Share

7. Unperfect Husband

Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.

Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.

“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”

“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”

Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah,  kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita dengan gaun pernikahannya.”  

Caraline mengerti. Sesudahnya ia bertanya, “Bagaimana dengan keamanannya?”

“Kami sudah melakukan penjagaan super ketat di sekitar Mililine Tower 2, Nona. Daerah dalam radius satu kilometer sudah kami sterilkan. Selain itu, kami sudah menyebar penjaga di seluruh area gedung.”

Caraline mengembus napas panjang. Meski terdengar seperti kabar bagus, tetapi pada kenyatanya berita itu tak bisa menghilangkan perasaan aneh yang berkecamuk di hatinya.

Seolah memahami keraguan di paras Caraline, Helen melanjutkan, “Nona, tenanglah. Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mengamankan pernikahan Nona.”

“Baiklah, aku percaya padamu, Helen,” ujar Caraline sembari mengecek jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum acara dimulai.

Helen mengangguk, lantas menghubungi seseorang dengan ponselnya. Selagi menunggu suruhannya datang, Helen bertanya, “Apa ... pernikahan ini membebani Anda, Nona? Anda sepertinya berada dalam situasi yang kurang baik sejak kemarin.”

“Aku punya alasan melakukan hal ini,” jawab Caraline seraya mengalihkan pandangan ke arah jendela yang tersiram cahaya mentari.

“Aku sangat memahami hal itu, Nona.” Helen menoleh pada arah pintu sesaat, lantas menatap Caraline kembali. “Sebenarnya, aku ingin Nona menenangkan diri lebih lama lagi. Tapi, sepertinya kita harus bertindak cepat karena penata rias Anda sudah ada di sini.”

“Kalau begitu bersegeralah agar aku bisa terbebas dari situasi aneh ini.”

***     

“Si cacat Deric itu benar-benar membuatku muak,” teriak James yang duduk di kursi belakang. Pria berusia 25 tahun itu menjambak rambut, lalu memukul pahanya sendiri.

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan wanita bernama Caraline itu,” ujar Jonathan, “kalau memang dia berniat menikah, seharusnya dia memilih pria yang setara, bukan sampah seperti Deric.”

“Kekayaan terkadang membuat pola pikir seseorang menjadi tidak normal,” sahut Jeremy yang berada di kursi kemudi, “tapi lihat sisi baiknya. Dengan tingkah gila wanita itu, perusahaan kita bisa selamat dan pria cacat itu bisa angkat kaki dari rumah kita tanpa paksaan. Ini seperti membunuh dua burung dengan satu batu.”

“Kakak benar.” Jonathan sependapat.

Jeremy menambahkan, “Selain itu, kita punya kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari Caraline.”

“Mungkin ini jawaban dari Tuhan kenapa pria cacat itu masih dibiarkan hidup setelah kecelakaan beberapa tahun lalu.” Jonathan terkekeh. “Memelihara sampah itu ternyata ada gunanya.”

“Aku sangat benci mengakuinya sampai-sampai aku ingin memotong lidahku sendiri saat akan mengatakannya. Tapi, saat ini, aku benar-benar iri pada pria cacat itu,” kata James dengan wajah merengut, “si cacat Deric sama sekali tak pantas berada di mobil mewah itu. Satu-satunya kendaraan yang cocok untuknya hanyalah mobil sampah!”

“Oh, bukan.” James menggeleng. “Mobil jenazah adalah yang paling pantas untuknya,” koreksinya kemudian.

“Diamlah, James,” pinta Jeremy seraya mengembus napas panjang. “Dengan terus mengomel, kau tidak akan tiba-tiba berada di dalam mobil mewah itu dan menggantikan posisi si cacat Deric. Lagi pula, apa kau mau fungsi kedua kakimu ditukar dengan kemewahan sesaat?”

“Tak bisakah aku menjadi kaya dan memiliki kaki yang berfungsi sekaligus?” James menyilangkan tangannya di depan dada. “Setidaknya dunia ini bersikap adil padaku walau sesaat.”

“Kau tidak akan mendapat keadilan sebelum rekeningmu penuh dengan uang,” jawab Jeremy. Pria itu lalu berkata lagi, “Jadi, berhentilah main-main dan fokuslah membantu kami mengelola perusahaan kecil peninggalan pria tua itu.”

Pembicaraan ketiga kakak-beradik itu usai setelahnya. Keheningan mendekap hampir di setengah perjalan. James dan Jonathan terlelap di kursi masing-masing, sedang Jeremy fokus menyetir dan mengikuti pergerakan mobil di depannya.

Jeremy mengembus napas panjang. Cengkeraman pada setir menguat. Giginya bergemeletuk seiring rahangnya yang mengeras. Ia benar-benar mengerti bagaimana perasaan James sekarang sebab dirinya pun merasakan hal serupa. Di semua bentuk ketidakadilan di dunia, kenapa harus pria lumpuh semacam Deric yang harus mendapat ini semua? pikirnya.  

“Aku harus membuat rencana,” lirih Jeremy dengan senyum bengis.

Di lokasi berbeda, Caraline baru saja selesai dirias.

“Anda benar-benar sempurna, Nona,” puji Helen dengan mata yang tak lepas menilik Caraline dari atas hingga bawah.

Alih-alih tersenyum, Caraline malah mengembus napas panjang. “Helen, tinggalkan aku sendiri. Aku ingin menghubungi seseorang.”

Tanpa banyak penolakan, Helen undur diri seperti yang diminta.

Tinggallah Caraline sendiri di ruangan luas ini. Wajahnya tenggelam dan pandangannya terpusat pada jemari yang saling mengait. Untuk sesaat, keheningan begitu erat mendekap. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan pikirannya yang ramai oleh bisikan, antara meneruskan pilihan atau menghentikan kegilaan.

Caraline mendongak setelah larut dalam lamunan. Hal yang pertama ia lihat adalah pantulan dirinya di dalam cermin. Ia memang menyerahkan semua riasan dan gaun pada Helen, tetapi sepertinya asistennya itu benar-benar tahu apa yang ia butuhkan.  

Gaun putih panjang bercorak bunga mawar itu amat cocok dengan tubuh ramping Caraline. Rambutnya dicepol dengan tambahan aksesoris bunga putih yang melingkar di sekeliling rambut. Alih-alih terlihat sederhana, Caraline justru tampil begitu elegan.

“Apa aku ... benar-benar harus melakukan hal ini?”

Caraline berdiri dari duduknya. Bersamaan dengan mata yang terkatup, tubuhnya mulai berlenggok-lenggok. Gaun bagian bawahnya terbang saat kaki jenjangnya melangkah lebar,  lalu memutar beberapa kali. Caraline seperti tengah menari, menyampaikan perasaan melalui gerakan indahnya.

Ketika matanya kembali terbuka, tarian Caraline benar-benar berhenti. Wanita itu diam sesaat untuk menstabilkan napas. Tangannya kemudian merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah kotak merah tua dengan ukiran emas kini berada dalam genggamannya. Caraline lantas membuka kotak itu, lalu mengambil sebuah kalung yang tersimpan di sana.

Caraline kembali duduk di depan meja rias. Ia amati kalung perak dengan liontin kristal putih itu selama beberapa detik. Saat masa lalu akan menariknya, Caraline buru-buru mengenakan perhiasan itu.

“Apakah ini akhir dari hidupku atau justru awal kehidupan yang sesungguhnya?” Caraline bermonolog sembari menatap pantulan dirinya di cermin. Ada secarik senyum yang tercipta di sana.

Caraline menoleh ketika terdengar ketukan pintu. Helen muncul dari celah yang terbuka tak lama setelahnya.

“Maafkan aku karena menggangu waktumu, Nona,” kata Helen, “tapi, aku berharap kalau Nona sudah siap karena Tuan Jacob Aberald sudah tiba di tempat pernikahan.”  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status