Share

Bab 8

Surya mengerutkan keningnya. "Jangan menganggap semua orang punya niat jahat."

"Kamu orang jahatnya, aku bisa melihat niatmu yang sebenarnya." Gadis itu marah dan menuduh Surya.

Surya menghela napas. Tepat pada saat itu, Hendra berkata, "Kamu, pergilah."

Gadis itu tampak kecewa, tetapi akhirnya dia pun pergi dengan air mata mengalir di wajahnya.

Hendra menatap Surya dan berkata, "Dia adalah cucu perempuanku, Indah Wijaya. Dia masih kecil, jadi dia belum mengerti. Tolong jangan pedulikan dia."

"Nggak apa-apa. Tetapi kenapa kamu begitu memercayaiku, Pak Hendra?" tanya Surya.

Hendra tersenyum dan menjawab, "Tahun ini aku sudah berumur 70-an. Aku sudah mengalami begitu banyak hal. Dunia ini penuh dengan keajaiban dan hal-hal yang nggak diketahui. Aku akui aku memang tua, tetapi aku percaya bahwa masih ada hal-hal di dunia ini yang belum aku lihat. Lalu yang terpenting, ketika seseorang akan mati, mereka akan terus mencoba untuk hidup. Aku pun seperti itu."

"Pak Hendra, kamu sangat jujur. Kalau begitu ayo kita mulai," ucap Surya sambil tersenyum.

Hendra tersenyum dan membuka bajunya, menampilkan bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya.

Orang tua ini memiliki belasan bekas luka pisau, juga lima atau enam bekas luka tembak. Hampir tidak ada area pada tubuhnya yang tidak terluka, membuatnya tampak amat mengerikan.

Surya menghela napasnya. "Kamu sudah bekerja keras."

"Ini bukan apa-apa. Waktu itu, aku nggak punya apa pun untuk dimakan. Aku nggak punya pilihan lain. Apa yang kulakukan nggak semulia yang dikatakan cucuku," ucap Hendra.

Surya tersenyum, lalu dia meletakkan telapak tangannya di punggung Hendra. Aliran energi spiritual perlahan memasuki tubuh Hendra.

Dengan hati-hati, Surya menuntun energi spiritual di dalam tubuh Hendra. "Ingat-ingat jalur sirkulasi energi ini. Di masa depan, lakukanlah seperti ini."

Hendra mengangguk dan Surya pun melanjutkan.

Setelah energi spiritual tersebut memutari tubuh Hendra sebanyak 36 kali, Surya perlahan menarik tangannya kembali.

Saat ini, Hendra mengembuskan sebuah napas kotor. Wajahnya terlihat takjub.

Dia merasa napasnya tidak lagi sesak dan terasa lancar. Dia bahkan merasa tubuhnya sekarang lebih ringan, seolah-olah semua sel di dalam tubuhnya telah kembali memancarkan kehidupan.

Dia perlahan berdiri, lalu membungkuk pada Surya. "Nak, kamu benar-benar seorang dewa."

"Aku nggak berani dipanggil seperti itu." Surya buru-buru membantu Hendra berdiri kembali.

Hendra duduk dan mengembuskan napas, "Seorang dewa sungguh ada di dunia ini. Aku akhirnya melihatnya."

"Pak Hendra, tolong minta seseorang untuk mengambilkan pena dan kertas. Aku akan menuliskan teknik kultivasi untukmu."

Hendra melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawakan pena dan kertas.

Setelah berpikir sejenak, Surya mulai menulis dan menggambar.

Tak lama kemudian, dia berkata, "Ini adalah versi pemula yang sudah disederhanakan dari Teknik Naga Sejati yang aku kultivasikan. Selama kamu mengikuti teknik kultivasi ini, kamu akan kebal terhadap penyakit dan berumur panjang."

"Terima kasih, Anak Muda." Hendra memegang kertas tersebut seolah-olah kertas itu adalah harta karun. Dia terus membaca instruksinya kembali.

Surya saat ini berdiri dan berkata, "Kalau begitu, aku akan pergi."

Hendra buru-buru berdiri dan memakai bajunya, Dia mengantar Surya hingga keluar pintu. Hendra juga meminta informasi kontak Surya, setelah itu barulah dia mengucapkan selamat tinggal dengan enggan.

Setelah melihat Surya pergi, Hendra kembali ke dalam rumah dan merasa amat terharu.

Tepat pada saat itu, Indah turun dari lantai atas. Menatap kakeknya dengan mata merah akibat menangis.

Hendra sama sekali tidak memedulikannya dan hanya berkata, "Ambilkan teh, anggur merah dan rokok terbaik milikku. Antarkan ke rumah nomor 18 dan berikan pada Paman Surya. Jangan lupa untuk berterima kasih padanya."

"Kakek, kamu masih percaya pada penipu itu?" Indah tidak bisa menahan dirinya dan berseru.

Hendra pun berkata dengan marah, "Aku nggak tahu apakah dia penipu atau bukan, tetapi kalau aku menyuruhmu untuk pergi maka pergilah. Kalau nggak mau, kembalilah ke sekolah kedokteranmu itu. Jangan ganggu aku."

Indah merasa sangat tidak adil dan hampir menangis. Namun, melihat kakeknya yang marah, dia pun tidak berani mengatakan apa pun. Dia hanya bisa diam dan mengemasi barang-barang yang diminta kakeknya dan memindahkannya ke mobil.

Barang-barang ini adalah hadiah dari orang tuanya dan beberapa mantan bawahan kakeknya. Kebanyakan barang ini tidak bisa ditemukan di luar dan setidaknya bernilai ratusan juta. Indah marah ketika mengingat bahwa barang-barang ini akan diberikan pada penipu itu.

Akan tetapi, dia masih pergi ke rumah nomor 18. Setibanya di sana, dia tidak turun dari mobil dan menelepon seseorang.

Tak lama kemudian teleponnya pun terhubung. Indah berkata, "Ayah, cepatlah pulang dan urusi Kakek. Sepertinya Kakek sudah pikun."

"Ada apa?" Terdengar sebuah suara berat dari telepon.

Indah berkata, "Ayah telah ditipu oleh seorang pemuda yang mengaku bisa menyembuhkannya. Sekarang Kakek benar-benar memercayai orang itu, dia bahkan menyuruhku untuk memberi orang itu hadiah."

Ayahnya terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Sekarang ikuti dulu permintaan kakekmu. Aku akan kembali dan tangani masalah ini secepatnya."

"Baik, Ayah. Cepatlah sedikit." Indah menutup teleponnya, wajahnya tampak galak. Dia lalu turun dari mobil dan membunyikan bel pintu.

Surya membuka pintu. Ketika melihat Indah, dia pun bertanya, "Ada apa?"

Indah tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menurunkan barang-barang dari mobil dan menaruhnya di depan Surya. Setelah itu barulah dia berkata, "Jangan kira aku nggak tahu niatmu. Berhati-hatilah, akan ada orang yang datang untuk menanganimu."

Surya sempat tercengang, lalu dia tersenyum dan berkata, "Aku akan menyambut mereka kapan saja."

"Huh." Indah tidak mau lagi membuang waktunya dengan orang ini dan berbalik pergi. Dia menaiki mobilnya dan mengemudi pulang.

Di dalam mobil, Indah merasa sangat sedih.

Dia sadar bahwa kakeknya telah menjadi seperti orang-orang tua yang bersedia memercayai apa pun demi bertahan hidup. Apa bedanya ini dengan orang-orang tua yang ditipu untuk membeli obat-obatan palsu?

Keluarganya memiliki dokter pribadi, di Kota Senara juga ada sebuah tim medis yang khusus dikerahkan untuk merawat para pejabat tinggi. Bagaimana bisa dia memercayai orang itu? Apakah kakeknya benar-benar menjadi pikun?

Indah akhirnya sampai di rumah. Sebelum dia dapat turun dari mobil, sebuah mobil lain berhenti di depannya.

Seorang wanita paruh baya turun dari mobil tersebut. Ketika melihatnya, Indah buru-buru turun dari mobil dan menghampirinya.

"Dokter Yanti, kenapa kamu datang kemari?" Indah menyambutnya dengan hangat.

Dokter Yanti melihat Indah dan tersenyum. "Indah, kebetulan sekali."

Dia memberikan sekotak obat pada Indah. "Ini adalah biofarmasi yang baru dikembangkan oleh tim medis di Kota Senara. Obat ini dapat memperlambat penuaan dan menguatkan imun. Hasilnya sangat bagus. Obat ini baru diantarkan ke institusi penelitian kami. Cepat, mintalah Pak Hendra untuk meminumnya."

"Benarkah?" Indah menerimanya dengan senang hati.

Dokter Yanti tersenyum dan berkata, "Tentu saja. Kalau begitu aku nggak akan menganggu Pak Hendra, sampai jumpa."

"Sampai jumpa." Indah mengantarkan Dokter Yanti pergi. Kemudian, dia dengan senang masuk ke kamar kakeknya.

"Kakek, ini obat terbaru yang dikembangkan di Kota Senara. Cepat minum satu. Dokter Yanti membawakannya khusus untukmu."

Hendra melihatnya dan berkata, "Letakkan saja di sana."

"Nggak, aku harus melihatmu meminumnya," ucap Indah.

Hendra kehabisan kesabarannya. "Aku bisa meminumnya sendiri. Pergilah."

Indah mengerucutkan bibirnya, tetapi dia masih menuruti kakeknya dan pergi.

Hendra mengambil obat tersebut untuk melihatnya, lalu dia langsung melemparkannya ke rak sepatu. Dia menggelengkan kepalanya. "Seharian hanya minum obat, aku hampir mati memakannya."

Hendra pun mulai bermeditasi dan berfokus pada pernapasannya.

Sementara itu, di sisi lain.

Surya dengan senang membawa hadiah-hadiah tersebut ke dalam rumah dan mulai memeriksanya.

Semuanya adalah barang berkualitas tinggi, barang-barang yang tidak bisa dibeli hanya dengan uang.

Surya tersenyum. "Pak Hendra, kalau begitu aku nggak akan menahan diri."

Setelah menaruh barang-barang tersebut, Surya mulai bermeditasi. Saat sore telah tiba, Surya kembali membuka matanya ketika ponselnya berbunyi.

Surya melihat ponselnya dan terkejut. Dia pun segera menjawab telepon tersebut. "Maya, ada perlu apa?"

Suara Maya terdengar begitu gembira di telepon, dia berkata,"Surya, aku ada berita baik untukmu. Kamu jangan terlalu bersemangat."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status