Share

The Stalker
The Stalker
Author: Olivia Yoyet

Hantu Periang

The Stalker Part 1

Sebuah motor matik berhenti di tempat parkir rumah sakit besar di Bandung Timur. Pengendaranya melepaskan helm dan mengaitkannya secara sembarangan di spion. 

Braakk! 

Helm motif sailormoon itu terjatuh dan sukses beradu dengan aspal. Diiringi bunyi dengkusan dari si pemilik motor, helm itu kembali diambil dan dikaitkan di gantungan kecil di bagian bawah jok. 

"Diam di sini, jangan jatuh-jatuh lagi, oke?" Pemilik helm itu bermonolog dengan sailormoon yang menatapnya dengan mata membulat sempurna. Tentu saja tidak ada balasan dari benda bulat biru yang sudah tergores di beberapa bagian itu. 

Sang pemilik helm kemudian membalikkan tubuh dan jalan. Di langkah keempat dia berhenti dan kembali ke motor. Mencabut kunci dan memasukkannya ke tas selempang sambil menggerutu. 

Angin pagi berembus lembut menyentuh rambut panjang terurai sang gadis. Dia berjalan dengan langkah ringan dan membalas sapaan dua petugas keamanan yang membukakan pintu untuknya. 

"Selamat pagi, Neng Verda," ujar kedua petugas keamanan nyaris bersamaan. 

"Selamat pagi, Pak Sanip dan Pak Ochad," balas Verda seraya mengulaskan senyuman manis. 

Verda meneruskan langkah menyusuri lorong rumah sakit yang masih lengang. Tampak beberapa petugas kebersihan tengah mengerjakan tugas mereka. Verda membalas sapaan mereka dengan lambaian tangan. 

Setibanya di lorong yang menuju ruangan kerjanya, gadis berusia dua puluh tiga tahun tersebut berhenti dan mengatur napas. Hal yang selalu dilakukan bila hendak melewati persimpangan jalan yang menuju kamar mayat. 

Bukan tanpa alasan Verda melakukan hal itu, dia hanya mencoba untuk membentengi diri dari gangguan makhluk halus yang gentayangan di tempat tersebut. 

Berbeda dengan sudut ruangan lain di rumah sakit ini, persimpangan jalan tersebut merupakan titik berkumpulnya para makhluk astral. Tanpa malu-malu mereka akan memperlihatkan sosok asli di hadapan manusia yang lewat. 

Beruntung bagi yang tidak bisa melihat makhluk-makhluk tersebut. Namun, berbeda dengan Verda. Gadis bermata sipit beriris cokelat muda yang memiliki indra keenam tajam. Dia selalu diganggu para makhluk itu. 

Seperti halnya hari-hari sebelumnya, kali ini sudah ada empat makhluk astral yang berdiri di sudut kanan dan kiri. Mereka menatap Verda dengan mata berkilat. Menyeringai lebar saat gadis itu melangkah maju dengan tegak. 

"Neng geulis, godain kita dong," ujar makhluk berbentuk pocong yang tiba-tiba sudah berdiri di tengah jalan. (geulis = cantik)

Verda jalan terus dan tanpa ragu menerobos makhluk tersebut. Tak peduli sang pocong menjerit karena tali di atas kepalanya ikut ditarik Verda hingga terlepas. 

Gadis berhidung kecil tersebut tertawa kecil saat mendengar suara jeritan pocong yang memprotes tingkahnya. Verda meneruskan langkah dan memasuki sebuah ruangan yang sangat dingin.

Tampak ketiga rekannya tengah mengobrol di meja panjang di bagian depan kantor. Verda menepuk pundak perempuan terdekat yang langsung menjerit kaget. 

"Verda! Kebiasaan kamu teh!" omel Riris, perempuan berjilbab hitam yang merupakan pegawai paling senior di tempat tersebut. 

"Biasa aja atuh, Teh Riris. Jangan sambil teriak-teriak," balas Verda sembari mencomot kue bolu dari tempat plastik yang diletakkan di atas meja. 

"Sumpah da, urang hayang nakol iyeuh budak!" Riris masih menggerutu, padahal Verda sudah jalan menjauh. (Sumpah deh, aku pengen jitak anak ini!) 

Verda menanggapi omelan seniornya itu dengan menebarkan senyuman manis yang makin membuat Riris kesal dan bersungut-sungut selama beberapa menit selanjutnya. 

Tanpa terasa jam makan siang pun tiba. Verda berdiri dan jalan ke luar ruangan, menyusul langkah rekan-rekannya yang telah lebih dulu keluar dari ruangan.

Langkah Verda terhenti saat melihat sesosok makhluk yang tengah berdiri membelakangi dirinya. Sosok yang bisa dipastikan bukan manusia itu tampak kebingungan. Dia menoleh ke sana sini, seakan-akan mencari seseorang atau sesuatu. 

Verda meneruskan langkah dan melewati makhluk itu dari bagian samping kanan. Tanpa sengaja bibirnya menggumamkan kata, "punten," yang membuat makhluk itu menoleh. 

"Tunggu, Neng. Tunggu!" serunya sambil memegang pundak Verda. Tatapannya mencelos saat melihat tangannya terus melewati tubuh gadis itu. 

Verda bergegas jalan sambil menunduk. Dalam hati mengumpat saat masih merasakan dinginnya sentuhan tangan makhluk tersebut di pundaknya. 

"Neng," panggil makhluk itu yang ternyata melayang mengikutinya. "Neng bisa liat akang?" tanyanya lagi dengan suara berdengung. 

Verda berusaha untuk mengabaikan panggilan tersebut, tetapi akhirnya langkahnya terhenti saat sosok itu tiba-tiba menghadang tepat di depannya. "Apaan sih!" sungutnya. 

"Aih, beneran Neng bisa liat akang?" Makhluk itu kembali mengulang pertanyaan yang mau tak mau dijawab Verda dengan anggukan. 

"Aduh, senangnya. Akhirnya ada yang bisa liat." Makhluk itu bertepuk tangan dan membuat Verda melongo. 

"Ehh, iya, kenalin. Nama akang Kris Bianglala ehh Bagaskara. Tapi fans akang mah kenalnya nama akang teh Ardan Azmoun," ucap makhluk tersebut yang mengenakan setelan piama khas rumah sakit tersebut. 

"Fans?" tanya Verda dengan bingung. 

"Iya, akang kan penyiar radio." 

Verda manggut-manggut, paham kenapa makhluk astral itu tampak sangat periang. 

"Kalau Neng namanya siapa?" tanya Kris. 

"Verda." 

"Lengkapnya?" 

"Ngapain kudu nyebutin nama lengkap?" 

"Biar kesannya lebih dekat gitu." Kris mengedip-ngedipkan matanya menggoda Verda. 

"Verda Salaga." 

"Naon? Jelaga?" (apa?)

"Salaga!" 

"Sagala?" (semua)

Verda memelototi makhluk yang tengah menyeringai di hadapan. 

"Ish, meni galak pisan!" Kris pura-pura menggeleng. (galak banget)

Verda mendengkus dan kembali meneruskan langkah. Tidak menghiraukan sosok Kris yang melayang di sebelahnya sambil bersenandung lagu khas Sunda. 

Makhluk astral tersebut duduk di kursi seberang Verda dan terus memandangi gadis itu yang tengah menyantap makanan dengan semangat. Secarik senyuman terbit di wajah Kris saat melihat gaya makan Verda. 

"Lapar atau doyan, Neng?" tanyanya dengan santai. Tak peduli Verda memelototi, Kris tetap memasang wajah tanpa dosa.

Gadis itu meneruskan menyuap hingga tidak tersisa apa pun di piringnya. Tetap mengabaikan sosok makhluk halus yang masih memandanginya seraya tersenyum lebar. 

Saat Verda berdiri dan jalan ke tempat kasir, lagi-lagi Kris mengikuti dan berdiri di sebelah gadis itu. Tatapannya lurus ke depan dan ikut sibuk mengecek tulisan tangan sang kasir di atas buku kecil. 

"Jangan ngikutin terus!" desis Verda saat jalan ke luar kantin. 

"Akang teh mau minta tolong ke Neng," sahut Kris tanpa sungkan. 

"Tolong apaan?" 

"Sampein ke keluarga akang, bahwa akang teh belum meninggal." 

Seketika langkah Verda berhenti. Gadis itu menoleh sambil menyipitkan mata pada makhluk astral yang tengah cengar-cengir di hadapannya. "Belum meninggal?" ulang Verda. 

"Hu um." 

"Lah kok bisa gentayangan?" 

"Akang teh koma, Neng. Udah tiga hari keliling rumah sakit ini buat nyari orang yang bisa ngeliat akang. Akhirnya bisa ketemu Neng." Kembali Kris bertepuk tangan dengan riang, tampak sangat gembira hatinya. 

"Komanya udah tiga hari?" tanya Verda memastikan. 

Kris mengangguk. 

"Keluarga udah tau?" 

Kris kembali mengangguk. "Tapi kemaren akang dengar mereka ngobrol, nggak sanggup bayar biaya rumah sakit," keluhnya sambil menunduk. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status