Share

Azril 2

"Kau jangan coba-coba menyakiti Devina, ya!" kecam Randi sambil menatapku tajam.

"Apaan, sih!" Aku menepis perkataannya.

"Kau! Asal kau tahu, ya, memakai kerudung panjang belum tentu dia salehah, karena menutup aurat adalah kewajiban. Kalau Devina, sudah jelas dia istri yang penurut, tubuhnya pun tanpa cacat, tinggal kau bawa untuk dia mau menutup aurat!" jelasnya membuatku muak.

Tentu saja aku tahu perbedaan di antara mereka, tetap saja Devina jauh dari lebih buruk. Aku akui, selama ini di antara kita belum pernah ada pertengkaran, tapi itu karena aku yang selalu meninggalkan dia.

Entah mengapa, aku tidak ingin berlama-lama untuk terus berada satu ruangan dengannya. Untung saja selama beberapa hari ini dia tinggal di ruang tamu, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menjauh.

"Iya, bawel." Daripada berdebat, aku memutuskan untuk diam.

Dengan teliti, dia mengecek seluruh anggota tubuh, sayangnya hanya gelengan yang aku dapatkan. "Sebaiknya kau pergi ke dokter kandungan, dari sini belok ke kanan." ucapnya memberikan petunjuk.

"Mana ada!"

"Kenapa kau yakin sekali kalau Devina tidak hamil?" tanyanya sambil memindai wajahku, tidak, tidak, bukan hanya wajah, dia menatapku dengan mata tajamnya dari atas rambut sampai ujung kaki.

Mampus! Kenapa dia mempertanyakan hal seperti itu, harus jawab apa, nih?

"Assalamu'alaikum." Belum sempat aku menjawab, dari luar pintu ada yang mengucapkan salam sambil mengetuk pintunya pelan.

"Masuk!" titah Randi.

Ternyata perempuan itu adalah Nafisah, wanita cantik dan anggun yang selalu aku rindukan di setiap malam.

"Makanannya mau disimpan di mana, Dok?" tanyanya pada Randi lemah lembut.

Ah, rasanya aku iri kenapa dari dulu aku tidak memilih menjadi dokter saja, sungguh menyebalkan rasanya jika membayangkan Nafis mengantarkan makanan kepada semua dokter di rumah sakit ini.

Tidak! Rasanya bukan hanya menyebalkan, tapi aku tidak rela kalau melihatnya melakukan seperti itu.

"Sini!" Randi berjalan ke arah Nafis dengan wajah kejamnya. "Lain kali, tidak perlu di antar!" tegasnya tanpa peduli kalau Nafis adalah seorang perempuan yang lembut.

"Dan ingat, kalau laki-laki ini mendekatimu, jangan diterima. Tolak dia jauh-jauh!" lanjutnya tajam, aku punya firasat kalau sesuatu yang tidak diinginkan akan segera terjadi.

Dengan cepat aku mendekat ke arahnya dan menutup mulutnya dengan tangan kananku. "Karena laki-laki itu sudah men—" Setelahnya, hanya terdengar suara yang tidak jelas.

"Sebaiknya kamu kembali saja," ucapku lembut dengan senyuman yang indah.

Nafis mengangguk, lalu membalas senyumanku, kemudian kembali ke keluar ruangan.

Setelah lima menit berlalu dan memastikan kalau Nafis sudah pergi jauh, aku baru melepaskan tangan yang dipakai menutupi mulut bau si Randi ini.

"Apa yang kau lakukan, jangan-jangan kau mengaku padanya belum menikah? Belum punya istri? Bagaimana kau bisa melakukan itu, hah? Kau pikir pernikahan adalah permainan? Kau pikir Devina itu pantas untuk disakiti?" cecarnya membuatku malas untuk mendengarkan.

Daripada telingaku ini sakit, aku langsung keluar menyusul Nafisah untuk membicarakan tentang keputusan Devina agar aku membawa Nafisah ke rumah.

*****

"Yang benar, Mas?" tanyanya memastikan ketika aku menceritakan semuanya.

"Tentu saja, aku tidak suka berbohong." Aku tersenyum lebar melihat kebahagiaan yang terpancar di wajahnya.

"Baik, aku izin Bude!" serunya sambil berlari ke arah kantin.

Aku menunggunya di mobil dengan perasaan bahagia yang akan segera meledak. Wah-wah, ternyata begini rasanya ketika bahagia terhadap pasangan atau wanita yang kita cintai. Kita juga akan ikut merasakan kebahagiannya.

Tidak lama, Nafis kembali datang menghampiri dengan wajah gembira. "Bude sudah izinkan!" serunya dan langsung masuk ke dalam mobil yang sudah aku buka pintunya khusus untuk orang yang kucintai.

Kalau untuk Devina, jangan harap.

Hanya dalam hitungan menit, aku sudah sampai di rumah. Dari tadi, ada sedikit kekhawatiran yang ada pada hatiku.

Aku sangat takut kalau Devina mengingkari janjinya dan akan bersikap bar-bar, layaknya istri pertama seperti yang di film-film atau novel.

Ketika sampai, aku melihat Devina sedang menyiram tanaman strawberry yang tumbuh subur itu.

Aku langsung membawa Nafisah masuk.

"Dia siapa, Mas?" tanya Nafis sambil menunjuk ke arah Devina.

"Saya pembantu di rumah ini," jawab Devina tanpa menatap ke arahku sedikit pun.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zuriah Jamalin
Azril rampas semua harta DEVINA... DIA KN PEREMPUAN BODOH..biar ja dia jadi pembantu rumah sma miskin kn dia.. PALING BENCI PEREMPUAN KAYAK DEVINA KLO BOLEH BIAR MATI JADI PEMBANTU...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status