Share

Bab 12

Surya berkata, "Waktunya untuk memberikan hadiah mereka. Lakukanlah apa yang perlu dilakukan."

"Baik, Bos. Mereka pasti akan mendapat balasannya," ucap Linda.

Surya tersenyum sambil berkata, "Tidurlah lebih awal. Besok kamu nggak perlu memedulikanku, aku akan pergi sendiri."

"Baik, Bos."

Surya pun berdiri dan kembali ke kamarnya.

Linda memandang sosok Surya yang menjauh dan menghela napasnya.

Jika dirinya diperlakukan tidak adil seperti itu dan dipermalukan, dia pasti akan membalaskan dendamnya berkali-kali lipat. Bosnya masih terlalu baik. Akan tetapi, Linda bukanlah orang baik. Ketika menghadapi musuh, dia tidak pernah menunjukkan belas kasih.

...

Keesokan harinya.

Sekitar pukul 10 pagi, Surya membuka matanya dan pergi meninggalkan rumah. Dia naik ke mobilnya dan mengemudi menuju Pulau Wisata Nagi.

Hari ini dia akan mengakhiri segalanya.

Sementara itu di saat yang sama, sebuah mobil militer berhenti di depan rumah nomor 1.

Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi keluar dari pintu belakang.

Meskipun dia berpakaian kasual, sikapnya yang seperti tentara menunjukkan latar belakang militernya.

Pria paruh baya itu berjalan ke pintu dan membunyikan bel. Indah membuka pintu dan berseru, "Ayah, kamu akhirnya pulang!"

"Ya, di mana kakekmu?" tanya pria itu.

Indah mengerutkan keningnya. "Sepanjang hari dia mengunci dirinya di kamar dan merahasiakan sesuatu. Sepertinya Kakek benar-benar sudah dipengaruhi penipu itu."

"Bagaimana kesehatan Kakek?" tanya pria itu lagi.

Indah segera berkata, "Kakek sedang meminum obat yang dikirim dari Kota Senara. Sekarang kesehatannya sudah membaik. Kemarin institusi penelitian kami melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, semua indikator kesehatannya meningkat secara signifikan."

"Baguslah. Aku akan pergi memberi penipu itu pelajaran. Reputasi Keluarga Wijaya nggak bisa digunakan oleh sembarang orang," ucap pria itu dengan dingin.

Indah mengangguk dan berkata, "Benar, kita harus menghukum penipu itu dengan berat. Kalau nggak, akan ada orang lain yang menargetkan Kakek."

Pria itu berbalik dan berkata pada supirnya, "Hubungi penipu itu. Katakan kalau aku ingin bertemu dengannya."

"Baik." Sang supir pun segera menelepon Surya. Tak lama kemudian, supir itu dengan hati-hati melaporkan, "Dia bilang, sekarang dia sedang berada di Pulau Wisata Nagi untuk menghadiri sebuah penikahan. Kalau ingin menemuinya, silakan pergi temukan dia."

"Pemuda kurang ajar." Raut wajah pria itu seketika menjadi dingin. "Di hadapanku, Dalin Wijaya, dia mencoba untuk bermain dengan misterius. Dia telah melakukan kesalahan. Ayo pergi ke Pulau Wisata Nagi."

Dalin menaiki mobil dan supirnya pun segera mengemudi menuju tujuan mereka.

Indah mengembuskan napas panjang dan berkata, "Penipu sialan. Kamu akan mendapat balasannya, tunggu saja."

Setelah itu, dia kembali ke dalam rumah dan berdiri di depan pintu kamar kakeknya. "Kakek, sekarang waktunya untuk berolahraga. Hari ini kamu belum keluar kamar."

Tidak ada jawaban dari dalam kamar, Indah hanya bisa memanggil kakeknya berulang kali.

Walaupun kesehatan kakeknya sudah membaik, olahraga rutin masih dibutuhkan.

Akhirnya setelah setengah jam, Hendra membuka pintu kamarnya. Dia menatap cucunya dengan tidak sabar dan berkata, "Menggangguku seharian, apakah aku masih punya kebebasan?"

"Kakek, ini semua demi kesehatanmu. Jangan keras kepala," ucap Indah.

Hendra mendengus dan berkata, "Aku tahu kondisi kesehatanku, kamu nggak perlu mengomel. Kalau kamu seperti ini terus, kamu hanya ingin membuatku geram."

"Kenapa Kakek berbicara seperti itu." Indah merasa tidak adil dan berkata, "Kalau bukan karena pengobatan dari Kota Senara dan perhatian kami, bisakah kesehatanmu membaik?"

Hendra berkata dengan dingin, "Kamu benar-benar mengira ini berkat kalian? Lancang sekali."

"Memangnya bukan?" Indah pun mulai marah. "Kakek harusnya tahu kalau tubuh Kakek sudah mencapai batasnya dan sepenuhnya bergantung pada pengobatan. Kalau bukan karena obat biologis yang dikirim dari Kota Senara itu, Kakek mungkin nggak punya beberapa hari lagi untuk hidup. Kakek nggak akan bertahan selama ini. Aku berhenti sekolah demi merawatmu, apakah usahaku sia-sia?"

Saat berbicara, Indah tidak dapat menahan air matanya.

Dia merasa kakeknya sekarang benar-benar menjadi pikun. Semua kasih sayang dan kekhawatiran yang telah dia curahkan tampaknya tidak berarti apa-apa. Hanya dengan beberapa kata, penipu itu berhasil menipu kakeknya. Sepanjang hari kakeknya tinggal di dalam kamar dan mempraktikkan teknik aneh itu. Makin lama dia makin khawatir. Akhirnya dia pun tidak bisa menahannya lagi dan menangis.

Melihat cucunya seperti ini, Hendra menghela napas dan masuk ke kamarnya. Dia mengambil obat biologis itu dari rak sepatu dan membawanya ke depan Indah.

Hendra melempar obat itu ke kaki cucunya dan berkata, "Lihatlah, itu obat biologis yang tadi kamu katakan."

Dengan wajah penuh air mata, Indah mengelap matanya dan menatap kakeknya dengan bingung.

Hendra tidak berbicara dan hanya berdiri di sana. Indah lalu mengambil kotak obat itu dan membukanya.

Botol-botol kecil di dalamnya masih tersusun dengan rapi dan tidak ada yang terpakai.

"Kakek, apa maksudnya ini?" Indah bertanya dengan tidak percaya.

Hendra menghela napas dan berkata, "Aku sudah lama lelah dengan pengobatan yang tiada hentinya. Obat ini, aku tidak pernah meminumnya."

"Lalu?" Indah terkejut. "Lalu kesehatanmu?"

Hendra melirik cucunya dan mengerutkan kening. "Bukankah sudah jelas? Apa yang dikatakan laporan kesehatanku?"

Indah tergagap, "Mereka bilang semua indikator kesehatanmu meningkat, bahkan fibrosis di paru-parumu juga membaik."

"Apakah kamu masih berpikir kalau ini berkat obat biologis?" tanya Hendra.

Prang!

Botol-botol obat di tangan Indah seketika terjatuh. Mulut gadis itu ternganga tak percaya.

Hendra menggelengkan kepalanya. "Kalian ini anak-anak muda, sangat angkuh dan mengira diri kalian tahu segalanya. Sayangnya, dunia ini luas dan penuh dengan keajaiban. Negara kita sendiri memiliki cukup banyak orang yang luar biasa. Kapan kamu akan memperluas pengetahuanmu dan berhenti menilai orang sembarangan?"

Indah tercengang. Setelah lama terdiam, dia akhirnya bertanya, "Kakek, apakah teknik yang diajarkan orang itu benar-benar meningkatkan kesehatanmu?"

"Bagaimana menurutmu?" tanya Hendra.

Indah kehabisan kata-kata. Dia sungguh tidak bisa memercayainya.

Namun, kakeknya sama sekali tidak meminum obatnya dan kesehatannya membaik. Fakta ini memaksanya untuk percaya

Saat ini, konflik batinnya pun memuncak.

Setelah terdiam cukup lama, Indah mendongak dan berkata dengan lemah, "Kakek, barusan ayahku kembali."

"Dia nggak bisa menjaga posnya dengan benar. Untuk apa dia kembali?" tanya Hendra dengan tidak senang.

Indah sempat merasa ragu, tetapi dia tidak berani menyembunyikannya dari Kakek. Dia berkata dengan suara kecil, "Dia pergi mencari Surya untuk memberinya pelajaran."

"Apa?" Hendra seketika marah besar. "Siapa yang menyuruh kalian melakukan ini?"

Indah buru-buru berkata, "Kakek, tolong dengarkan aku dulu. Aku kira Surya adalah penipu yang ingin menggunakan reputasi Keluarga Wijaya untuk tujuan jahatnya. Karena itulah aku meminta Ayah untuk kembali."

"Dasar anak bodoh." Hendra mengomelinya, "Cepat kejar ayahmu! Kalian berdua harus meminta maaf pada Surya secara langsung. Kalau dia nggak memaafkan kalian, maka kalian harus pergi dari Keluarga Wijaya. Aku nggak punya keturunan seperti kalian."

Ketika berbicara, Hendra terbatuk-batuk saking marahnya.

Indah kaget dan cepat-cepat membantu kakeknya. "Aku akan segera pergi. Kakek, tolong jangan marah."

"Cepat pergi!" teriak Hendra dengan marah.

Indah tidak berani melawannya dan cepat-cepat memanggil pelayan untuk membantu kakeknya. Dia lalu mengemudikan mobilnya menuju Pulau Wisata Nagi.

Di mobil, dia segera menelepon ayahnya. Namun telepon ayahnya selalu sibuk dan tidak bisa dihubungi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status