Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya.
“Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”
Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan energi yang diserap Jiu.
“Setelah kau berhasil menguasai teknik pernapasan, secara bertahap kau bisa mempelajari tenaga dalam untuk beberapa tujuan. Seperti yang kau ketahui, pejuang murim melakukannya untuk bela diri dan penyembuhan diri.”
Shenlong berusaha menjelaskan pada Jiu dengan bahasa yang dapat gadis itu mengerti. Saat ini pemuda itu sudah dalam tahap secara sempurna membersihkan energi tidak murni dan mengumpulkan energi yang sudah bersih itu ke dantian milik Jiu.
“Sepertinya aku merasakan sesuatu…” Jiu mengerutkan kening. Kedua matanya masih terpejam seperti yang diperintahkan Shenlong. “Bagian bawah perutku terasa panas, dan aku seperti melihat bulatan kecil sebesar kelereng bersinar kebiruan.”
“Yang kau rasakan dan lihat adalah pusat energi, sering disebut Lautan Qi. Namun para manusia menyebutnya dengan Dantian.” Shenlong menjelaskan dengan senang hati.
Jiu mengangguk paham, keningnya sudah berkeringat dari tadi. Tidak menyangka bahwa latihan pernapasan bisa seberat ini. Jiu merasa kepalanya pusing, tubuhnya berat, dan energinya terkuras.
“...sudah selesai!” Shenlong menarik kedua tangannya. “Kau berhasil bertahan. Kerja bagus, Jiu!”
Senyum lima jari terukir di wajah sang gadis. Senang mendapat pujian dari Shenlong. Namun ketika dia berdiri, tubuhnya limbung dan jatuh ke dada bidang sang pria.
“Ah, aku tidak punya tenaga…” Jiu menghela napas pendek. “Ehh?!”
Gadis itu tersentak kaget, sontak saja dia mengalungkan kedua tangannya di leher Shenlong. Pemuda itu tanpa peringatan menggendongnya. Desiran lembut itu bertalu dengan jantung yang bergemuruh. Jiu tidak akan pernah terbiasa dengan perlakuan Shenlong padanya.
“Kau perlu istirahat, tidurlah dulu.” Shenlong merebahkan Jiu di bawah pohon rindang. “Aku akan membangunkanmu saat waktunya makan.”
Shenlong menutup kedua mata Jiu dengan tangan besarnya. Niat hati menghalau sinar mentari dan memudahkan sang gadis terlelap. Namun dia tidak menyadari, perlakuan itu telah membuat mekar rona merah di pipi Jiu.
***
Lembayung senja sudah nampak ketika Huanglong datang. Jiu hampir tersedak air saat pemuda itu membawa dua ekor babi hutan di pundaknya. Ukuran penghuni hutan itu dua kali lipat lebih besar dari tempat asalnya. Dan laki-laki itu membawanya tanpa kesulitan.
“Aduh, pegal sekali pundakku!” keluh Huanglong usai menaruh dua ekor babi dan memijat bahunya. “Kau tidak akan menyuruhku untuk menguliti juga kan, Shenlong?”
Sang naga biru menggeleng pelan. Dia melangkah mendekat, menarik pedang dari sarungnya. Jiu memperhatikan tanpa berkedip, sebelum raut wajahnya memucat.
“Ugh!” gadis itu menutup mulut, menahan isi perut naik minta dikeluarkan.
Huanglong yang menyadari kondisi Jiu malah menyeringai. Dia menghampiri Jiu yang sudah balik badan sambil membekap mulutnya sendiri.
“Baru pertama kali melihat babi disembelih?” Huanglong bertanya dengan nada jahil. “Atau kau takut melihat isi perutnya yang berhamburan keluar?”
“Ugh! tutup mulutmu, ular sawah!”
Huanglong menghindari kepalan tangan Jiu dengan riang. Di Kepalanya seakan muncul telinga kucing menyebalkan. Senang sekali mengganggu Jiu yang sudah lemas akibat mual melihat Shenlong menguliti hasil buruan Huanglong.
“Kau ini benar-benar manusia lemah, masa begitu saja sudah mual!” Huanglong bagai ibu tiri dengan kipas menutupi separuh wajah. Meledek Jiu. “Kau ini perempuan, bukankah harusnya terbiasa membersihkan isi perut hewan sebelum memasak dagingnya?”
“Aku bilang tutup mulutmu!” Jiu menyerang Huanglong dengan sisa tenaga. Tetapi seperti ular pada umumnya, gerakan pemuda itu licin sekali.
“Aha! tidak kena~”
“Berhenti menghindar kau!” Jiu bahkan sudah mengambil sebatang ranting pohon. Menggunakannya seakan tengah mengusir ular sawah. “Memangnya hanya karena aku perempuan, harus terbiasa dengan isi perut hewan? Dasar gila!”
“Kalian berdua berhentilah bermain.” Suara Shenlong tiba-tiba terdengar, dia baru saja selesai menguliti buruan. “Huanglong bersihkan tempat ini, sementara aku dan Jiu membuat makan malam.”
Setelah saling tatap dan melemparkan ledekan, mereka berdua berhenti bertengkar. Huanglong membersihkan sisa-sisa darah dengan tanah. Lalu mengubur isi perut yang tidak digunakan. Selain itu dia juga merapikan material yang didapatkan hasil menguliti babi hutan untuk dijual nanti.
Sementara itu Jiu dan Shenlong menyiapkan makan malam. Dengan peralatan seadanya, daging babi dibuat menjadi sate dan dibakar hingga setengah matang. Mereka bertiga menikmati makan malam di bawah sinar rembulan. Terkadang mengobrol ringan, mengenai banyak hal, bahkan topik random sekalipun. Sampai malam semakin larut, Jiu sudah terlelap bersama Huanglong.
Shenlong kebagian berjaga paling pertama, ditemani api unggun dia menikmati malam panjang. Beberapa jam kemudian, Huanglong bangun, menggantikan Shenlong. Walau mereka adalah sosok Naga yang diturunkan para dewa yang tidak membutuhkan tidur. Mereka sepakat untuk hidup dan bertingkah laku seperti manusia selama menemani Jiu.
Keesokan harinya, mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan. Terkadang berhenti sejenak untuk istirahat, atau melatih Jiu dasar-dasar bela diri agar gadis itu bisa melindungi dirinya sendiri. Sampai ketika senja menjelang, rombongan itu akhirnya sampai di kota tujuan.
Kota Shihezi terletak di sebelah utara, dengan penduduk berjumlah 570,000 jiwa. Di bagian belakang kota terdapat Gunung Tianzi yang dikabarkan tempat peristirahatan Naga Biru, Shenlong. Sudah beberapa hari ini para penduduk tidak melihat sosok penguasa Gunung Tianzi. Mereka mungkin tidak akan menyangka, bahwa sang naga akan memasuki kota mereka dengan wujud manusia.
“Wah, jadi ini kota Shihezi! Ramai sekali!” Jiu berdecak kagum setelah melewati gerbang masuk.
Sepanjang jalan para pedagang menjajakan dagangannya, mulai dari pernak pernik khas kota, sampai cemilan. Jiu sudah bergerak kesana kemari, melihat-lihat dengan tatapan ingin tahu. Kadang terkejut dengan jenis makanan aneh yang ditemui, kadang terkesan dengan kerajinan tangan dari batu. Shenlong memperhatikan Jiu di kejauhan tanpa melunturkan senyum di wajah.
“Kakak cantik, maukah membeli sekuntum bunga?” Seorang gadis kecil menawarkan bunga enam kelopak berwarna putih. “Hanya 1 yuan saja, Kak!”
Jiu mengerjapkan mata, sedikit menahan suaranya saat melihat gadis cilik dengan rambut hitam yang dikuncir dua dan digulung seperti donat. Gadis penjual bunga itu sangat menggemaskan, membuat Jiu berjongkok agar garis mata mereka sejajar.
“Bisa beri kakak tiga kuntum?” Jiu bertanya ramah.
Senyum gadis penjual bunga merekah mendengarnya. Dia lalu mengambil tiga kuntum bunga lili dari keranjang dan membungkusnya menjadi buket kecil. Jiu menerimanya dengan hati senang, lalu menoleh saat Shenlong memberikannya satu keping uang.
“Ini terlalu banyak, Kak!” Gadis kecil itu tersentak saat menerima uang. “Aku belum punya kembalian.”
“Ambil saja kembaliannya, dan..” Jiu segera berdiri, berbisik pada Huanglong sebelum pemuda itu mengangguk paham. Naga kuning itu memberikan sebuah bungkusan pada Jiu lalu diserahkan pada gadis penjual bunga. “Ini terimalah, kebetulan kami punya persedian terlalu banyak.”
Gadis kecil itu menerima sambil memiringkan kepalanya. Manis sekali. Jiu hampir mencubit gemas pipi sang penjual bunga.
“I-ini?! Benarkah ini boleh buatku?”
Jiu mengangguk sambil tersenyum ramah. “Tentu saja, tapi kau harus berjanji untuk menghabiskan daging ini tanpa sisa.”
“Um! Aku janji. Terima kasih, Kakak cantik dan Kakak tampan!”
Jiu terkekeh pelan dan dua pria di belakangnya merespon senang. Lalu gadis penjual bunga itu membungkuk sopan, etika saat memperkenalkan diri.
“Namaku Zhang Xue, sekali lagi terima kasih!”
“Nama kakak Jiu, ini Kak Shenlong dan Kak Huanglong.” Jiu memperkenalkan dirinya dan dua pria di belakangnya. “Lalu bisakah Adik Zhang mengantar kami ke toko yang menerima hasil buruan?”
Zhang kecil mengangguk penuh semangat. “Tentu, Kakak bisa ikuti aku.”
Mereka bertiga pun mengikuti langkah kecil Zhang Xue. Gadis kecil itu juga sesekali bercerita dan merekomendasikan beberapa toko. Mereka masuk semakin dalam, hingga ke jantung kota Shihezi. Ketika sampai di sebuah toko cukup besar dengan papan nama terbuat dari kayu jati. Zhang Xue pamit undur diri, dan mereka pun berpisah.
Shenlong adalah orang yang bertugas melakukan transaksi dengan pemilik toko. Dia menjual material dari hewan buruan dan juga sisa daging. Tawar menawar terjadi dengan sengit, pemilik toko tidak semudah itu mengeluarkan banyak kantong uang. Namun rupanya Naga Biru tidak hanya berdiam diri di gunung, kemampuannya berada di level lebih tinggi. Hingga pertandingan ini dimenangkan Shenlong dengan tiga kantong emas.
“Wah! kau hebat sekali, Shenlong!” Jiu memuji tulus.
Pipi pemuda itu sedikit merona, malu sekaligus senang dipuji sang gadis.
“Hei! Aku lapar, cepat kita cari tempat makan.” Huanglong berujar diiringi suara keras dari perutnya.
“Sekalian cari penginapan, entah mengapa langit tiba-tiba mendung.” Jiu ikut menimpali saat dia menyadari awan berubah kelabu.
Mereka bertiga segera mencari penginapan terdekat. Kebetulan sekali menemukan rumah makan yang juga menyewakan kamar di lantai dua. Rombongan itu masuk dan duduk di salah satu meja, lalu memanggil pelayan.
“Kami ingin memesan dua kamar.” Shenlong kembali menjadi juru bicara. “Satu kamar untuk perempuan dan satu kamar dengan dua kasur untuk pria.”
“Hei! Kenapa tidak pesan tiga kamar saja sekalian? Aku tidak mau sekamar denganmu.” Protes Huanglong, tidak terima.
“Supaya aku bisa mengawasimu, agar kau tidak membuat kekacauan.”
Huanglong sebenarnya ingin protes lagi, tetapi bungkam saat manik emas Shenlong menatapnya tajam. Jiu terkikik geli, setidaknya dia tahu kelemahan pemuda satu ini. Jika Huanglong mengganggunya, Jiu tinggal mengancamnya dengan nama Shenlong.
Setelah selesai memesan kamar dan juga makan malam. Mereka duduk santai sambil menunggu.
“Sebenarnya mau sampai kapan, anak-anak di kota ini menghilang…”
Topik berat dari meja seberang terdengar sampai ke telinga Jiu. Membuat gadis itu menoleh ingin tahu.
Continue…
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat
Matahari sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Udara sejuk kini menjadi sedikit dingin ketika Jiu berjalan di salah satu distrik kumuh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mendinginkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Huanglong, tidak seharusnya Jiu mendesak Shenlong. “Sebenarnya aku paham betul, ini ulah manusia. Tapi karena tidak ada petunjuk apapun, membuatnya terlihat ini ulah Shenlong.” Jiu menendang kaleng bekas saking kesalnya. “Jika aku tidak mengenal Shenlong, mungkin aku juga sepemikiran dengan Huang Jiang.” Suara kaleng yang ditendang Jiu menimbulkan suara gaduh. Gadis itu berjengit, baru sadar dia tidak kenal lingkungan sekitar. Terlebih banyak mata memandangnya ingin tahu, juga melihatnya dengan tajam. Sang gadis menelan ludah gugup, mencoba untuk tetap tenang. Bodoh sekali dia berjalan tanpa tahu arah dan berakhir tersesat di gang kecil. “Kau yakin barangnya sudah siap?” Suara samar-samar terdengar menarik per
Kondisi Jiu di dalam kotak cukup aman, selama gadis itu tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya sedikit terguncang, saat beberapa kali merasakan pergerakan. Itu terjadi saat para penjaga sibuk mengeluarkan kotak dari kereta kuda. “Astaga, kotak ini berat sekali!” Seorang penjaga mengeluh saat mengangkat kotak kayu berukuran 24 inchi. “Berapa kilo berat daging ini?!”Dia sama sekali tidak menyadari bahwa apa yang ada di dalam kotak bukanlah tumpukan daging. Dengan susah payah, pemuda itu membawa kotak kayu masuk ke dalam rumah. Begitu dia sampai di ruang tengah, salah satu atasannya memberi arahan. “Beritahu yang lain, kotak isi daging tua simpan di gudang belakang. Sementara daging muda bawa ke bawah tanah.”“Baik, Kak!”Jiu menahan napas ketika mendengar hal itu. Dia lalu kembali merasakan kotak bergoyang pelan. Sebelum tidak lama suara keras terdengar bersamaan hentakan yang dirasakan Jiu. Gadis itu harus menggigit bibir bawah demi meredam teriakannya. Astaga, penjaga satu ini tidak bi
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, sebelum seorang pemuda masuk ke dalam ruangan berukuran 6x3. Laki-laki berambut hitam pendek dengan pakaian putih bergaris biru dongker dan celana hitam. Dia menghadap pada seorang pria lebih tua dua tahun darinya. Menyerahkan beberapa gulungan berisi berkas penting. “Kak Feng Ju, ini berkas yang diminta.”Pemuda itu tidak melepaskan fokus pada pekerjaannya meski menjawab saudara seperguruannya. “Terima kasih, kau boleh pergi.”“...”Tidak ada pergerakan membuat atensi Feng Ju teralih pada adik perguruannya. Wu Kong masih berdiri, menunduk, dengan sebuah gulungan berkas yang digenggam erat. Pemuda yang memiliki status tertinggi setelah Wakil Pemimpin Sekte itu menaruh pena bulu. Dia beranjak dari duduk dan menghampiri adiknya. “Apa ada yang ingin kau katakan?”Wu Kong melihat Feng Ju dengan tatapan ragu, “Apakah Kak Feng Ju tidak merasa Tetua Qin agak…, aneh?”“Aneh bagaimana?”Bukannya menjawab, pemuda itu malah melihat sekitar seakan takut a
Di ruang bawah tanah, dengan setidaknya sekitar enam orang tersisa. Suasana tegang sekitar lima menit lalu kini berubah. Tatapan heran dan kaget bercampur jadi satu saat sosok pemuda berambut hitam pendek, memakai satu anting di telinga kanan dengan hanfu kuning lembut muncul begitu saja. Satu pria jatuh terduduk, wajahnya terdapat jejak sepatu milik sang pemuda. Manik hitamnya bersitatap dengan sepasang mata emas menyala. Hal itu tak pelak membuatnya menelan ludah gugup bercampur takut. Belum sempat dia bertanya siapa pemuda ini, suara Jiu lebih dulu terdengar.“Huanglong?!”Pemuda itu menoleh ke belakang, menyeringai lebar sambil berkacak pinggang. Pedangnya ia sampirkan di pundak kanan, gayanya sungguh menyebalkan di mata sang gadis.“Sudah aku bilang, kau pasti butuh bantuan. Si Shenlong itu susah sekali dibilangin dan masih keras kepala mau memantau situasi.” Jiu menghela napas pendek, untuk kali ini dia setuju dengan Huanglong. “Terima kasih sudah datang, Huanglong. Aku memang
Malam semakin larut ketika akhirnya prajurit bayaran yang ditugaskan untuk menjaga pondok di tengah hutan berhasil diringkus. Orang-orang berpakaian biru dongker dengan garis putih dan menutupi separuh wajah dengan kain hitam. Ternyata merupakan pasukan gabungan yang dibentuk oleh Feng Ju dan Pan Huizhong. Murid sekte Kuil Lingyin bersama anggota terpilih dari kepolisian Kota Shihezi. Melakukan operasi rahasia atas perintah wali kota Shihezi.“Tidak ada kebocoran informasi dan bisa dipastikan seharusnya tidak ada yang tahu mengenai operasi gabungan ini. Jika kau mau bekerja sama dan menyebutkan nama tuanmu. Maka kau akan mendapatkan keringanan, jadi mari kita mulai dengan siapa namamu?”Shenlong menatap ke arah Huizhong dengan tenang dan menyebutkan namanya.“Shenlong.”Huizhong tidak langsung mencatat di buku kecil miliknya. Pemuda itu malah kembali menatap Shenlong dengan sebelah alis terangkat. “Bisa kau ulangi?” Huizhong bertanya untuk memastikan pendengarannya. “Shenlong.”Huiz
Kuil Lingyin memiliki sejarah panjang. Dikatakan bahwa pendirinya dulu bertemu dengan Naga Biru Shenlong saat mengembara. Seorang pemuda yang sangat mencintai dan mendambakan kebebasan. Sifatnya yang ramah dan baik, serta tutur katanya sopan. Mampu menarik perhatian salah satu naga terkuat. Mereka kerap kali bertemu di atas puncak Gunung Tianzi, bertukar cerita.Setelah berhasil menemukan jati diri dan menemukan teknik miliknya sendiri. Ahli bela diri itu membangun sekte tepat di lereng gunung. Sebagai bentuk lambang persahabatan, pendiri Kuil Lingyin memahat seekor naga yang diyakini sebagai Naga Biru Shenlong. Sosok hewan mitologi kuno yang nampak mempesona walau waktu terus bergulir cepat. Feng Ju menatap lamat-lamat salah satu patung naga di halaman kuil. Sudah hampir setengah jam dia berdiri di bawah sinar mentari. Beberapa murid lalu lalang sempat menyapa dan bertanya apa yang dia lakukan di sana. Pemuda itu menggeleng, tersenyum ramah dan hanya menjawab sekedarnya.“Kak Feng J