Share

Rumah Berdarah

“Hampir saja!” Jono mengintip ke belakang dari spion motornya, sepertinya mereka berhasil lolos. Ia harus segera masuk kembali ke gang dan terus berusaha sebisa mungkin mengambil jalan kecil sampai tujuan mereka.

“Iya Mas Bodoh, nyaris saja kita kena dor.” Sahut Renata.

“Kita coba masuk gang yang di sana itu. Mulai sekarang kita sebisa mungkin terus lewat jalan kecil atau gang yang gak muat mobil saja.” Jono menjelaskan.

Renata mengangguk “Iya Mas, bagaimana baiknya saja.”

Dengan lincah Jono kembali masuk ke dalam dan meliuk-liuk melewati setiap tikungan kecil dan juga kadang membingungkan karena kadang gang yang mereka lalui seperti halaman rumah orang.

“Permisi Bu Ibu!” ucap Jono ketika melewati sekelompok ibu-ibu berdaster yang sedang merumpi di depan rumah tersebut.

“Silakan!” ucap seorang ibu.

“Eh Kang Paket! Kenapa lu lewat dimari sih?!” kesal seorang ibu memarahi Jono.

“Udah-udah, biarin aja dia lewat kenapa sih. Jalan umum juga!” timpal ibu yang lain membela Jono.

“Terima kasih.” Ucap Jono sambi menekan tuas gasnya.

“Ini jalan yang benar bukan sih Mas Bodoh? Sepertinya sangat meragukan?” tanya Renata setelah cukup lama mereka melaju di gang yang semakin menyempit.

Jono tidak menyahut, dia juga ragu apakah mereka melaju di atas jalan yang benar atau tidak. Tapi aplikasi di hapenya bilang ini jalan yang tepat.

Benar saja dugaan Renata, kini mereka berdua malah berada di sebuah gang yang buntu.

“Kita tersesat! Bodoh! Seharusnya tadi kita ini belok kanan tadi di sana itu.” Jelas Renata.

“Maaf Mbak, habis ini navigasi yang diberikan oleh aplikasi si Mbah kan menyuruh kita lurus terus.” 

“Ya sudah, ayo putar balik!” Renata menyuruh.

“Boleh, Mbaknya turun dulu dong! Berat nih! Lupa diet pasti si Mbaknya.” Ucap Jono yang merasa lebih mudah memutarkan motornya kalau tidak ada penumpang di bangku belakangnya.

Renata turun meski agak sebal karena dibilang berat oleh Jono. Ia berjalan beberapa langkah dan menunggu agak jauh sedikit sampai Jono berhasi memutarkan motornya di ujung gang buntu ini. Jono lalu mengangguk dan Renata kembali ke boncengannya.

“Mas Bodoh, gimana kalau kita pakai jalan raya lagi aja? Sudah lebih dari dua jam loh kita berputar-putar di dalam gang sempit ini. Padahal kalau lewat jalan raya seharusnya kita bisa sampai di tujuan itu sekitar empat puluh menit atau paling lama satu jam saja.” Jelas Renata.

“Itu benar sih Mbak. Tapi bagaimana dengan ketiga pria berjas hitam yang sedang mengejar kita itu?” tanya Jono merasa sedikit cemas, nyawa mereka kan sedang terancam kalau bertemu lagi dengan para pria berjas hitam itu.

“Kita ambil resiko aja deh Mas Bodoh. Lagi pula sepertinya mereka sudah kehilangan jejak kita dan juga,” Renata menggantungkan ucapannya.

“Juga apa Mbak?” tanya Jono.

“Motor kamu mulai kehabisan bensin tuh!” Renata menunjuk ke jarum indikator yang ada di dashboard motor.

Jono melirik ke arah indikator bahan bakarnya, benar apa yang dikatakan oleh Renata. Kalau mereka terlambat mengisi bensin maka mereka pun juga terpaksa harus mendorong motor. Kasihan kalau gadis secantik Renata ikut bantuin dirinya dorong motor kan? Maka Jono mengangguk dan bersedia untuk kembali menuju ke jalan raya. Di ujung sana, menurut navigasinya ada jalan keluar dari gang dan langsung menuju ke jalan raya.

Beberapa meter sebelum keluar dari gang dan menuju ke jalan raya, Jono melambatkan laju motornya. Ia berhati-hati dan waspada, siapa tahu saja kan tiba-tiba tanpa diduga ketiga pria berjas hitam dengan mobilnya itu telah menunggu mereka dan tanpa basa-basi langsung menembakkan senjatanya, bisa meninggoy dia.

Tapi nasib baik masih menaungi Jono dan Renata, ketiga pria berjas hitam yang mengejar mereka itu tidak nampak di ujung jalan maupun setelahnya. Maka setelah Jono mengisi bensin di pom bensin dan juga sempat mereka berdua makan siang secukupnya, selain itu keduanya sudah bertukar nama masing-masing. Renata berjanji memanggil Jono dengan sebutan Mas atau Mas Jono saja tanpa embel-embel bodoh lagi. Keduanya lalu tanpa ada kendala berhasil menuju ke kediaman pamannya Renata di Perumahan Pantai Indah. Jono memarkirkan motornya di halaman.

“Ada yang aneh.” Ucap Renata.

“Apanya yang aneh Mbak Renata?” tanya Jono.

“Biasanya di sini selalu ada dua atau tiga orang yang berjaga. Kemana mereka?” Renata celingukan, tidak biasanya rumah pamannya kosong seperti ini tanpa penjagaan.

Jono celingukan dan mencoba mencari apa ada yang mencurigakan atau tidak. Sepertinya tidak ada apapun yang aneh di sini pikir Jono.

“Mungkin paman kamu sedang pergi keluar?” tanya Jono, sedikit ragu juga dengan pertanyaannya sendiri.

Renata tidak menjawab dan terus melangkah menuju ke arah pintu masuk, Jono mengikuti tepat dua langkah di belakangnya. Ia juga merasa perlu waspada, mengingat mereka sedang dikejar-kejar oleh tiga pria berjas hitam yang seenaknya saja melepaskan timah panas ke arah dirinya.

“Lihat itu!” Renata menunjuk ke lantai rumah pamannya.

Jono menatap ke arah yang ditunjukkan oleh Renata, ada bercak darah dan juga tampak seperti seseorang yang terluka parah dan diseret masuk dari teras menuju ke dalam rumah.

Renata hendak membuka pintu rumah sang paman, Jono mencekal tangan Renata.

Renata menatap ke arah Jono dan memicingkan mata seakan berkata “Apa?”

“Hati-hati dan perlahan, tetap waspada.” Bisik Jono.

Renata mengangguk, kemudian dengan sangat pelan ia memutar tuas gagang pintu, tidak dikunci. Ia membuka daun pintu perlahan.  Bau amis darah menyergap hidung Renata ketika daun pintu terbuka setengahnya. Ia masuk ke dalam diikuti oleh Jono. Mereka berdua ternganga, tak menduga bakalan disuguhi pemandangan yang sangat mengerikan di ruang tamu rumah pamannya Renata tersebut.

Renata menutupi mulut dan hidung dengan telapak tangannya, bau amis yang sangat pekat dan memualkan itu ternyata berasal dari dua orang penjaga kediaman pamannya. Pantas saja mereka tidak ada berjaga di halaman sebab mereka berdua telah mati dibunuh dengan cara yang sangat mengerikan. Dilihat dari banyaknya darah, sepertinya mereka dipancing masuk ke dalam ruang tamu dan kemudian ditebas menggunakan senjata tajam dari jarak dekat tanpa sanggup melawan.

“Astaga! Siapa yang tega berbuat keji seperti ini?!” ucap Jono yang seumur hidup ia tak pernah menyangka bakalan melihat orang mati dengan cara setragis ini.

“Pamanku! Dimana dia?!” Renata teringat dan jadi khawatir dengan keadaan sang paman. Ia hendak mencari keberadaan sang paman di dalam, entah di kamar atau dimana saja ruangan yang ada di rumah ini.

“Renata, tunggu! Bagaimana kalau kita lapor ke polisi saja? Ini sudah keterlaluan dan menyangkut pembunuhan. Polisi harus tahu agar bisa menangkap pelakunya kan?” Jono memberikan usul.

Renata menggeleng “Tidak bisa Mas Jono, seperti yang sudah aku katakan tadi. Mereka ini pasti dibunuh oleh para penjahat yang sama dengan yang mengejar kita. Kalau kita lapor ke polisi malah kita bisa berbalik disangka karena berada di dalam rumah ini. Sekalipun polisi percaya dengan cerita kita, para penjahat itu tidak akan bisa disentuh. Sebab mereka memiliki orang dalam dan bekingan yang kuat!” 

Jono menghela nafasnya dan manggut.

“Baiklah kalau begitu kita cari pamanmu lebih dulu!” ujar Jono.

Renata mengangguk dan meneruskan langkah menuju ke dalam rumah, Jono menguntit di belakangnya.

“Renata, sebentar!” Jono memanggil.

“Apa Mas Jono?” tanya Renata.

“Menurutmu pelaku pembunuhan itu masih berada di rumah ini?” tanya Jono.

Renata tertegun lalu menggeleng “Kalau mereka masih ada di sini, tentu mereka sudah menyergap kita.”

Jong mengangguk “Benar juga.”

Mereka berdua kemudian menuju ke kamar utama yang kata Renata merupakan kamar sang paman.

“Astaga Paman!” Renata setengah berlari menghampiri sang paman yang berlumuran darah dan setengah bersandar di ranjangnya.

Jono juga menghampiri seorang pria setengah baya yang wajahnya tampak keras tapi kini sedang terluka parah, dadanya berlubang kena tembus timah panas. 

“Apa dia sudah mati?” tanya Jono.

Pria setengah baya yang sedang berada di ujung hidupnya itu membuka mata dan menatap Renata, ia mengenali keponakannya tersebut.

“Re-nata, kamu datang.” Ucapnya.

“Paman jangan banyak bicara dulu. Saya akan membawa paman ke rumah sakit, bertahanlah paman!” Ujar Renata sambil mencoba mengangkat tubuh sang paman.

“Uhuk! Tidak usah, paman merasa akan percuma, tapi ada hal yang harus kamu lakukan sekarang ini.”

Renata menatap mata sang paman dan kemudian mengangguk, ia akan mendengar dan mematuhi apapun yang dikatakan oleh sang paman.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status