Share

10. Unperfect Husband

“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.

“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.

Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.

“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”

“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingin menguliti pria di kursi roda itu.

Apa pria cacat di depannya sedang membuat lelucon? Ini sama sekali tidak lucu. Tak bisakah pria itu lihat pengorbanan yang sudah ia lakukan untuk sampai di detik ini? pikir Caraline.

“Apa kau pikir aku sedang mempermainkanmu?” Caraline bertanya dengan wajah semerah buah ceri. Urat lehernya tampak menyembul dari kulit mulusnya. Kepalan tangannya mengeras sampai kain penutup meja mengerut. “Dengarkan aku!”

Deric tersenyum, dan hal itu membuat konsentrasi Caraline dan kalimat yang sudah ia susun buyar seketika. Oleh karena itu, ia membutuhkan sedikit waktu untuk menyusun ulang redaksi kata yang cocok. Tak ingin konsentrasinya kembali terganggu, Caraline memutuskan untuk menolehkan wajah ke samping. Tubuhnya ikut menghadap arah yang sama dengan netranya.  

“Nona,” panggil Deric.  

“Diamlah! Suaramu benar-benar membuat konsentrasiku lenyap!” ketus Caraline. Tangan kanannya masih mencengkeram kain meja.

Untuk beberapa waktu, suara musik menginterupsi obrolan keduanya. Baik Caraline maupun Deric sama-sama memilih diam. Helen, Jeremy dan kedua adiknya baru saja pergi meninggalkan ruangan. Tempat dan waktu seakan membiarkan Caraline dan Deric menikmati momen tanpa ada gangguan dari siapa pun.  

“Nona.”

Caraline mengembus napas panjang. Tatapannya kini tertuju pada air mancur yang tengah menari. Suara cipratan air menjadi suara pendukung dari musik yang mengalun di ruangan ini.

“Baiklah, Nona, sebaiknya aku pergi agar membuatmu nyaman.” Deric mulai mendorong kursi roda, lalu berputar arah untuk merenggangkan jarak dengan Caraline.

“Aku hanya memintamu diam, bukan menyuruhmu untuk pergi. Jadi kembalilah seperti sedia kala,” kata Caraline pada akhirnya.

Deric menyungging senyum tipis, kemudian memosikan diri menghadap Caraline kembali.

“Apa kau benar-benar menganggap semua ini permainan?” tanya Caraline yang masih menoleh ke samping.  

“Tentu,” jawab Deric jujur, “sepanjang malam, aku tak bisa tidur karena memikirkan ucapan Nona yang ingin menikah denganku. Kak Jeremy sempat mengatakan kalau apa yang dikatakan Nona adalah kenyataan. Dia juga memberitahuku tentang uang yang dikirimkan Nona sesaat setelah aku mengatakan syarat itu. Tapi ... semua itu belum cukup membuatku percaya jika ini benar-benar sungguhan. Jadi, aku putuskan untuk mengikuti permainan ini.”

“Ini sungguhan dan kau harus tanamkan hal itu di kepalamu!” balas Caraline yang mulai memaksakan diri untuk melihat Deric melalui ekor mata.

Deric membuka setengah mulut, kemudian menyahut, “Bukan maksudku menghina Kak Jeremy karena setuju dengan perkataannya, tapi kalaupun ini sungguhan, rasanya sangat tidak masuk akal jika wanita sempurna seperti Nona mau menikah dengan pria cacat sepertiku. Siapa pun pasti setuju dengan pendapatku.”

“Dunia ini memang dipenuhi hal tidak masuk akal. Jadi biasakan dirimu dengan semua itu,” balas Caraline, “kau bisa berbicara denganku saja itu sudah termasuk hal yang amat mustahil.”

Mendengar balasan Caraline, Deric sontak tertawa hingga matanya berubah menjadi satu garis lurus. “Anda benar, Nona. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan hal itu.”

“Diamlah!” Caraline memukul meja. “Tidak ada yang lucu dari perkataanku. Lagi pula, aku tidak punya niatan untuk menghiburmu.” 

Caraline masih bisa mendengar suara tawa Deric. Meski terganggu, tetapi ia cukup menyukainya. Saat ia memutuskan untuk mengubah posisi duduk untuk kembali berhadap-hadapan dengan pria itu, ia malah disambut senyuman.

“Berhentilah tersenyum!” pinta Caraline sembari kembali menghantam meja. “Kau benar-benar menakutiku!”

Deric lantas mengambil gelas, kemudian meneguk isinya hingga tandas. Caraline tanpa sadar memperhatikan bagaimana pria itu melakukan aksi barusan. Hanya sebatas kegiatan normal yang dilakukan orang, tetapi entah mengapa ia tertarik untuk melihatnya.  

Merasa dirinya bodoh atas tindakan barusan, Caraline memutuskan untuk meninggalkan meja. Ia berjalan menuju ke ujung ruangan untuk mengamati pemandangan pantai dan laut. Rasanya tidak lengkap kalau hanya menikmati ragam bunga yang tertanam di taman ini.

Deric melakukan hal yang sama. Kursi rodanya kini berada tak jauh dari posisi Caraline berdiri. Caraline menyadarinya, tetapi ia tak mengatakan apa pun.

“Aku pikir Nona sangat terobsesi dengan salah satu serial dongeng terkenal,” ujar Deric yang tak beralih dari pemandangan hamparan pasir putih di pantai.

“Apa maksudmu?” Alis Caraline menekuk bersamaan. Kedua tangannya yang menyilang di depan dada turun sesaat.  Wanita itu kontan menoleh ke arah Deric. Namun, saat pria itu melirik ke arahnya, ia dengan cepat kembali menjadikan ombak sebagai pelarian.

“Peristiwa ini benar-benar membuatku seperti berada dalam cerita dongeng tentang sosok mahluk mengerikan yang hidup dengan seorang wanita cantik.”

Caraline berdecak saat mengetahui cerita yang dimaksud. “Aku sama sekali tidak menyukai dongeng anak-anak. Bahkan sejak usiaku lima tahun, aku sudah tahu kalau hal itu hanya bualan pengantar tidur.”

Caraline melanjutkan, “Berhentilah berbicara omong kosong.”

“Entahlah, Nona. Setiap kali aku memikirkan alasan di balik semua tindakan Nona, pikiranku selalu bermuara pada dongeng itu.”

“Kalau begitu, berhentilah berpikir untuk sesuatu yang tak bisa kau selesaikan,” respons Caraline. Wanita itu kemudian menjauh dari dinding kaca, meninggalkan Deric tanpa kata.

“Nona,” panggil Deric sembari memutar arah kursi roda.

“Berhentilah memanggilku dengan sebutan nona.” Caraline berhenti, tak memiliki niatan untuk memutar tubuh. Jujur saja, ia merasa terganggu. “Aku tak ingin mendengar hal itu darimu.”

“Baiklah, Nona.”

Caraline yang mendengarnya sontak berbalik. Kedua tangannya kembali menyilang di depan dada. Meski begitu, pandangannya menoleh ke samping. “Apa kau tidak dengar ucapanku barusan?”

“Aku akan berhenti melakukannya asal Nona menjawab pertanyaanku.” Deric mendorong kursi roda ke depan.

“Katakan dan jangan buat aku terjebak lebih lama dengan pria sepertimu!” pinta Caraline.

Deric diam sejenak sebelum mulai bertanya, “Sampai kapan kita harus berada dalam situasi ini?”

Caraline seketika terdiam saat mendapat pertanyaan itu. Kedua tangannya yang menyilang kini menjuntai bebas di samping tubuh. Wanita itu terpejam, berharap bila jawaban akan datang secara tiba-tiba saat dirinya mulai membuka mata.

“Aku ... tidak tahu,” jawab Caraline akhirnya. Wajahnya tenggelam saat ucapan itu hadir ke permukaan.

“Baiklah.” Deric menyahut. “Aku harus memanggil dengan sebutan apa?”

Caraline refleks menoleh ke arah Deric dengan raut bingung “Apa yang terjadi denganmu? Aku yakin pendengaranmu masih normal.”

“Ketidaktahuan merupakan sebuah jawaban,” jelas Deric.

“Panggil aku ... Caraline,” ujar sang pemilik nama setelah menjeda selama satu detik.

“Satu hal lagi, No ... maksudku Caraline. Apa rencanamu setelah ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status