Share

8. Unperfect Husband

Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.

Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.

“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.

James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.

“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya memelotot seakan ingin melahap adiknya bulat-bulat. Pertama kali dalam hidupnya, ia tak ingin melihat si cacat Deric itu terluka. “Apa kau ingin kita semua mati?” Jeremy mengcengkeram kuat bagian samping jas milik James.

James berdecak, lalu membuang wajahnya ke sembarang arah sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku. “Salahkan pria cacat itu,” tunjuknya pada Deric.

“Jaga tingkahmu setidaknya untuk beberapa waktu ke depan, James. Setelah hari ini berakhir, aku janji aku tidak akan mencegahmu untuk melakukan apa pun pada si cacat ini,” lanjut Jeremy yang kemudian melepas cengkeraman. Ia sama sekali tak terganggu meski tahu kalau Deric mendengar ucapannya.

“Aku pikir James hanya gugup,” ujar Deric seraya berbalik.

“Dan aku pikir kalau kau pantas mati,” ketus James sembari merenggangkan jarak dari Jeremy dan Jonathan.

Tak lama kemudian, Deric dan yang lain segera dibawa menuju lokasi acara yang letaknya di rooftop gedung. Mereka diantar oleh seorang wanita dan juga tiga orang penjaga berseragam hitam, yang kemudian pamit saat Deric dan yang lain mulai memasuki lokasi acara.

Begitu masuk, Deric disuguhkan dengan hamparan rumput hijau dengan aneka bunga yang ditanam dengan rapi di beberapa bagian. Dekorasi tempat ini didominasi oleh bunga mawar putih, juga pita dengan warna senada. Terdapat dua air mancur mungil yang berdiri gagah di sisi kiri dan kanan lokasi. Untuk menambah kesan mewah sekaligus anggun di saat bersamaan, lokasi ini diselimuti oleh kubah transparan.

Deric tersenyum. Raganya maju bersama kursi roda yang diduduki, sedangkan matanya memindai sekeliling dengan manik berbinar. Tak ada orang selain dirinya dan ketiga saudaranya di sini sebab itulah Deric bisa leluasa bergerak mengelilingi ruangan.

Melihat hal itu, James seperti memperoleh kesempatan. Rasa kesalnya yang sudah berada di ubun-ubun ia lampiaskan dengan mendorong kursi roda Deric, lalu menghempaskannya secara tiba-tiba.

Kejadiannya berlangsung secepat kedipan mata. Deric yang masih sibuk mengamati sekeliling seketika terperanjat saat kursi rodanya meluncur dengan cepat. Saat ia menyadari James berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kepuasan, kursi rodanya lebih dahulu dipaksa berhenti saat menyentuh kubah yang mengelilingi ruangan. Hal itu membuat tubuhnya terdorong ke depan.

Menyadari dirinya akan menabrak dinding kaca, Deric sontak menahan raganya dengan kedua tangan. Nahas, pria itu harus menerima fakta kalau dahinya membentur dinding kaca dengan lumayan keras meski tubuhnya kembali duduk di kursi roda setelahnya.

“Kau pantas menerima hal itu, Sampah!” pekik James tanpa rasa iba.

“Kau benar-benar ingin membunuh kita, James,” geram Jeremy. Kedua tangannya segera menarik kerah baju adiknya. “Aku sudah memperingatkanmu tadi.”

“Aku tak peduli.” James melepas cengkeraman Jeremy, kemudian mengalihkan pandangan dari sang kakak yang tengah memelototinya.     

“Berhenti bersikap seperti anak kecil!” Jonathan secara tiba-tiba melayangkan pukulan ke perut James.

James kontan mengaduh, memegangi perutnya yang seperti tengah dikuras.

“Aku rasa itu terlalu berlebihan,” ujar Deric tanpa menoleh sedikit pun dari pemandangan pantai dan laut yang ia lihat melalui dinding kaca di depannya. “James hanya menunjukkan pemandangan bagus untukku.”

“Aku tidak butuh belas kasihmu,” ketus James.

 Tak lama setelahnya, lokasi acara mulai didatangi dengan beberapa orang berseragam, juga Helen yang ingin memastikan persiapan. Dirasa sesuai dengan rancangan, wanita dengan rambut dicepol itu kemudian mendekat ke arah Jeremy, Jonathan dan James.

“Tuan Jacob, upacara pernikahan Anda akan segera dimulai,” ucap Helen sembari memandangi ketiga pria itu secara bergantian. Wanita itu sama sekali tidak mengetahui mana siapa di antara kakak-beradik itu yang bernama Jacob Aberald karena Caraline sama sekali tak menunjukkan foto atau menyebut ciri-ciri fisik dari sang pengantin pria yang akan menyuntingnya.

Deric mendengar jelas perkataan Helen, tetapi ia sama sekali tak beranjak dari tempat kursi roda berpijak. Keberadaannya saat ini terhalang oleh ketiga saudaranya sehingga wanita itu tak melihat sosoknya.

 Setelah mengatakan hal itu, Helen pergi ke ruangan Caraline untuk memberi kabar bila pernikahan sudah siap.

“Nona,” panggil Helen, “Tuan Jacob sudah menunggu Anda di lokasi pernikahan.”

Caraline yang berada di depan jendela seketika berbalik. Ponselnya segera turun dari telinga. Wanita itu buru-buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas.

“Nona, soal keluarga Anda ....” Helen segera menghentikan ucapan.

“Tidak ada dari mereka yang akan datang, Helen,” ujar Caraline seraya memutar tubuh untuk berhadapan dengan asistennya.

Helen langsung bisa mencerna siatuasi. Untuk itu, ia tak lagi membahas perihal keluarga, dan memilih untuk memandu Caraline ke tempat acara.  

Caraline berhenti tak jauh dari pintu masuk. Ia membiarkan Helen berjalan lebih dahulu. Batinnya kembali ramai oleh persaingan. Namun, wanita itu sudah memikirkan hal ini sejak tadi. Perasaannya condong pada pilihan untuk membatalkan acara pernikahan. Kalaupun keluarga Aberald marah dan menudingnya sudah mempermainkan mereka, ia bisa dengan mudah menutup mulut dan aksi keluarga itu dengan uang dan kekuasaan. Toh, mereka pasti tidak menolak jika mendapat tambahan digit angka nol di rekening.

Untuk masalah pria bernama Deric, Caraline sama sekali tak harus merasa bersalah. Pria cacat itu jelas tidak memiliki kemampuan, harapan, apalagi masa depan. Di dunia yang lebih menghargai uang dan kekuasaan, pria semacam itu laksana produk gagal.

Lagi pula, bagaimana mungkin pria cacat itu bisa bersanding dengan wanita sempurna seperti dirinya? Bahkan wanita biasa saja akan berpikir ribuan kali untuk  memiliki suami yang sepanjang hari bermesraan dengan kursi roda.

Benar. Caraline sudah memutuskan untuk mundur. Jadi, tak ada gunanya lagi ia memakai gaun panjang dan menghadiri acara bodoh ini. Sebaiknya, ia pergi dan kembali bergelut dengan pekerjaannya yang jelas-jelas berkontribusi bagi hidupnya.

“Helen ...,” lirih Caraline.

Merasa terpanggil, Helen seketika menoleh ke belakang. Ia bergegas berlari ke arah Caraline untuk menipiskan jarak. “Mari, Nona.”     

Anehnya, kaki jenjang Caraline justru melangkah maju dibanding menjauh, padahal baru saja ia menggemakan keputusan untuk membatalkan pernikahan ini. Namun, yang terjadi pada dirinya sungguh di luar dugaan. Saat ini, Caraline tengah berjalan di karpet merah dengan menggenggam sebuah buket bunga mawar putih.

Caraline bisa merasakan nuansa pernikahan yang nyata dari ruangan ini. Dekorasi taman  rooftop ini benar-benar sempurna untuknya. Lagi-lagi, ia harus berterima kasih pada Helen. Di depan sana, Caraline mendapati tiga orang pria dari keluarga Aberald tengah berdiri sembari menatapnya. Kursi di belakang dan samping mereka tampak kosong, kecuali satu kursi yang kini diduduki Helen.

Ini gila, batin Caraline saat kakinya terus saja melumat jalan. Barulah saat berada di pertengahan jalan, langkahnya mendadak terhenti. Dari tempatnya sekarang, Caraline bisa melihat pria bernama Jacob Aberald itu berada di altar pernikahan dengan posisi membelakanginya.

Sejujurnya, ini kesempatan terkahir bagi Caraline untuk menghentikan kegilaan ini. Berbalik, lalu pergi dari ruangan ini adalah sesuatu yang harus dirinya lakukan sekarang. Lagi pula, untuk apa ia menghabiskan waktu dengan seorang pria catat tak berguna?

Caraline memutar arah, membelakangi altar pernikahan. Matanya terpejam kuat, sedang kedua tangannya mengangkat rok. Saat kaki kanannya hendak melangkah maju, secara mengejutkan ia mendengar tawa seseorang yang ia kenal. Caraline tercenung sesaat, dan tak lama kemudian netranya kembali terbuka. 

Tubuh Caraline kembali menghadap altar. Butuh beberapa detik untuk memastikan dirinya siap. Saat pandangannya tertuju pasa lokasi itu, hal pertama yang ia lihat adalah seorang pria bermata biru yang tengah tersenyum padanya.

“Jacob?” Saat nama itu disebut, Caraline tanpa sadar memegang jantungnya yang berdetak kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status