Share

Pilihan

"Bukankah hanya dengan ini Ibu masih bisa menjadi istrinya dan selalu ada di samping Pak Azril?" tanya Bu Naya dengan perasaan yang dibuat sesedih mungkin.

Devina hanya terdiam, ia berusaha mencerna kata-kata Bu Naya yang menurutnya benar. Namun, apa hatinya akan sanggup jika ia melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain? Apa ia tidak akan menitikkan air mata setiap saat?

"Bu, saya tahu Ibu sangat mencintai Pak Azril, jadi berusahalah untuk selalu berada di sampingnya. Jika ibu menyerah begitu saja, bukankah pengorbanan ibu selama tujuh tahun ini akan sia-sia?" tanya Bu Naya lagi mencoba mengambil hati Devina yang sedang terombang-ambing.

Devina mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menarik napas sedalam-dalamnya, dan mengembuskannya perlahan. "Akan saya pikirkan, Bu." Ia beringsut dan menjauh dari Bu Naya dan masuk ke kamar, bukan kamar yang selama ini menjadi saksi bisu dinginnya Azril, tapi kamar di lantai bawah yang biasa digunakan oleh tamu.

Devina menyalakan ponsel yang sejak tadi dimatikannya dan menelpon sahabatnya yang juga sudah menikah. Dialah Salma--sahabat yang selalu mengajaknya untuk berhijrah dan menjadi muslim yang sejati. Meskipun Devina belum bisa memakai jilbab, tapi Salma tidak pernah memaksa.

"Assalamu'alaikum, Vina." Suara indah Salma langsung terdengar menyapa.

"Wa'alaikumussalam, Mbak." Sementara suara Devina tertahan, ia menangis sejadi-jadinya dan menumpahkan semuanya.

"Menangislah selama itu akan membuatmu tenang, setelahnya, baru ceritakan apa yang sedang terjadi." ucap Vina yang sadar kalau Vina tidak baik-baik saja.

Perkataan Azril kembali terngiang di kepalanya, Devina memeluk kepalanya sambil sesekali memukulnya. "Vina, kamu boleh menangis, tapi tidak boleh menyakiti diri sendiri." Salma berusaha untuk mengingatkan, ia bisa mendengar kalau Devina menepuk-nepuk sesuatu.

"Mbak, rasanya aku sudah gak kuat, tapi rasa cintaku lebih besar dari rasa sakit ini." suara Devina terdengar serak dan lemah, tapi Salma bisa mendengar semuanya dengan jelas.

"Ceritakanlah, Vina. Insya Allah, aku bantu cari jalan keluarnya." ucap Salma terdengar lembut.

"Mas Azril baru saja mengajar bercerai .... " jelas Devina, suara tertahan dan kembali menangis.

"Astagfirullah." Beberapa kali Salma beristigfar, agar dirinya tidak ikut terbawa emosi.

"Dia bahkan mengatakan kalau dirinya mencintai wanita lain." lanjut Devina dengan air mata yang mulai mengering.

"Astagfirullah, aku gak akan meminta kamu untuk bersabar, Vin. Karena memang rasa dimadu itu sangat menyakitkan, membayangkannya saja aku tidak mampu." ungkap Salma tak enak hati, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghibur Devina.

"Kalau dimadu, aku masih belum begitu kepikiran, Mbak. Namun, yang jelas, aku tidak sanggup bercerai darinya." Devina berbicara pelan.

"Jangan bercerai, Vina. Bertahan selagi kamu bisa, pernikahan bukan hal yang main-main." Salma mulai berbicara tegas.

"Tapi bagaimana kalau Mas Azril menginginkan itu?" Hati Devina mulai menghangat ketika mendengar sahabatnya meminta ia untuk bertahan.

Karena seringkali mengikuti pengajian, Devina menjadi tahu kalau perceraian bukanlah hal yang main-main. Ia harus mempertahankannya sebisa mungkin, kecuali jika memang sudah benar-benar tidak sanggup lagi untuk bertahan.

"Katakan saja padanya kalau kamu mengizinkan dia untuk menikah lagi, tentu saja itupun kalau kamu mau." jelas Salma pelan. Ia sungguh tidak tega kalau Devina harus mengalami hal semacam ini, tapi tidak ada ada cara yang lain.

Sementara di sisi lain, Azril sedang berkirim pesan dengan wanita yang baru seminggu dikenalnya. Seorang wanita muslimah yang sangat cantik yang bernama Nafisah.

Nafis adalah panggilannya.

Ketika berkenalan, Azril tidak mengatakan kalau dirinya adalah seorang suami dari wanita lain, tapi lajang. Seorang lelaki berkepala tiga yang belum menikah dan segera ingin menikah secepat mungkin.

"Aku sangat merindukanmu." tulis Azril sambil tersenyum ketika membayangkan wajah Nafisah yang memerah karena malu.

"Kita belum halal, Mas. Jangan mengirimkan pesan yang hanya akan menambah dosa." balas Nafisah dengan sebuah emoticon wajah datar.

"Inilah yang membuatku jatuh hati padaku, kau wanita yang taat." balas Azril dengan hati yang berbunga tanpa memikirkan bagaimana perasaan dan hati Devina yang sedang terluka.

"Perbedaanmu dengan Nafisah sangat jauh, Devina. Aku tak akan pernah mencintai wanita pecicilan sepertimu, apalagi mempunyai anak dari rahimmu. Untung saja aku selalu memberikan obat penunda kehamilan tepat waktu," gumam Azril tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Sedangkan Devina yang tak sengaja mendengarnya ketika kembali dari kamar tamu hanya bisa menahan tangis. "Jadi, gadis itu bernama Nafisah? Dan Mas Azril juga memberikan aku obat agar tidak mengandung anaknya?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status