiliki rambut cokelat. 

“S..sorry..” Ujar siswa tersebut lalu berlalu dengan cepat dari hadapan Sharon. Dari wajah si penabrak,  Sharon tahu itu adalah adik kelas. 

Tak jauh dari situ seorang lainnya kali ini seorang  perempuan berlari. Sepertinya ia sedang mengejar adik kelas tampan tadi. “FELIX! TUNGGU!”

‘brukk’

Untuk kedua kalinya Sharon ditabrak. Tapi kali ini, orang yang menabraknya tidak meminta maaf. Ia hanya fokus sama tujuannya, adik kelas yang bernama felix tadi.

Sharon tahu perempuan yang menabraknya itu, Olivia namanya. Gadis keturunan Spanyol yang menjadi top model tahun ini diberbagai media sekaligus teman sekelasnya.

Sharon melanjutkan langkahnya, tak mau ambil pusing dengan yang tadi. Ia tetap fokus mengetik kata demi kata diponselnya melanjutkan aktifitasnya membalas beberapa pesan. 

Sampai di depan kelasnya, ia masih saja sibuk mengetik.

Hingga seseorang menepuk bahunya. “kok engga masuk?”

Sharon mendongakkan kepalanya. “eh, Danny. Eh, ia ini mau masuk.” Sharon sedikit salah tingkah ketika matanya dan mata Danny bertemu. Bagaimanapun juga, ia sudah pernah menyukai Danny semester lalu dan mencoba untuk melupakannya karena lelaki itu kini sudah memiliki pacar yang bernama Margareth.

Margareth adalah seorang model cantik yang berwajah oriental. Entah kenapa Sharon sangat merasa minder jika dibandingkan dengan kekasih Danny tersebut.

Danny mengangguk pelan. “Oke, Gue masuk duluan.”

Sharon tersenyum tipis menanggapinya. Ia merasa tak tahu diri karena pernah menyukai seorang Danny. Level mereka berbeda, begitu menurut penilaian Sharon. 

Ia memperhatikan lagi kearah Danny yang sudah masuk kedalam ruang kelas, ia menggeser sedikit kakinya tepat di tengah pintu agar bisa melihat Danny lebih jelas.

Bagaimana mungkin rasa konyol ini tumbuh lagi?

Tidak! Sharon tidak boleh menyukainya! Sharon menggelengkan kepala kuat. Ia sangat tidak paham kepada dirinya sejak masa puber.

“Ehm.” Suara bass menghentikan gelengan kepala Sharon.

“lo ngehalangin jalan.” Sambung pemilik suara bass itu lagi.

Sharon tak langsung bergeser ataupun menoleh. Ia kembali menyesali tingkah konyolnya karena kepergok oleh seseorang. Orang yang memiliki suara bass itu, ia tahu. Sangat tahu. Auranya sangat dingin. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu.

Sharon merutuki dirinya sendiri. Pasti ia seperti orang aneh bagi si pemilik suara bass itu.

“lo ngehalangin jalan.” Kata pemilik suara bass itu, lagi.

Sharon gelagapan. Ia segera berpindah tempat. “ah ia, maaf.”

Kata maaf dari Sharon tak digubris orang itu. Edward namanya. Lelaki itu langsung berjalan mendahului Sharon yang sedang mematung. Edward yang dijuluki manusia batu es. Entah kenapa, Sharon sangat enggan kepada Edward. Bukan karena Edward anak dari pejabat kaya dan punya perusahaan besar. Tapi bagi Sharon, Edward punya aura yang sangat dingin. Edward pun yang selama ini Sharon lihat hanya bergaul dengan beberapa orang saja. Sharon juga jarang mendengar suara Edward. Tadi adalah kata-kata terpanjang yang Edward keluarkan untuk Sharon. Entah kenapa, Sharon merasa senang.

“heh! Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” Suara Lisa, lagi.

Sharon hanya melirik sekilas dan ia langsung memasuki kelas serta langsung duduk dikursinya. Disusul oleh Lisa yang masih melihat Sharon dengan tatapan menyelidik.

Lisa duduk disebelah Sharon dan mulai mengeluarkan ponselnya.

“Kemarin keluarga gue ketemu sama keluarga Edward.”

Atensi Sharon langsung menuju kearah Lisa. “oh ya?”

Lisa mengangguk. “masalah perusahaan gitu,deh. Edward menoleh sama gue pun enggak. Dasar manusia batu! Eh tapi bodo amatlah. Gue ga peduli!” Ujar Lisa lalu memainkan ponselnya.

Sharon menoleh sebentar kearah Edward yang tak jauh duduk dibelakangnya. Edward sedang memainkan ponselnya. 

Dari satu kelas, Sharon hanya tidak dekat dengan beberapa orang. Salah satunya Edward dan yang lainnya ialah Kevin, Margareth kekasih Danny, Olivia si top model dan Sophia si cewek yang hanya mau bergaul dengan teman circle-nya saja.

Tiba-tiba kelas menjadi hening, atensi seluruhnya jatuh kepada seorang wanita yang sudah berkepala tiga yang sedang memasuki kelas dengan penuh wibawa.

Ibu Tiffany, yang terkenal dengan kecerdasan dan kelembutan hatinya memasuki kelas pada hari pertama masuk sekolah.

Wanita itu meletakkan buku yang ia pegang di atas meja dan duduk dibangkunya dengan anggun.

“Selamat pagi.” Ucap ibu Tiffany.

“Pagi” Jawab siswa-siswi dengan kompak.

“Bagaimana liburannya? Apakah menyenangkan? Saya ingin kalian menceriterakan liburan kalian diselembar kertas. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar dengan kata yang tidak boleh disingkat. Pulpen tinta hitam dan tidak diperkenankan menggunakan tipeks. Minimal delapan paragraph, dalam satu paragraph terdiri dari enam kalimat dan dalam enam kalimat terdiri minimal 12 suku kata.”

Semua siswa-siwi mengeluh. Ada apa dengan Ibu Tiffany? Adakah sesuatu yang mengganggu pikirannya? Sehingga ia seperti ini?

“Saya kasih waktu sampai bell tanda jam istirahat berbunyi.” Sambungnya sambil menopang dagunya dengan anggun diatas meja.

Sharon berdecak kagum atas kecantikan Ibu Tiffany.

“Dia seperti bukan manusia.” Celetuk Sharon bermaksud untuk memuji kecantikan Ibu Tiffany.

“memang bukan. Mana ada manusia seribet dia.” Celetuk Lisa yang disambut cibiran oleh Sharon. 

“lo bukannya selama liburan di rumah aja?” Tanya Lisa pelan.

“Ia. Dirumah nenek. Hehehe.” Jawab Sharon sambil nyengir.

Lisa memutar bola matanya dengan malas. Karena ia tahu bahwa rumah nenek Sharon berada di benua seberang.

Semua siswa-siswi bertekun dalam mengerjakan tugas. Mereka harus menghitung kembali setiap kalimat dan suku kata karena Ibu Tiffany merupakan salah-satu guru paling teliti yang mereka ketahui. 

Waktu terus berjalan hingga bell berbunyi. Semua mengumpulkan tugas yang telah mereka kerjakan. 

“Lo mau kantin?” 

“MAU!...” Jawab Sharon kepada Lisa dengan girang.

Lisa dan Sharon menuju kantin dan duduk dibangku yang kosong. Disusul Gideon yang duduk disebelah Lisa, dan Joshua temannya Gideon yang duduk disebelahnya Sharon.

Makanan yang mereka telah ambil sendiri akhirnya mereka santap. 

“ei, tangan gue pegel nih karena nulis tugas.” Keluh Lisa sambil memijit pergelangan tangan kanannya.

“Lebay.” Sahut Gideon yang akhirnya Lisa jitak.

Sharon menikmati makanan serta pertengkaran kecil yang ada dihadapannya, sementara Joshua sibuk memainkan ponselnya.

Pandangan Sharon teralih ketika Margareth menduduki kursi yang tak jauh dari mereka. Bukan hanya Margareth, melainkan juga ada Olivia dan juga Sophia.

Disusul Danny, Kevin dan juga Edward. 

Wow. Seperti pasangan-pasangan yang serasi.

Setahu Sharon, Kevin dan Edward tidak berpacaran dengan Olivia dan Sophia. Nasib mereka sama dengan Sharon dan Joshua yang menemani Gideon dan Lisa berpacaran.

Sharon kembali fokus kepada makanan yang ada dihadapannya. Ia tak berniat menyapa ataupun tersenyum kepada mereka.

“Ron! Gue punya rencana!” Seru Lisa tiba-tiba.

“Rencana apa? Hanya Sharon doang yang dikasih tahu?” Protes Gideon.

Lisa cekikikan. “Gue sebenarnya mau ngajak Sharon uji nyali di sekolah. Tapi kalau lo dan Joshua mau ikut, gapapa kok!” 

Gideon terkejut dan Joshua memutar bola matanya dengan malas.

“Jangan aneh-aneh, deh!” Protes Gideon.

Lisa menghiraukan Gideon dan menatap Sharon dengan semangat. “Gimana, Ron?”

Sharon tak ingin mengecewakan Lisa, disisi lain dia cukup heran dengan pemikiran rencana Lisa yang cukup random.

“uji nyali gimana Lis maksudnya?” Tanya Sharon memastikan.

Lisa menatap Sharon meyakinkan. “Gue baru buat akun Youtube dan ingin membuat konten horror!” 

Sharon menghela nafasnya dan menatap Gideon meminta persetujuan.

“Lo kan bisa bikin konten ke luar negeri kek, tutorial skincare kek atau apalah itu.” Ujar Gideon.

Lisa menggeleng kuat. “Gue mau yang horror.”

Sharon memijit pelipisnya. Ia heran dengan kelakuan Lisa pada saat ini yang berubah dari biasanya.

“Oke.” Gideon menyetujuinya. “Tapi, semua ART yang da di rumah lo harus ikut.”

Lisa tidak jadi teriak kegirangan. Joshua menahan tawanya sementara Sharon menundukkan kepala menyembunyikan tawanya. Masalahnya, jumlah seluruh ART Lisa ada belasan orang. 

“Mana dapet feel horrornya kalau gitu.” Lisa cemberut. “Yaudah, gue pergi dulu!” Lisa beranjak berdiri kemudian Sharon menahan tangannya.

“Lis, bocor.” Bisik Sharon panik.

Segera Sharon menarik Lisa ke UKS untuk mengambil pembalut.

“Gue mau pake disini aja deh. Tutupin gordennya, ron”

Sharon segera menutup gorden dan menunggu Lisa di dalam UKS.

Tak perlu menunggu lama, Sharon dan Lisa kembali ke kelas karena bell tanda masuk berbunyi.

Semua siswa dan siswi memasuki kelas. 

Tak lama kemudian, Ibu Tiffany memasuki kelas.

“Hari ini Ibu Isabelle  izin tidak masuk karena harus menemani suaminya operasi jantung. Saya yang akan menggantikannya.”

Sebenarnya seluruh siswa-siswi di kelas itu ingin memprotes, tetapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. 

“Margareth.” Ibu Tiffany memanggil Margareth. 

Gadis itu berdiri dan maju kedepan menuju Ibu Tiffany.

“Tolong kamu ambilkan tugas yang telah kalian kerjakan. Saya menaruhnya di laci meja saya. Oh ya, saya juga lupa membawa buku yang tertinggal di perpustakaan. Kamu tahu kan buku yang biasanya saya gunakan di kelas?”

Margareth mengangguk mengerti dan melangkah keluar kelas.

Margareth merupakan wakil ketua kelas. Ketua kelasnya adalah Christopher, yang sedang berada di luar negeri untuk mengikuti olimpiade Matematika internasional.

Ibu Tiffany duduk dibangkunya dan mulai berbicara kembali.

“Tak lama lagi sekolah kita akan mengadakan konser drama musikal. Saya harap kalian berpartisipasi untuk acara ini. Saya yakin kalian semua berpotensi untuk itu.” Ujar Ibu Tiffany

Sharon tahu Ibu Tiffany berbicara seperti itu bukanlah tanpa alasan. Hampir seluruh siswa-siswi di sekolah ini bisa bermain alat musik ataupun bernyanyi. Orangtua mereka benar-benar ingin anaknya berkualitas disegala bidang. Tak terkecuali Lisa yang sangat mahir bermain violin.

Ibu Tiffany melanjutkan pembicaraan tentang drama musikal hingga sampai satu jam lebih, karena ada beberapa murid yang bertanya dan sangat mau berpartisipasi juga dalam acara ini.

“Ah ya, saya sampai lupa.” Ibu Tiffany menepuk keningnya pelan.

“Siapa wakil ketua kelas?”

Semua menunjuk Sophia, kecuali Sharon dengan tatapan bingungnya.

Sejak kapan Sophia menjadi wakil ketua kelas?

“Ah ya, maaf Ibu lupa. Sophia, tolong kamu ambilkan tugas yang telah saya periksa dilaci meja saya serta tolong ambilkan buku yang biasanya saya pakai di perpustakaan. Tadi ketinggalan.”

Sophia segera melangkah keluar kelas.

Sharon sangat bingung. Dimana Margareth? Kenapa ia tak kembali? 

Sharon mencolek bahu Lisa. “Lis, Margareth kok gak balik?”  

“Margareth.. siapa?” Tanya Lisa dengan dahi berkerut.

Sharon heran tak percaya. “Jangan bercanda!”

“Siapa yang bercanda, sih?” Nada Lisa meninggi. Tanda ia sangat serius.

Sharon melihat sekeliling. Memastikan ada orang lain yang sama bingungnya dengan dia.

Tatapannya bertemu dengan Edward. Tatapan Edward dingin dan tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status