Share

Tuan Presdir, Jangan Kejar Aku!
Tuan Presdir, Jangan Kejar Aku!
Author: Dewi

Bab 1. Skandal Malam Panas

"Ahh, kenapa badanku terasa begitu panas?" Vania bertanya-tanya sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.

Rasa panas kian menjalari seluruh tubuhnya, membuatnya gelisah tidak karuan. Ia lantas meraih minuman yang ada di depannya dan meneguknya sekaligus. 

Namun, bukannya merasa lega, Vania semakin merasa gerah. Kepalanya berdenyut-denyut, membuat ia mengernyitkan kening saat pandangannya mulai mengabur.

Gadis itu mengangkat gelas yang berada di depannya dan menatapnya lekat. Ada sisa butiran bubuk di dasar gelas yang seketika membuatnya membelalak. 

"Minuman ini pasti sudah dimasukkan sesuatu!” desis Vania panik. 

Pandangannya langsung tertuju pada laki-laki yang berada di depannya. Pria itu menatap dirinya dengan sebuah senyum congkak tercetak di wajahnya yang keriput karena usia. 

“Apa yang kau masukkan ke dalam minumanku?!” geram Vania dengan mata memerah. 

Pria itu malah tertawa kencang. Ia memajukan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari Vania. “Aku tidak memasukkan apapun ke dalam minumanmu, Cantik,” katanya masih dengan senyuman mesum. 

Vania langsung menarik diri dan berusaha berdiri dari kursinya. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Instingnya mengatakan ia harus pergi dari sana sekarang juga. 

“Hey, mau ke mana?” Pria paruh baya itu berusaha meraih tangan Vania, tapi gadis itu lekas menepisnya dan berjalan sempoyongan keluar dari restoran dengan cahaya remang-remang itu. 

"Ah, sial!” gerutunya saat menabrak dinding lorong yang gelap. Gadis itu mempercepat langkah saat mendengar suara pria asing yang tadi bersamanya di dalam ruangan privat restoran.  

"Mau ke mana kau?!" 

Vania terperanjat saat suara itu semakin dekat.

“Hey, jalang! Aku sudah membayarmu mahal!” Pria itu memaki kesal sambil tergopoh-gopoh mengejar Vania. Tetapi karena kesadarannya sudah menurun jauh akibat alkohol, ia kalah cepat dari gadis itu. 

"Berhenti! Jika tidak berhenti, aku akan menghabisimu!" ancam laki-laki paruh baya itu. Tapi Vania tidak peduli. Ia terus berlari tergesa menghindari bahaya. 

Dalam hati ia menangis kesal karena ibunya telah tega menjualnya pada lelaki hidung belang. 

“Pasti Ibu yang memasukkan obat sialan itu ke dalam minumanku!” gerutunya dengan napas terengah. Ia menoleh ke belakang dan mendapati pria itu ternyata masih berusaha mengejarnya.  

Vania akhirnya melepas sepatu hak tingginya agar bisa berlari lebih cepat. Nafasnya sudah tak beraturan, bibirnya terus saja mendesis, namun dia harus tetap bisa menghilangkan jejak dari tua bangka itu.

"Aku sudah tidak kuat lagi..." lirihnya sambil berlari tak tentu arah, tak tahu harus pergi ke mana. Rasanya semua lorong yang ia lewati tidak menemukan jalan keluar.

Saat itu lah pandangannya tertuju pada pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong. Vania segera membawa langkahnya ke sana. 

Gadis itu langsung mendorong pintu lebih lebar dan masuk ke dalam. “Maaf!” serunya sambil menutup pintu dengan cepat. 

Nafasnya tersengal. Sekujur tubuhnya terasa panas dan lengket karena keringat. Sesuatu dalam dirinya seolah baru saja meledak, membuat Vania kehilangan akal.  

"Siapa kamu?” tanya sebuah suara bariton yang langsung membuat Vania menoleh. “Kenapa masuk kamarku?" tanyanya lagi, tampak terkejut melihat wanita asing yang masuk sembarangan ke ranah pribadinya.

Pria itu, Hans, adalah tamu yang sedang menginap di kamar hotel bernomor 1433 itu.

“Ma-maaf…” lirih Vania dengan suara bergetar, nyaris kehilangan fokus. Tatapan mata tampak sayu seolah tak memiliki kekuatan.

Bibirnya tak henti-hentinya mendesah tanpa bisa dikontrol. Ia menatap Hans sayu. “Maafkan saya Tuan… bolehkah saya bersembunyi di sini se-sebentar?” tanyanya terbata-bata, tampak berusaha mengumpulkan fokusnya yang telah buyar. Akan tetapi, kesadarannya sudah di ambang batas. Kepalanya terasa begitu berat, dan pada detik berikutnya, Vania terjatuh ke lantai.

Hans memaksa dirinya untuk tetap sadar meskipun kadar alkohol dalam darahnya tak bisa berbohong. Kepalanya berdenyut dengan pandangan yang mengabur. 

Namun, pemandangan di hadapannya tak dapat terelakkan. Posisi Vania yang ambigu membuat Hans dapat melihat pahanya putih mulusnya terekspos, belum lagi gaun mininya itu membuat belahan dadanya terlihat jelas. 

Hans menelan ludah. 

“Tu-Tuan tolong … panas ….” lirih Vania yang masih tergeletak di lantai. “Saya sudah tidak tahan lagi ….”  

Hans lantas menggendong Vania dan meletakkannya di atas kasur dengan susah payah karena ia sendiri mulai kehilangan kontrol. 

Tanpa diduga, Vania tiba-tiba melepas tali gaun yang menempel di bahunya begitu saja, memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang terbalut bra putih. "Ahh, panas!" 

Hans memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia melihat AC yang terpasang di kamar yang menunjukkan suhu 16 derajat.

"Yang benar saja?” tanya Hans bingung.  

Tidak berhenti sampai di sana, Vania tampak berusaha melepaskan gaun yang membalut tubuhnya. 

Pria itu seketika panik dan berusaha menahan tangan Vania agar tidak berbuat nekat. Namun, Vania langsung berontak dan berusaha mendorong Hans dengan tenaga seadanya. 

“Lepas!” lirihnya di sela desahan tak menentu. 

Melihat Vania yang menggeliat-geliut di atas kasur membuat jiwa kelelakian Hans bangkit. Tapi ia berusaha keras mengabaikan gadis asing di hadapannya. 

Kesadaran Vania sudah di ambang batas. Saat Hans hendak beranjak dari kasur, Vania segera menarik tangannya, membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Vania. 

Dengan jarak yang begitu dekat, keduanya dapat merasakan hangat napas menerpa wajah satu sama lain. Entah siapa yang memulai duluan, tapi bibir keduanya akhirnya bertemu dan saling berpagut mesra. 

Lumatan demi lumatan mengikiskan akal sehat masing-masing. Keduanya bergerak liar, melucuti pakaian satu sama lain seiring dengan memanasnya suasana di kamar hotel tersebut. 

Vania lepas kendali. Ia tidak dapat menahan hasrat yang bergelora, apalagi Hans dengan lihai menyentuh titik-titik sensitifnya, memanjakannya dengan begitu banyak kenikmatan yang membuat ia melayang. 

“Ah…” 

Desahan demi desahan memenuhi kamar itu. Mereka tanpa sadar menikmati setiap momen panas yang tercipta dari penyatuan mereka. 

Sampai akhirnya, sepasang insan yang tidak saling mengenal itu tertidur dalam satu selimut dan satu bantal yang sama menikmati malam yang panjang.

Menjelang pagi, Vania terbangun dari tidurnya. 

Ia tampak linglung menatap seluruh isi ruangan yang asing, lalu mengalihkan pandangannya kepada seorang laki-laki yang berada di sampingnya.

Laki-laki berumur matang berwajah tampan, dengan alis yang tebal serta hidung mancung itu membuat Vania terbelalak. 

Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Astaga! Apa yang telah kulakukan?!” Vania mendesis panik, mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. 

Takut, ia melihat ke bawah selimut dan membelalak ngeri. Mereka berdua tidak mengenakan sehelai benang pun! 

Sambil berusaha menenangkan diri, Vania akhirnya memutuskan untuk beranjak. Ia menatap laki-laki yang masih terlelap itu, mencatat raut wajah tampannya ke dalam memori, sebelum turun dari kasur dan memungut pakaian yang berceceran di lantai. 

Ia segera mengenakan pakaiannya dengan cepat. Sebelum membuka pintu, ia menatap ke arah kasur sekal lagi. 

"Terima kasih telah menolongku,” gumam Vania lirih. Matanya tampak berair. “Tapi kamu juga telah merenggut kehormatanku…” 

Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup pintu. 

Vania keluar dari hotel dengan langkah yang gontai. Air matanya tiada henti mengalir ke kedua pipinya. 

Hampir dijual kepada pria hidung belang, lalu tidur bersama pria asing … benar-benar malam yang panjang dan tidak terduga. 

Vania tidak tahu harus marah ke siapa. Kepada ibu tirinya, kepada semesta, atau kepada diri sendiri? 

 "Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya lirih.

Ia terus berjalan, menuntunkan langkah kakinya yang mau tak mau harus pulang ke rumah ibu tirinya beberapa tahun terakhir. Meskipun sangat ingin pergi jauh, tapi Vania tidak punya tempat tujuan lain.

Baru saja membuka pintu, sebuah suara yang melengking langsung menghadang langkah Vania. 

“Anak sialan! Dari mana saja kamu!?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status