“...Jiu.”
Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami.
Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu.
“Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.
“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk.
“Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”
“Jiu…”
Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, balik lagi menatap sosok pria asing dan He Ting yang kian mendingin.
Seakan ada kekuatan besar, menarik Jiu menjauh dari pemandangan di depan mata. Gadis itu mengulurkan tangan, seakan tidak ingin berpisah. Hatinya sakit, tidak rela jika harus pergi tanpa menghentikan tangis pilu itu.
“Shi Jiu!”
Suara itu berhasil mengembalikan kesadaran Jiu. Gadis itu terbatuk kuat, sontak beranjak duduk. Napasnya sesak, dia seakan kesulitan bernapas. Sentuhan hangat dia rasakan di punggung, tangan besar menepuknya pelan. Membuat Jiu menoleh, melihat siapa pemiliknya.
“Shenlong…” Manik kecoklatan itu mengerjap.
“Minumlah ini, hati-hati, awas tersedak.” Salah satu tangannya menyodorkan kantung air pada Jiu. Sementara tangan lain menahan punggung sang gadis. “Habiskan sampai setengah, kau butuh banyak cairan.”
Jiu mengangguk lemah, menggunakan kedua tangan untuk menopang kantung air dan meneguknya. Setelah berhasil menghabiskan setengah air, dia mengembalikannya pada Shenlong. Pemuda itu dengan hati-hati membaringkan Jiu kembali.
“Kau pingsan dua hari setelah menyentuh pusaka.”
Kening Jiu menyatu mendengarnya, pantas saja seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Sejenak gadis itu merenung, mencoba mengingat lagi. Apa yang dialaminya usai menyentuh pusaka Mutiara Hitam. Perasaan sedih itu masih membekas di relung hati, namun yang tidak dia mengerti adalah mengapa Jiu memiliki rasa itu?
Seakan dia memahami He Ting, melihat pria yang memeluknya menangis. Perasaan bersalah karena harus meninggalkannya lagi membuat Jiu sesak napas. Tunggu, lagi?
“Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan?” Suara Shenlong membuyarkan lamunan Jiu. Pria itu menatapnya cemas. “Katakan padaku, di mana yang sakit?”
Jiu terkekeh pelan, melihat Shenlong panik membawa hiburan tersendiri. Padahal mereka baru kali ini bertemu, bagaimana bisa pemuda ini memberikan perhatian lebih. Jika orang lain melihat, mungkin mereka akan menyangka kalau Jiu dan Shenlong sudah lama saling kenal.
“Di mana ular sawah itu?” Bukannya menjawab, Jiu malah balik bertanya. Dia baru ingat keberadaan Naga Kuning penguasa Lembah Suoxi. “Apa dia mati?”
“Wah, maaf sekali telah mengecewakan, Anda.” Sebuah suara terdengar memotong adu tatap Shenlong dan Jiu. Seorang pemuda hampir seusia Jiu duduk tidak jauh dari mereka. “Seperti yang kau lihat, aku masih hidup, belum mati seperti keinginanmu.”
Nada suaranya terdengar jengkel dan sarkas. Jiu menatap lama sosok pemuda berambut hitam pendek, bermata emas, dengan satu anting batu permata hitam di telinga kiri. Wajah rupawan yang tidak kalah dari Shenlong. Penampilan baru itu sedikit mengejutkan, namun melihat kepribadiannya yang masih menyebalkan. Jiu tidak jadi terpesona.
“Justru kalau mati segampang itu. Gelar mu sebagai sembilan naga patut dipertanyakan. Kau tidak menyogok dewa, bukan?” Sindiran keras Jiu dibalas tatapan bingung oleh Huanglong.
“Apa itu menyogok?”
Jiu hampir menepuk dahi mendengarnya. Gadis itu bahkan tidak ada niat untuk menjelaskan apa arti menyogok pada ular sawah satu ini.
“Hei! Jangan menatapku seperti itu!” Huanglong menghardik kesal. Dia tidak suka melihat mata coklat Jiu melihatnya seakan lelah akan sikapnya. Sedetik kemudian sang naga kuning berdecak. “Jangan menatapku seperti itu juga!”
Kali ini Jiu yang berdecak.
“Lagipula apa maksud omonganmu?! Tentu saja aku tidak mungkin mati ditangan manusia rendah sepertimu!”
Mendadak suasana berubah sunyi dan mencekam. Huanglong hampir tersedak saat pedang panjang dan tajam tepat di depan leher. Manik emas tidak asing itu menatapnya tajam dan dingin.
“Huanglong, jaga ucapanmu.”
Seakan waktu saat itu berhenti berputar, padahal kenyataannya tidak sampai sedetik kemudian Huanglong menepis senjata itu. Naga kuning berdehem pelan, berusaha menutupi ketakutannya walau payah.
“Dia yang duluan!” Huanglong menunjuk Jiu dengan kesal. Tidak terima kalau hanya dia yang dimarahi.
“Shenlong, dimana Pusaka Mutiara Hitam?” Jiu memilih untuk mengabaikan Huanglong.
Pemuda itu menarik kembali pedangnya, lalu menoleh ke arah Jiu dengan tatapan lembut. Perubahan sikap yang kentara sekali membuat Huanglong mencak-mencak di ujung sana. Dan membuat Jiu tidak bisa berkata-kata.
“Mutiara Hitam itu masuk ke dalam tubuhmu setelah kau menyentuhnya.”
Manik kecoklatan Jiu sontak membulat sempurna. Dia bahkan sontak beranjak duduk tiba-tiba hingga membuat kepalanya pusing. Shenlong sigap memegang punggung Jiu, menopang tubuh sang gadis agar tidak ambruk.
“Kau baik-baik saja?”
“Tidak, aku tidak baik-baik saja!” Jiu tidak bermaksud meninggikan suaranya. Tapi dia kepalang panik.
“Aku bela-belain menantang naga, untuk mencari jalan pulang. Mungkin saja Pusaka Mutiara Hitam itu jawabannya. Tapi sekarang, benda itu masuk ke dalam tubuhku. Bagaimana cara aku mengeluarkannya?!”
Jiu menatap ke arah Shenlong dan Huanglong. Tidak ada suara dari mereka berdua. Keringat dingin turun perlahan di pelipis Jiu. Perasaannya berubah kacau, sedih, kecewa dan marah menjadi satu. Bagaimana dia pulang?
“Itu pusaka milikmu, Huanglong. Seharusnya kau tahu bagaimana cara merebutnya kembali dariku.”
“Aku tidak mau,” Huanglong menjawab santai. “Selama ini aku selalu merasa terbebani karena harus menjaga Pusaka yang dititipkan Dewa Langit padaku.”
Jiu mengerjapkan mata, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Sementara itu Huanglong tersenyum miring.
“Aku tidak perlu lagi menjalankan tugasku sebagai Sembilan Naga. Itu artinya, aku bebas!”
“Kau bangga menjadi naga pengangguran?” Jiu menatap Huanglong kesal. “Setidaknya selesaikan tugasmu sampai akhir, dasar ular sawah! Beritahu aku cara menarik keluar pusaka ini, dan cara aku mengaktifkannya untuk kembali ke dunia asalku!”
“Apa kau bodoh?” Pertanyaan tiba-tiba Huanglong mengejutkan Jiu.
“A-apa?”
“Pusaka itu tidak punya kekuatan untuk membuka jalan ke dunia lain.”
Perkataan Huanglong bagai petir di siang bolong. Shenlong menatapnya khawatir, dan si Naga Kuning sibuk mengorek telinganya tanpa peduli dunia. Jiu menghela napas panjang, lehernya sakit seakan darahnya naik ke atas kepala.
“Aku harus menemui Feng Yi dan Feng Ju,” ucap Jiu lalu beranjak berdiri.
“Kondisimu belum stabil, Jiu.” Tangan besar dengan jemari lentik itu menahan punggung sang gadis. “Lebih baik kau fokus memulihkan diri dulu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”
Jiu yang berdiri dengan bantuan lengan Shenlong menatap pria itu sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, kesal. Karena apa yang dikatakan pemuda ini benar. Saat ini kondisinya amat payah, berdiri saja susah. Kedua lututnya lemas tidak bertenaga. Namun Jiu juga tidak ingin membuang waktu setelah dua hari berlalu begitu saja.
“Shenlong, apa aku boleh minta tolong?”
“Tentu saja,” jawaban cepat dari Shenlong membuat Jiu tertawa pelan.
Bagaimana bisa laki-laki yang baru ditemui ini begitu mempercayainya. Seakan siap memberikan seluruh nyawanya pada gadis seperti Jiu. Mungkin efek dari ingatan He Ting masih membekas pada dirinya, membuat pikiran negatif dan melankolis melanda.
“Tolong antar aku ke bukit perbatasan lembah.”
Tatapan dari Jiu membuat Shenlong yang sudah membuka mulut untuk menolak jadi kembali bungkam. Pemuda itu mengangguk, dia melingkarkan jubah miliknya untuk menutupi bagian bawah Jiu. Kemudian Shenlong menggendongnya ala putri.
“Selamat tinggal, jangan kembali lagi kalian berdua!” Huanglong melambai dengan gembira.
“Hei! Kau juga ikut, ular sawah!” Jiu menghardik kesal.
Huanglong menggeleng tak mau, namun tatapan yang diberikan Shenlong terlalu menakutkan untuk diabaikan. Jadilah pemuda itu mengikuti dengan bibir cemberut. Pergerakan Shenlong dan Huanglong sangat cepat. Jiu semakin menyadari perbedaan kekuatan mereka dengan manusia biasa.
Shenlong memimpin di depan, bergerak cepat , dalam sekali lompatan dua puluh meter terlewati. Perjalanan menuju bukit tempat terakhir Jiu berpisah dengan Feng Yi dan Feng Ju ditempuh hanya beberapa menit. Berbeda sekali dengan saat Jiu berjalan seorang diri. Setiba mereka di atas bukit, Shenlong menurunkan Jiu dari gendongannya.
Bukit lapang itu nampak lenggang, kosong, dengan sisa-sisa perkemahan yang sudah dirapikan. Jiu tidak perlu berpikir keras, dia hanya harus menerima kalau rombongan itu telah pergi sejak dua hari lalu. Gadis itu jatuh terduduk, Shenlong sontak menghampirinya.
Guncangan hebat terjadi pada batin Jiu. Tubuhnya bergetar pelan, menahan gejolak emosi yang berkumpul menjadi satu. Disaat seperti ini Jiu teringat dengan teman-temannya. Tawa canda yang kerap kali mereka lontarkan dengan topik tidak jelas. Sampai memori terbarunya bersama Tante Dwi. Menonton film di malam hari dengan seloyang pizza dan seliter coca cola.
“...Pulang, aku mau pulang…” Setitik air mata jatuh membasahi tanah. “Aku ingin makan soto ayam buatan Tante Dwi… aku mau nongkrong bareng teman-teman. Aku mau pulang….” Jiu menengadah ke atas langit, menangis sejadi-jadinya.
Shenlong berjalan pelan menghampiri Jiu. Pemuda itu berlutut satu kaki, tangannya meraih pundak gadis itu. Hanya sekali tarikan pelan, bahu mungil sang gadis jatuh bersandar pada dada bidang Shenlong. Jiu menangis tersedu-sedu, mengeluarkan perasaan sedih, marah, bercampur bersama kekecewaan.
Continue…
Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it
Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat
Matahari sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Udara sejuk kini menjadi sedikit dingin ketika Jiu berjalan di salah satu distrik kumuh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mendinginkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Huanglong, tidak seharusnya Jiu mendesak Shenlong. “Sebenarnya aku paham betul, ini ulah manusia. Tapi karena tidak ada petunjuk apapun, membuatnya terlihat ini ulah Shenlong.” Jiu menendang kaleng bekas saking kesalnya. “Jika aku tidak mengenal Shenlong, mungkin aku juga sepemikiran dengan Huang Jiang.” Suara kaleng yang ditendang Jiu menimbulkan suara gaduh. Gadis itu berjengit, baru sadar dia tidak kenal lingkungan sekitar. Terlebih banyak mata memandangnya ingin tahu, juga melihatnya dengan tajam. Sang gadis menelan ludah gugup, mencoba untuk tetap tenang. Bodoh sekali dia berjalan tanpa tahu arah dan berakhir tersesat di gang kecil. “Kau yakin barangnya sudah siap?” Suara samar-samar terdengar menarik per
Kondisi Jiu di dalam kotak cukup aman, selama gadis itu tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya sedikit terguncang, saat beberapa kali merasakan pergerakan. Itu terjadi saat para penjaga sibuk mengeluarkan kotak dari kereta kuda. “Astaga, kotak ini berat sekali!” Seorang penjaga mengeluh saat mengangkat kotak kayu berukuran 24 inchi. “Berapa kilo berat daging ini?!”Dia sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang ada di dalam kotak bukanlah tumpukan daging. Dengan susah payah, pemuda itu membawa kotak kayu masuk ke dalam rumah. Begitu dia sampai di ruang tengah, salah satu atasannya memberi arahan. “Beritahu yang lain, kotak isi daging tua simpan di gudang belakang. Sementara daging muda bawa ke bawah tanah.”“Baik, Kak!”Jiu menahan napas ketika mendengar hal itu. Dia lalu kembali merasakan kotak bergoyang pelan. Sebelum tidak lama suara keras terdengar bersamaan hentakan yang dirasakan Jiu. Gadis itu harus menggigit bibir bawah demi meredam teriakannya. Astaga, penjaga satu ini tidak bi
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, sebelum seorang pemuda masuk ke dalam ruangan berukuran 6x3. Laki-laki berambut hitam pendek dengan pakaian putih bergaris biru dongker dan celana hitam. Dia menghadap pada seorang pria lebih tua dua tahun darinya. Menyerahkan beberapa gulungan berisi berkas penting. “Kak Feng Ju, ini berkas yang diminta.”Pemuda itu tidak melepaskan fokus pada pekerjaannya meski menjawab saudara seperguruannya. “Terima kasih, kau boleh pergi.”“...”Tidak ada pergerakan membuat atensi Feng Ju teralih pada adik perguruannya. Wu Kong masih berdiri, menunduk, dengan sebuah gulungan berkas yang digenggam erat. Pemuda yang memiliki status tertinggi setelah Wakil Pemimpin Sekte itu menaruh pena bulu. Dia beranjak dari duduk dan menghampiri adiknya. “Apa ada yang ingin kau katakan?”Wu Kong melihat Feng Ju dengan tatapan ragu, “Apakah Kak Feng Ju tidak merasa Tetua Qin agak…, aneh?”“Aneh bagaimana?”Bukannya menjawab, pemuda itu malah melihat sekitar seakan takut a
Di ruang bawah tanah, dengan setidaknya sekitar enam orang tersisa. Suasana tegang sekitar lima menit lalu kini berubah. Tatapan heran dan kaget bercampur jadi satu saat sosok pemuda berambut hitam pendek, memakai satu anting di telinga kanan dengan hanfu kuning lembut muncul begitu saja. Satu pria jatuh terduduk, wajahnya terdapat jejak sepatu milik sang pemuda. Manik hitamnya bersitatap dengan sepasang mata emas menyala. Hal itu tak pelak membuatnya menelan ludah gugup bercampur takut. Belum sempat dia bertanya siapa pemuda ini, suara Jiu lebih dulu terdengar.“Huanglong?!”Pemuda itu menoleh ke belakang, menyeringai lebar sambil berkacak pinggang. Pedangnya ia sampirkan di pundak kanan, gayanya sungguh menyebalkan di mata sang gadis.“Sudah aku bilang, kau pasti butuh bantuan. Si Shenlong itu susah sekali dibilangin dan masih keras kepala mau memantau situasi.” Jiu menghela napas pendek, untuk kali ini dia setuju dengan Huanglong. “Terima kasih sudah datang, Huanglong. Aku memang