“Yang saya tahu, keluarga Mahardika sudah punya pengacara khusus untuk mengurus semua hal terkait masalah yang ada di circle kalian.”
Lex menyilang kaki dengan santai pada arm chairnya. Menatap Elok dengan selidik, dari ujung rambut hingga kaki. Wanita yang selalu terlihat elegan, tapi tegas itu tidak akan mengambil keputusan ceroboh dalam hal apapun. Lex memang tidak pernah mengenal Elok secara pribadi. Namun, dari pemberitaan yang terkadang lewat saat berselancar, cukup bisa membuat Lex bisa menilai wanita itu.
Hanya satu hal yang tidak diketahui Lex saat ini. Yaitu, untuk apa seorang Elok sampai ingin menemuinya seperti sekarang.
“Babe baru pensiun, dan saya masih sangsi kalau harus konsultasi dengan anaknya.”
Lex mengangguk paham, karena alasan Elok cukup masuk akal. Beberapa waktu yang lalu, salah satu pengacara senior yang sangat disegani memang baru saja mengumumkan pengunduran dirinya dari hiruk pikuk dunia hukum. Pria paruh baya itu beralasan, ingin beristirahat dan menikmati sisa hidup dengan tenang tanpa harus memikirkan peliknya kasus yang tiada henti.
Yang Lex tahu, Rasyid atau yang kerap disapa Babe menyerahkan firma hukumnya dalam kendali putra semata wayangnya, yakni Abimanyu.
“Begini Bu Elok, saya bukannya tidak mau menjadi penasihat Ibu,” ujar Lex memberi sedikit pandangan dengan bahasa formal. “Tapi, apa Ibu sudah bicarakan semua ini dengan pihak Abimanyu. Kalau firma lain, mereka pasti menyambut Bu Elok dengan tangan terbuka. Tapi, saya punya prinsip tersendiri untuk tidak mengambil klien orang lain. Kecuali, Bu Elok sudah melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak sana.”
Elok juga mengangguk paham, atas pernyataan pria yang sudah sangat lama menduda itu. Bagi Elok, ini adalah pertemuan pertamanya dengan Lex secara langsung. Selebihnya, Elok hanya mendengar kabar pria itu dari pemberitaan yang sering muncul di media.
“Saya datang ke sini karena urusan pribadi, jadi, bukan untuk urusan keluarga besar Mahardika, atau perusahaan.”
Lex menurunkan kaki, lalu menegakkan tubuh karena mulai merasa tertarik dengan ucapan Elok. Entah mengapa, Lex sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan wanita itu.
“Saya butuh pengacara perceraian,” ujar Elok yang duduk berhadapan dengan Lex tanpa ragu. “Saya butuh konsultasi, karena …” Elok menarik napas panjang sebentar untuk menjeda sesak di dalam dada. Mengingat kembali perselingkuhan sang suami, dada Elok mendadak terasa nyeri. “Suami saya selingkuh.”
Kedua alis Lex tersentak pelan karena tebakannya benar. “Dugaan selingkuh, atau, Bu Elok sudah tahu kalau … mohon maaf, Harry Lukito? Saya benar, kan?”
“Ya.” Elok mengangguk. “Suami saya Harry Lukito. Dia sudah selingkuh dan saya punya beberapa buktinya. Dari CCTV di apartemen selingkuhannya, bukti percakapan mereka di chat, dan suami saya juga sudah mengaku kalau dia selingkuh. Tapi, dia juga bilang kalau hubungan itu sudah selesai sebulan yang lalu.”
“Bagaimana dengan anak?”
“Kami punya satu anak perempuan, tujuh tahun.”
“Sudah pertimbangkan baik dan buruknya?” tanya Lex lagi. “Bagaimana kalau mediasi lebih dulu. Saya bisa memfasilitasi kalian berdua. Bicara dari hati ke hati dan pikirkan lagi matang-matang akibat ke depannya.”
Elok terdiam untuk mencerna perkataan Lex yang serupa dengan Harry. Apa Elok memang harus memikirkan lagi keputusannya untuk bercerai dari Harry? Memberi maaf dan kembali menjalani biduk rumah tangga mereka ke depannya?
“Suami saya itu selingkuh, Mas.” Elok tidak pernah sebimbang ini dalam hidupnya. Ia termasuk tipe wanita yang tegas, dan tidak pernah dilanda keraguan jika sudah mengambil keputusan. Namun, kali ini ada Kasih yang membuat dirinya tidak mampu menetapkan tujuan hidupnya ke depan.
“Saya paham.” Lex tetap bersikap formal, dengan dengan aura arogan dan wibawanya. “Tapi, ada dua hal yang membuat pernikahan tetap bisa dipertahankan. Pertama memaafkan, dan yang kedua, memberi kesempatan. Karena itulah, setiap sidang perceraian selalu ada bagian mediasi untuk pasutri berpikir kembali. Berbicara dari hati, untuk masa depan pernikahan mereka.”
Elok menarik napas, sembari meraih tas yang ada di samping pahanya. “Sepertinya, saya sudah salah datang ke sini,” ujarnya kemudian berdiri lalu menatap datar pada Lex. “Lebih baik saya cari pengacara perempuan, yang benar-benar mengerti bagaimana perasaan istri yang suaminya berkhianat.”
“Bu Elok.” Lex pun ikut berdiri, tapi tidak terpancing dengan ucapan wanita itu. “Saya tidak keberatan sama sekali, kalau Ibu mau mencari pengacara lain. Tapi, sebelum itu silakan pikirkan baik-baik saran dari saya.”
“Mas, gelas yang sudah jatuh dan pecah, nggak akan mungkin bisa kembali tersusun sempurna,” sanggah Elok.
“Tapi hati, tidak bisa disamakan dengan benda mati,” balas Lex tidak setuju dengan pernyataan yang kerap beredar di masyarakat. “Saya paham kalau hati Bu Elok sekarang sedang sakit, dan terluka. Tapi, setiap penyakit dan luka yang ada sekarang, pasti ada obatnya kalau kita mau bersabar.”
Lex segera mengayunkan kaki untuk menyusul Elok yang hanya diam, dan berjalan menuju pintu ruang kerjanya. Dari sikapnya saja, Lex tahu jika Elok sudah tidak ingin mendengar dirinya berceramah panjang lebar. Sebelum tangan Elok sampai memegang handle pintu, Lex lebih dulu meraih benda tersebut.
“Banyak kasus perselingkuhan yang berbuntut perceraian,” kata Lex berdiri tepat di depan Elok. “Tapi, tidak sedikit dari mereka yang bisa intropeksi, dan kembali merajut rumah tangga dengan bahagia. Tolong garis bawahi kata bahagia yang barusan saya sebut. Juga ingat, kata-kata saya tentang memaafkan dan memberi kesempatan. Saya nggak tahu dengan Abimanyu, tapi kalau Bu Elok datang ke Babe dengan kasus seperti ini, percayalah, Babe juga akan memberi saran yang sama dengan saya.”
Elok menatap Lex tajam, dengan penuh emosi yang tidak bisa diungkapkan. Namun, Elok sudah tidak ingin membuang waktu untuk mengemukakan argumennya. Kepala Elok saat ini benar-benar penuh dengan masalah yang harus segera ia urai satu per satu. Elok hanya ingin mencari solusi, daripada harus berdebat dengan Lex yang terlihat membela sesama kaumnya.
“Saya harap, suatu saat Mas nggak akan berada di posisi saya.”
Lex tersenyum tipis, lalu segera membukakan pintu untuk Elok. “Tidak … akan pernah. Karena saya sudah berkomitmen untuk selibat. Dan … hati-hati di jalan Bu Elok, sampai jumpa lagi.”
“Bu El!”Kiya membuang napas gusar saat melihat Elok baru keluar dari lift. Berlari tergesa, menghampiri Elok yang sudah berjalan cepat menuju ruangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari, tapi wanita itu baru muncul di kantor. Apa sebenarnya yang terjadi selama dua hari ini?Kiya yang baru saja keluar dari kamar kecil itu pun segera menyamakan langkah dengan Elok.“Sore Kiya Sayang,” sapa Elok tetap mengayunkan kaki dengan tergesa dan menatap sekilas pada asistennya. “Sorry, hapeku mati dan chargernya …” Elok merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah ponsel yang sudah kehabisan daya. Tanpa berhenti melangkah, Elok memberikan benda perseginya pada Kiya. “Tolong di charge.”Kiya menerima ponsel tersebut dengan anggukan. “Ada pak Restu di ruangan Ibu. Dia sudah ada di sana dari jam dua. Dia juga minta semua data karyawan dengan level manajer ke atas dan masa jabatannya. Jumlah karyawan per divisi, karyawan magang, karyawan kontrak, dan karyawan tetap.”Elok terpaksa menghenti
Seketika itu juga, Elok tergelak dengan perasaan miris mendengar pernyataan Restu. Tawa hambar Elok tersebut, sampai membuat sudut matanya berair. Pantas saja Harry berselingkuh dengan gadis yang jauh lebih muda darinya. Ternyata, tubuh Elok memang sudah tidak menarik lagi di mata pria. Bahkan, Restu dengan jelas-jelas mengikrarkan tidak akan tertarik pada Elok meskipun ia menanggalkan seluruh pakaiannya.“Ya! Aku percaya.” Elok berusaha menutupi luka hatinya atas pernyataan Restu barusan. Untuk menutupi guratan pahit di wajahnya, Elok melengos pergi menuju kursi kebesarannya lalu duduk di sana.Bersamaan dengan hal tersebut, Kiya mengetuk pintu dan membukanya setelah Elok mempersilakan. Dengan membawa nampan berisi secangkir kopi, Kiya mengangguk sopan sekilas pada Restu. Melewati pria itu menuju meja kerja Elok, kemudian meletakkan secangkir kopi yang diminta.“Ada lagi yang Ibu perlukan?” tanya Kiya berdiri sebentar di sudut meja.Elok menggeleng sambil menatap Kiya. “Pergilah, dan
Harry menutup kasar pintu mobilnya, lalu menghela. Menatap pekarangan rumah kediaman Lukito dengan seksama. Sudah tidak ada mobil yang terparkir di depan, dan suasana rumah pun sudah cenderung sepi. Jelas saja, karena waktu saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di jam segini, kedua orangtuanya biasanya sudah masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk beristirahat.Namun, untuk apa sang papi memintanya untuk datang ke rumah di malam hari seperti ini?Kepala Harry saja sudah sangat dipusingkan dengan masalah Elok yang tidak bisa dihubungi sama sekali. Ditambah, Hendra hanya menelepon dan menyuruh Harry datang ke rumah tanpa memberi tahu tujuannya.Tidak seperti biasanya, dan sangat mencurigakan.Tanpa ingin didera rasa penasaran, Harry lantas bergegas masuk ke dalam. Jantung Harry seolah hendak melompat dari rongganya ketika melihat Elok ada di ruang keluarga. Harry yakin sekali tidak ada mobil Elok terparkir di depan, tapi istrinya itu ternyata sudah duduk manis di dalam sana. Mu
Elok berjalan gontai memasuki kediaman Mahardika. Setelah seharian penuh mengabaikan panggilan dari kedua orangtuanya, akhirnya Elok mendatangi rumah tersebut. Perasaan yang menggumpal di dada Elok saat ini sungguh tidak dapat diungkapkan. Di satu sisi, Elok tidak ingin kembali bersama Harry karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya itu. Namun, melihat dari perspektif luas dan mempertimbangkan semua hal, Elok seakan ingin menyerah dengan keadaan.Ada perasaan dan perkembangan Kasih yang harus Elok jaga jika hendak menggugat Harry di pengadilan agama. Ditambah, permohonan Joana yang meminta Elok memikirkan lagi tentang semua hal. Sampai detik ini pun, Elok masih belum bisa membayangkan hidup sebagai seorang janda untuk ke depannya. Namun, sudut hati Elok juga belum bisa menerima Harry kembali dengan semua kesalahan pria itu.“Pap … Papa.” Elok tidak jadi mengayunkan langkah menaiki anak tangga, ketika melihat sang papa berada tepat di ujung tangga lantai dua. Waktu memang sudah san
Karena kedua keluarga sudah tahu masalah yang terjadi dengan anak mereka, maka Elok tidak perlu lagi melanjutkan sandiwara mengenai bulan madu palsu yang sempat tercetus. Namun, Elok tetap pergi ke Singapura karena Kiya sudah membuat janji dengan seorang dokter untuk melakukan medical check up. Pada akhirnya, Elok hanya berangkat seorang diri karena Harry tiba-tiba ada urusan mendadak yang tidak bisa diwakilkan, maupun ditinggalkan. Sementara Kiya, Elok memutuskan untuk membatalkan penerbangan wanita itu guna mengawasi sepak terjang Restu di Antariksa. Selama berada di Negeri Singa, Elok lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri di kamar hotel. Elok benar-benar menenangkan diri, untuk memikirkan langkah yang akan diambilnya ke depan nanti. Apakah akan terus melanjutkan pernikahannya dengan Harry, atau memilih bercerai dengan masing-masing konsekuensi yang ada di belakangnya. Selain itu, Elok juga sedang mempersiapkan beberapa hal, untuk rapat yang akan diadakan senin nanti di Anta
“Pagi, Kiya Sayang.”Sapaan Elok tersebut, langsung membuat Kiya yang baru keluar dari lorong pantry berlari kecil. Sambil berhati-hati memegang cangkir yang berisi kopi panasnya, Kiya menyamai langkah tergesa Elok.“Ada pak Raka di ruangan Ibu,” ucap Kiya. “Pak Restu, sama pak Fahri.”Elok berhenti melangkah, dan menoleh dengan mata memicing menatap asistennya untuk meminta penjelasan. Mengapa hal sepenting ini sampai tidak dikabarkan oleh Kiya sama sekali. “Kiya?”“Saya sudah hubungi Ibu berkali-kali dari setengah jam yang lalu.”Detik itu juga, Elok segera berlari meninggalkan Kiya menuju ruang kerjanya. Elok yakin sekali dirinya tidak terlambat datang ke kantor pagi ini. Begitu sampai di bandara, Elok langsung dijemput oleh supir sang papa dan segera pergi menuju Antariksa tanpa mampir ke mana pun. Masalah ponsel, sepertinya Elok harus membeli sebuah ponsel lagi untuk mobilitasnya meskipun tampak merepotkan.Elok mengetuk pintu ruang kerjanya terlebih dahulu, sebelum membuka dan m
Sambil menunggu kuorum terpenuhi, Restu sibuk berbincang dengan salah satu pemegang saham yang duduk di sebelahnya. Sesekali, matanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan dan juga menatap pintu masuk. Setelah sedikit perdebatan yang dilakukan Elok dan dirinya beberapa saat yang lalu, Restu semakin yakin jika wanita itu tengah menghadapi masalah besar seorang diri.Restu jadi bertanya-tanya dalam hati, apa Elok juga menyembunyikan penyakit tersebut dari keluarga besarnya? Merahasiakannya dari putri cantik yang usianya masih sangat belia? Pun dari suaminya?Kenapa hal seperti ini justru diketahui Restu di penghujung keputusan rapat yang sudah terencana? Jika tidak, Restu mungkin masih bisa berbaik hati dengan tidak menekan Elok dengan foto-foto tersebut.Atau, Restu mungkin akan tetap memberi Elok sebuah posisi dalam jajaran direksi di Antariksa nantinya. Entahlah, untuk saat ini Restu akan menjalani agenda yang sudah direncanakan terlebih dahulu.Restu kemudian melihat kurs
“Aku mau bicara.” Restu menatap tajam pada Raka yang hendak pergi dari ruang meeting. Berdiri tepat di depan kursi roda pria tua itu, tanpa ada niat untuk bergeser seinci pun. Sekilas, matanya berlari melihat Elok yang jalan tergesa keluar dari ruang rapat. Wajah wanita itu tampak kesal, hingga membuat rasa penasaran Restu kembali menyeruak.“Kita sudah bicara tadi pagi,” ujar Fahri mengambil alih karena harus segera membawa Raka kembali ke rumah sakit. Kondisi Raka sudah terlalu lelah, karena harus turun tangan untuk meredam gejolak perusahaan yang disebabkan oleh Restu. Untuk itulah, pria tua itu harus segera kembali ke rumah sakit dan beristirahat. “Jadi minggirlah, Res.”Restu sama sekali tidak mengacuhkan ucapan Fahri. Tatapannya hanya tertuju pada Raka untuk meminta penjelasan. “Kakek nyuruh orang masuk ke dalam apartemenku?”“Yang kamu perbuat itu salah,” ujar Raka menarik napas panjang sebentar. Rasa-rasanya, Raka tidak akan tahan jika harus berada lebih lama lagi di Antariksa