Share

Unexpected Night
Unexpected Night
Penulis: Zara Sun

Unexpected Night | 01

Addison Corporation

San Francisco – United States

August | 3:25 PM.

“Fuck…”

Kedua mata Josie membulat. “Jesus Christ, Jessie... Hari ini kau tidak membawa pakaian ganti, sir, karena besok kita akan ke Houston,” gumamnya memelototi wanita itu yang baru saja menjatuhkan cup kopi ke setelan jas Liam karena tersandung ketika masuk.

“M-maaf, sir. Saya akan—”

Liam mengangkat tangan menahan wanita itu yang hendak mendekat. “Tidak perlu, bersihkan lantai ini,” sergah Liam membuat wanita itu mengangguk patuh kemudian Liam melanjutkan langkahnya keluar dari lift seraya melepaskan jas lalu ia berikan pada sekretarisnya, Josephine Rose Galway.

Liam menoleh. “Catherine?” tanya Liam seraya melangkah diikuti dua wanita cantik di belakangnya.

“Yes, sir. Mr. Court memintamu untuk pertemuan meeting setelah kepulanganmu dari Houston,” tutur Catherine lalu menoleh ke arah Josie, menyodorkan kopi padanya. “Hey, ini minuman untukmu. Aku lupa Mr. Addison tidak menyukai minuman manis,” lanjut Catherine dengan nada berbisik pada wanita berambut pirang seperti salah satu karakter jenaka ‘si pirang yang bodoh’.

“Thank you,” ucap Josie merebut minuman itu dari tangan Catherine tanpa meliriknya sekalipun. Josie berdecak pelan melihat bossnya lebih memilih wanita sialan itu daripada dirinya yang jelas-jelas sekretaris dan asisten pribadinya. Itulah yang membuat ia kesal karena pria bermanik biru itu seakan melupakan dirinya ketika ada Catherine.

Tidak ada senyuman, tidak ada ucapan yang keluar dari bibirnya, yang ada hanyalah tatapan tajam dan mengintimidasi dari seorang pria tampan berusia dua puluh lima tahun yaitu, Maximiliam Declan Addison.

Seorang billionaire muda memiliki wajah yang tampan adalah putra dari pasangan Alanna dan Alexander Addison yang saat ini sudah memegang alih atau pewaris utama Addison Corporation di negaranya, Amerika Serikat. Liam adalah sosok pribadi yang sangat tertutup karena saat Alexander memperkenalkan putranya, pria itu tidak pernah terlihat bersama seorang wanita kecuali ibunya, Alanna Addison.

“Ada telepon dari Walt Whitman siang tadi, aku sudah menelponmu, tapi tidak diangkat,” ucapnya, sekretaris sekaligus asisten pribadi Liam yang selalu menemaninya kemanapun Liam pergi, hanya untuk urusan pekerjaan. Di luar itu, mereka seperti orang asing karena balik lagi seperti awal, Liam jarang berkomunikasi dengan orang kecuali sahabat terdekatnya.

“Aku tidak akan menjawab jika kau menelpon ke nomor pribadiku.”

Liam sudah membedakan ponsel untuk bekerja dan bukan. Jika seseorang menelpon ke nomor pribadinya untuk urusan pekerjaan, Liam tidak akan mengangkatnya kecuali yang menelpon sang ayah dan ia tak ingin jika urusan pribadi dan pekerjaan digabung.

Pintu lift berdenting, Liam melangkah keluar lalu langkahnya terhenti ketika pintu ruangan sudah setengah terbuka, ia berbalik menghadap wanita bernama Catherine itu. “Katakan pada Walt, kirimkan email-nya sebelum pukul...” Liam menggantung ucapannya seraya melirik alroji di lengan kiri. “6 sore,” lanjutnya.

“Ada yang kau butuhkan lagi?” tanya Catherine dengan sopan.

“Katakan pada Jazzy untuk membawakan setelan jasku sekarang.”

“Yes, sir.”

Liam mendorong pintu ruangannya seraya melepaskan kancing kemeja yang terkena tumpahan kopi panas itu. Ia berdecak pelan dan mengumpat karena tumpahan kopi itu juga mengenai celana bahan yang ia kenakan sedangkan dirinya tak membawa pakaian ganti hari ini. Saat Liam hendak ke toilet, tiba-tiba ponselnya kembali berdering, melihat nama yang tertera di layar, ia segera mengangkatnya. “Mom,” sapa Liam dengan suara lembut seraya menuangkan anggur ke dalam gelas lalu menyesapnya.

“Tidak ada, hanya masalah kecil pagi tadi, jangan khawatir, Dad sudah menanganinya.”

Suara derup sepatu tinggi membuat Liam melirik, sekretarisnya datang membawa handuk kecil di tangan. Liam mengangguk mendengarkan apa yang diucapkan Anna ditelpon tetapi manik birunya tak lepas dari wanita di hadapannya. “Kim sudah membangunkan Jazzy saat aku berangkat, semalam kami terjaga untuk menonton pertandingan di televisi,” ucap Liam, menjelaskan agar Anna tak memarahi gadis itu karena terjaga.

Kedua matanya terus menatap tajam wanita berambut pirang di hadapannya ini yang lancang menyentuh kemejanya untuk dilepaskan. “Tidak, Mom. Besok pagi aku ada perjalanan bisnis ke Houston selama satu minggu, jadi supirku akan mengantar Jazzy ke Los Angeles,” ucap Liam.

Tatapannya seolah-olah sedang menggoda Liam, jemari lentiknya memasukkan pakaiannya ke dalam paperbag untuk dicuci kemudian mendekat mengusap perut dengan handuk kecil untuk membersihkan bekas kopi yang tumpah sedangkan Liam, pria itu mengangguk paham yang dibicarakan Anna sembari memperhatikan wanita di depannya ini. Wanita itu semakin lancang dan merapatkan tubuhnya hingga saling bersentuhan terhalang kain yang masih menutupi tubuh Josie, itu membuat Liam sangat risih.

Dengan cepat Liam mendorong wanita itu hingga menabrak meja kerjanya. “Tidak ada apa-apa, Mom. Nanti aku telpon lagi.” Liam memutuskan sambungan teleponnya sepihak dan melempar ponsel itu ke atas meja. Josie tersentak kaget, Liam menatap tajam wanita bermanik biru itu, ia tahu arti dari tatapan sekretarisnya saat ini.

“Kau tahu siapa kau disini, Miss. Galway?”

Wanita bernama Josie itu mengangguk seraya menegakkan tubuh dan tersenyum kecil begitu mendekati Liam, menyentuh perut dan membelainya dengan lembut. “Aku bisa memuaskanmu sebelum kita ke Houston besok pagi,” bisik Josie di telinganya.

Liam mendekatkan tubuhnya dan mengunci pergerakan wanita itu. “Kau menginginkannya?” tanya Liam berbisik. Josie tersenyum dan mengangguk. “Yeah, di meja ini,” bisik Josie dengan sensual. Menyentuh rahang dan memandang bibirnya, itu bukan Josie yang ia kenal.

Perlahan Liam mendekatkan bibirnya di telinga Josie. “Aku tidak mempekerjakan wanita seperti itu di perusahaanku, Miss. Galway,” balas Liam. “Aku bukan seperti mereka,” lanjutnya, memberitahu bahwa dirinya bukan bagian dari pria yang melakukan hal tersebut kepada sekretarisnya.

Josie terdiam, ia sudah mencoba agar Liam meliriknya tetapi pria itu sama sekali tidak melakukan itu. Tubuhnya terasa begitu panas, Ia mengangkat tangan kanannya dan ingin menyentuh kejantanan Liam tetapi pria itu lebih dulu menahannya membuat kesabaran Liam habis. “Jadilah seperti Josie yang ku kenal.” Kali ini Liam menaikkan nada bicaranya dan meremas tangan Josie membuat wanita itu meringis kesakitan.

Liam menegakkan tubuh dan langsung menekan tombol telpon dari meja kerjanya. “Bawa penjaga ke ruanganku sekarang,” perintah Liam kemudian tak berselang setelah Liam menelpon, dua pria bertubuh besar masuk ke dalam ruangannya.

“Bawa wanita ini keluar.”

Josie membulatkan kedua matanya, ia menghampiri Liam. “Kau tidak bercanda kan?”

Liam menarik tangannya. “Cepat bawa wanita ini keluar dari ruanganku,” perintah Liam, kedua penjaga itupun menarik lengan Josie, wanita itu terus memanggil nama Liam untuk tidak mengusirnya. Liam tahu, meskipun Josie memiliki segalanya, ia tidak ingin melakukan hal menjijikan yang ditawarkan wanita itu, untuk sesuatu yang mungkin menjadi hal biasa, Liam tak akan melakukannya, ia tak ingin Josie seperti wanita diluar sana yang datang hanya untuk memuaskan atasannya, ia masih menghormati Josie sebagai wanita.

“Mr. Addison! Hey, lepaskan aku!”

Bersamaan dengan itu, seorang pria berparas tampan masuk ke dalam ruangannya terkejut melihat Josie dibawa keluar oleh dua penjaga dengan paksa. Wanita itu menatap Walt begitu dalam seraya menggeleng pelan sedangkan Walt hanya diam lalu memutar tubuh dan menghampiri Liam membawa setelan jas baru untuk boss-nya.

“What’s wrong with her?”

“Di mencoba menyentuhku.”

Bola mata Walt tampak membesar lalu menggeleng pelan. “Liam, adikmu,” ucap Walt seraya menunjukkan ponselnya pada Liam, memperlihatkan gadis cantik sedang tertawa di layar tersebut. Keningnya berkerut saat melihat foto itu, tempat itu sangat tidak asing baginya. “Dimana adikku, Walt?” tanya Liam lagi seraya memakai kemejanya.

“Dia berada di yacht bersama teman-temannya.”

“Yachts?” Walt mengangguk. “Jazzlyne membohongi Kim dan pergi bersama teman-temannya saat aku menelpon ke Penthouse untuk membawakan jas-mu.”

Apa lagi ini? Apa yang dilakukan Jazzy kali ini? Liam menghela napas kemudian menyambar setelan jas dari tangan Walt lalu keluar dari ruangannya menuju lift. Ia terus menelpon Jazzy berkali-kali tetapi gadis itu tidak mengangkatnya dan bahkan menolak panggilan tersebut. Apa maksudnya ini? Sejak kapan Jazzy berani menolak panggilan darinya? Begitu lift terbuka, Liam keluar berjalan cepat seraya memakai jasnya menuju lobby mengabaikan semua sapaan dan panggilan dari bawahannya. Aston Martin miliknya sudah berada di depan perusahaan, ia segera masuk ke dalam dan menancap gas meninggalkan gedung tinggi dengan kecepatan penuh.

Disisi lain, terdengar suara gelak tawa seorang gadis belum genap berusia dua puluh tahun di sebuah yacht bersama teman-temannya. Jazzy sengaja mematikan ponsel karena sedari tadi kakaknya dan Walt tidak berhenti menelpon. Rencananya, malam ini ia dan teman-temannya ingin pergi ketempat yang tidak bisa dijangkau kakak sialannya itu, Maximiliam. Jazzy memilih malam ini karena Liam akan pergi ke Houston maka dari itu ia yakin jika Liam tidak kembali ke penthouse, karena biasanya seperti itu. Pria itu akan menginap di hotel dekat bandara agar lebih cepat sampai dan tak ingin membuang waktu, maka dari itu ia memilih malam ini.

Manik hazelnya menatap seorang pelayan berjalan menghampirinya, semakin dekat dan pelayan itu memberikan ponselnya pada Jazzy kemudian berkata. “Nona Jazzlyne, Mr. Addison menelpon.”

Jazzy membuka mulutnya terkejut, ia segera menarik pria itu menjauh. “Bagaimana kakakku bisa menelponmu?”

Pria itu hanya menggeleng sebagai jawaban. “Jangan, jangan diangkat...” Jazzy menoleh ke belakang seraya menunjuk teman temannya yang sedang tertawa. “Kau pernah muda bukan? Jadi biarkan aku bersenang-senang malam ini,” lanjutnya.

“T-tapi...”

Pria itu tidak bisa menolak permintaan Jazzy karena gadis itu adalah putri dari pemilik kapal pesiar ini dan putri seorang billionaire. Jazzy mengambil gelas berisi minuman lalu menghampiri teman-temannya. “Malam ini kita bersenang-senang!” sorak Jazzy seraya mengangkat gelasnya untuk bersulang bersama.

“Cheers!”

“Cheers!”

“Tunggu...” salah satu teman Jazzy menahan agar tidak melanjutkan minum. “Bagaimana jika kakakmu tahu? Dia akan marah padamu, Jazzy.”

Jazzy tertawa renyah. “Itu tidak akan terjadi, kakakku malam ini akan pergi ke Houston untuk perjalanan bisnis selama seminggu jadi tenang—”

“K-kau yakin?”

“Butuh bantuan, Nona Addison?”

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ow ow! kelar deh Jazz
goodnovel comment avatar
Indri yani
ru baca saya ..mkin penasaran
goodnovel comment avatar
Yayu Tinah
seru kayaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status