"Nenek!" seru Rafli berlari dari arah mobil.
Anak itu bahkan meloncat dari mobil yang dia naiki. Ayu hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya. Sedangkan Rahman, dia tengah menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil dengan wajah gusar.
Sebelum menutup pintu mobil, dia mengecek ponselnya. Tak ada balasan dari Sari. Sudah dipastikan jika wanita yang memikatnya akhir-akhir ini marah padanya.
"Mas," panggil Ayu pelan, tapi membuat Rahman tersentak. Laki-laki itu tergesa memasukkan ponselnya ke saku celana.
"I-iya. Ada apa, Sayang?" tanya Rahman, wajahnya tampak tegang. Takut jika aksinya ketahuan.
Ayu menelisik wajah Rahman yang sekarang berubah pucat. Dia mendekat dan menempelkan punggung tangan pada kening suaminya.
"Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Ayu khawatir.
Seketika kehangatan menjalar pada tubuh Rahman. Wajah teduh dan panik itu seolah menenangkan Rahman. Ayu selalu memberinya kenyamanan dan ketenangan. Namun, dia ....
"Mas?" tanya Ayu dan Rahman kembali tersadar.
"Enggak, Ma. Aku cuma kecapekan aja. Ayo masuk! Aku ingin istirahat," ujar Rahman, sengaja. Dia tidak mau Ayu banyak tanya lagi.
Sepasang suami istri itu pun melangkah pergi menuju rumah orang tua Rahman. Rumah dengan model jaman dulu, kaca-kaca yang berukuran besar dengan dua pintu nan tinggi menjulang sebagai pintu utamanya.
Walaupun begitu, rumah orang tua Rahman cukup luas dengan tanaman yang tumbuh di setiap penjuru rumah. Ini juga yang Ayu suka, indah dan segar dipandang mata. Wanita cantik berhijab itu suka jika berlama-lama di rumah mertuanya.
"Kalian kok baru datang?" tanya Ambu--ibunya Rahmah.
Ayu menyalami dan memeluk Ambu, lalu giliran Rahman yang mencium punggung tangan ibunya.
"Iya, Ambu. Maaf telat, tadi agak macet di jalan. Ambu sehat?" tanya Rahman dengan senyum khasnya.
"Sehat, kalian bagaimana?" tanya Ambu sembari menarik Ayu untuk masuk rumah yang diikuti Rahman.
"Alhamdulullah, sehat, Ambu. Ini Ayu bawakan obat untuk Ambu dan manggis kesukaan Abah," tutur Ayu sembari memberikan bingkisan dengan plastik berwarna putih.
Ambu tersenyum seraya mengusap jilbab yang Ayu kenakan.
"Padahal enggak usah bawa obat lagi. Pasti mahal, kan? Ambu gak masalah minum obat biasa dari apotek saja," timpal Ambu, tak enak hati.Ayu menggenggam tangan sang mertua dengan lembut, diusapnya dengan ibu jari yang membuat keduanya semakin terlihat akrab.
Pemandangan itu menyejukkan hati Rahman.Untuk sesaat lelaki itu lupa akan Sari. Wanita kedua yang berhasil singgah di sebagian hatinya. Kadang, rasa bersalah menghantui. Namun, sisi egois Rahman selalu saja menang.
Dia tak tahu bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Sari. Yang pasti, Rahman tidak mau sampai Ayu tahu kelakuan bejadnya.
"Kaki Ambu kan sering sakit. Kalau pakai obat dari apotek kan hanya pereda. Ini obat langsung dari dokternya. Ambu minum, ya. Nanti kalau habis, telepon Ayu saja. Biar Ayu kirim lewat ekspedisi," papar Ayu, lalu membawa buah manggis ke dapur untuk dihidangkan.
Ambu sering merasakan sakit di kaki. Itu karena dulu pernah jatuh dari motor. Karena usia yang menua, kadang sakit kakinya sering kambuh dan membuatnya tak bisa berjalan terlalu jauh.
Kalau pun harus berjalan dengan jarak yang lumayan, harus ditemani atau menggunakan tongkat. Pernah Ambu diurut, tapi tetap saja kambuh. Itu karena faktor usia yang tidak bisa dicegah.
Ayu datang dengan buah manggis dan air yang mengisi nampan berwarna cokelat. Dia letakkan di meja tamu, di mana ada Rahman dan Ambu.
"Rafli dan Abah di mana?" tanya Rahman mencari sosok dua lelaki berbeda usia itu.
"Aku lihat lagi kasih makan ikan di belakang," jawab Ayu yang diangguki Rahman.
Ayu kembali mendekati Ambu dan mulai berbincang ria. Sedangkan Rahman memilih menyusul anaknya dan Abah. Sekalian melihat-lihat suasan rumah yang hanya bisa dilihatnya sebulan sekali.
***
"Kamu beruntung dapetin Ayu, Nak," ucap Abah tiba-tiba.
Saat ini, mereka tengah bercengkeraman di ruang keluarga. Ayu, Ambu dan Rafli tengah asyik mengobrol sambil menonton acara kesukaan Rafli di TV. Kadang, gelak tawa menghiasi ketiganya.
Ayu tengah memijat kaki Ambu saat Rafli terus saja bercerita tentang acara kesukaannya. Semua itu tak luput dari pengawasan Rahman dan Abah.
"Tidak mudah mendapatkan menantu sebaik Ayu." Abah menatap Ambu yang tersenyum merekah, sedangkan Rahman hanya diam mendengarkan.
"Ambumu serasa mempunyai anak perempuan. Ayu sangat pengertian, bahkan tidak perhitungan pada kita, Nak. Kita memang tidak tahu isi hati manusia, tapi Abah melihat ketulusan dari tatapan dan perilaku Ayu pada kami," papar Abah yang disetujui oleh Rahman.
Lelaki dengan wajah tampan itu menatap istrinya lama. Semua yang dikatakan Abah benar. Ayu baik, bahkan terlalu baik. Bukan hanya padanya atau kedua orang tuanya. Tetapi, kepada adiknya--Azam.
Sebenarnya, usia Azam lebih tua 2 tahun dari Ayu. Dan Rahman sendiri selisih 5 tahun dengan Ayu. Istrinya dengan mudah memberikan bantuan Azam untuk kuliah.
Awalnya Azam menolak, tapi Ayu bersikukuh menyekolahkannya sampai sekarang, tengah menempuh S2. Ayu adalah anak pengusaha ternama dan terpandang di kotannya.
Awal pertemuannya yakni saat Rahman menyelamatkan Rudi--Ayah Ayu--yang saat itu kecopetan.Rudi tengah melakukan perjanjian bertemu dengan rekannya. Karena pertemuan tak formal, Rudi sengaja datang sendiri tanpa sopir atau pengawal. Namun, diperjalanan dia dihadang oleh dua orang berkedok yang ternyata copet.
Saat itu, Rahman yang hendak berangkat kerja pun menolong Rudi. Bersyukur, keberuntungan berpihak pada Rahman.
Sejak itulah, Rudi mulai akrab dengan Rahman. Rudi ingin memberikan imbalan pada Rahman, tapi ditolak. Bahkan ditawarkan jabatan pun Rahman menolaknya.
Rahman ingin mencapai karirnya dengan usaha sendiri. Melihat kepribadian Rahman, Rudi pun sengaja mendekatkan Ayu--anak semata wayangnya--pada Rahman.
Gayung bersambut, Rahman jatuh hati pada Ayu. Begitupun sebaliknya, hingga terjadilah pernikahan. Rahman merasa beruntung mendapatkan Ayu. Dia merasa menjadi laki-laki beruntung.
Namun, tiga bulan terakhir semua seolah mengikis. Entah karena bosan atau ada hal lain yang membuatnya berpaling dari wanita itu. Rahman tak tahu bagaimana reaksi Ayu jika tahu hubungannya dengan Sari, yang pasti lelaki itu hanya bisa menjalani keduanya saat ini.
"Man!" seru Abah, menyadarkan Rahman.
"Iya, Bah?" Rahman tampak bingung melihat raut wajah Abah.
"Kamu dipanggilin diam saja. Apa yang dipikirkan?" tanya Abah dengan raut wajah penasaran.
Rahman mengusap tengkuk sembari terkekeh. "Gak ada, Bah. Hanya masalah pekerjaan saja," jawab Rahman beralasan.
Abah mmenggelengkan kepala. "Jangan terlalu mikirin kerjaan. Keluarga lebih penting, Man. Waktu berharga seperti ini jarang, kan?"
Rahman hanya mengangguk patuh. Lalu, panggilan untuk makan dari Ayu menghentikan obrolan mereka.
***
"Mas, aku hamil."
Tubuh Rahman menegang di tempat. Tatapannya tiba-tiba menggelap hingga terduduk lemah di kursi kamarnya. Lelaki itu menatap layar ponsel tanpa berkedip.
Jantungnya seolah dilempari batu runcing. Berat dan sakit. Keringat dingin sudah membasahi pelipis. Mata Rahman melihat sekeliling kamar. Tangannya bergetar menekan tombol 'hapus' di layar ponselnya.
Ini racun. Tiga kalimat itu harus dimusnahkan sebelum Ayu tahu. Walaupun Ayu jarang mengecek ponselnya, tapi kali ini ketakutan begitu menderanya.
Suara dering ponsel mengagetkan Rahman sampai tak sengaja membuat benda pipih itu jatuh. Suara nyaring dari ponselnya mengundang kepanikan Ayu yang tengah berada di kamar mandi.
Wanita itu langsung keluar dengan jubah mandi yang melekat di tubuh.
"Ya Allah, Mas. Suara apa itu? Kok nyaring sampe kedengaran ke kamar mandi?" tanya Ayu dari ambang pintu kamar mandi.Rahman tampak gugup, dia tak langsung menjawab. Matanya malah menatap wajah Ayu yang kebingungan. Merasa aneh, Ayu langsung menghampiri Rahman.
Namun sebelum itu, mata tertuju pada benda pipih berwarna hitam yang tergeletak di lantai. Refleks Ayu memungutnya.
Rahman yang melihat itu berwajah pucat. Bagaimana kalau Sari telepon lagi dan Ayu mengangkatnya?
Wanita dengan kulit putih itu mengernyit. "Mas, HP kamu rusak? Kok gak nyala?" tanya Ayu membuat Rahman terperanjat.
Dengan cepat lelaki itu meraih ponselnya dan mencoba menghidupkannya. Lalu, embusan napas lega pun terdengar.
"Mas, kenapa?"
"Eng-engak, Ma. Kayaknya benar HP Mas rusak. Nanti Mas coba servis sepulang dari sini," jawab Rahman, sambil tersenyum.
Dalam hati Rahman terus berucap syukur. Kalau saja ponselnya tidak terjatuh, maka tidak menutup kemungkinan semua terbongkar.
"Em, benar tidak apa-apa, Mas? Kerjaan kamu gimana?" tanya Ayu, menyadarkan Rahman.
Rahman menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. "Aku pinjam HPmu dulu ya, Ma."
Sari hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Setelah itu, Rahman melenggang pergi untuk membersihkan diri. Dia melupakan satu masalah yang akan berujung tragedi.
Di tempat lain, Sari tengah uring-uringan karena nomor Rahman tak bisa dihubungi. Kepergian Rahman saja membuatnya kesal, bertambah saat lelaki itu tak juga ada kabar.
Harusnya dia memberitahukan kehamilannya lebih awal, agar mencegah kepergian Rahman. Tetapi, karena Rafli dan Ayu, rencananya gagal.
"Gak, ini gak bisa dibiarin. Apa pun yang terjadi, kamu harus nikahin aku, Mas!"
Rahman mengguyar rambutnya, frustasi. Otaknya masih merekam jelas pesan dari Sari. Ingin membalas, tapi ponselnya mati total.Matanya melirik Ayu yang sudah pulas di pembaringan. Wajah cantiknya tampak teduh dan menenangkan. Sebenarnya, Ayu lebih cantik dari Sari.Bukan hanya karena terlahir dengan paras memikat saja, tapi ada cahaya di wajahnya. Mungkin sebab air wudhu. Karena, setahu Rahman, Ayu jarang menggunakan make up, hanya perawatan wajah yang dipakai oleh perempuan pada umumnya.Berbeda dengan Sari. Wanita janda itu selalu memakai pakaian yang ketat, berbanding terbalik dengan Ayu yang memakai jilbab. Sari juga selalu ber-make-up, hingga terlihat lebih menggoda dibanding Ayu. Mungkin itulah yang menyebabkan Rahman mendua.Dia pun tak tahu, yang pasti hatinya sudah terpaut sebagian oleh Sari. Awalnya, tak terpikir akan sejauh ini. Coba-coba bermain api, hingga lupa sudah menghanguskan bahtera rumah tangga sedikit demi sedikit.Sekarang, Sari hamil. Entah itu benar atau tidak.
"Sudah semua, Mas?" tanya Ayu, sembari memasukan baju terakhir ke ransel milik suaminya.Rahman yang tengah mengecek ponsel pun menoleh sebentar, lalu tersenyum."Kalau gitu, aku siapkan sarapan dulu. Sesudah sarapan Mas baru berangkat, ya?" Wanita berjilbab itu langsung keluar kamar tanpa menunggu jawaban suaminya.Rahman mengikuti langkah Ayu sampai bibir pintu. Kepalanya menyembul sedikit untuk melihat situasi. Setelah dirasa aman, si laki-laki bergegas menutup pintu dan kembali berjalan mendekati jendela kamar. Dia harus mencari tempat aman, setidaknya agar tak ada yang mendengar percakapannya.Rahman memijat kontak Sari, lalu dipilihnya tombol hijau. Tak perlu menunggu lama sampai nada sambung berbunyi. Rahman mengawasi pintu kamar, bisa saja Ayu atau anaknya masuk.Tak berapa lama, terdengar suara dari seberang. Ya, suara yang membuatnya tersiksa karena penasaran."Halo, Mas?" Suara Sari memenuhi gendang telinga. Dari nadanya terdengar begitu antusias."Halo, Sari. Aku akan mene
"Sari, buka pintunya!" seru Rahman dengan tangan yang terus mengetuk pintu rumah.Laki-laki itu sedari tadi mengawasi keadaan sekitar. Takut, jika tetangganya ada yang melihat. Terlebih, kemarin Ayu bilang jika pernah melihat laki-laki masuk ke rumah ini. Yang dimaksud pasti dirinya sendiri.Rahman menengok kaca yang tertutup tirai transparan. Dia sudah tak sabar menunggu Sari membuka pintu. Kembali, matanya mengawasi sekeliling rumah Sari yang hanya dikelilingi pagar bambu."Duh, ke masa sih, dia? Sudah dibilang diam di rumah," rutuk Rahman, mulai berdiri tak tenang.Tangannya hendak mengetuk pintu lagi, tapi diurungkan saat knop pintu dibuka."Kamu lama sekali. Ya Tuhan!" Mata Rahman langsung melotot. Dia pun mendorong Sari untuk masuk.Secepat kilat menutup pintu rumah Sari, tapi sebelumnya mengecek keadaan sekitar yang dirasa aman. Rahman mundur beberapa langkah sembari memindai Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki."Apa yang kamu lakukan?" tanya Rahman, bingung.Sari mengedip
Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang."Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum."Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman s
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
"Pertama, mobil dan harta lainnya harus balik nama Rafli. Nikahi Sari, karena bagaimanapun ada anak yang harus kamu akui, tapi cukup kita saja yang tahu pernikahan ini. Ketiga, biarkan Sari tinggal di rumah ini selama dia hamil. Sari tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kamu hanya boleh memegang 30 % gajimu, itu termasuk nafkah untuk Sari nanti. Setelah Sari lahiran, pergilah bersamanya keluar dari rumah ini, tanpa membawa apa pun," papar Ayu mengajukan syarat.Rahman melongo mendengar pemaparan Ayu. Hatinya dirundung gundah. Syarat Ayu terlalu menakutinya. Takut, jika semua akan hilang dari Rahman. Bukan hanya kasih sayang dan cinta, tapi harta. Apalagi harus tinggal bersama Sari. Bukan ini yang Rahman harapkan."Kamu mau dimadu?" tanya Rahman, hati-hati.Ayu menatap tajam suaminya. Tidak, tentu saja Ayu akan mengatakan itu. Wanita mana yang mau berbagi suami? Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu."Sampai mati pun aku gak ikhlas, Mas! Kamu tahu? Aku lakukan ini demi nam
POV Ayu"Sah?""Sah!"Dadaku bergetar hebat menahan sakit yang tak berperi. Aku lemah, sungguh. Menatap Mas Rahman yang tengah bersanding dengan tetanggaku sendiri. Jika bisa, aku ingin menghilang ke suatu tempat yang sepi dan luas, berteriak sekancang mungkin atau memukul apa saja yang jadi pelampiasan.Namun semua kutahan, demi kehormatan keluarga kami, pun untuk membeli pelajaran pada dua biadab itu. Ijab kabul dilakukan malam hari, dengan Pak RT dan Pak RW sebagai saksi. Ditambah istri dari kedua aparat tempat tinggal kami.Untunglah, saudara Ibu Sri adalah seorang penghulu. Jadi, dengan mudah semua berjalan lancar. Bukankah Tuhan adil? Rencanaku bahkan berjalan mulus tanpa diduga."Maaf sebelumnya, Mbak. Pernikahan ini harus diulang saat nanti Mbak Sari usai melahirkan. Karena, nanti jatuhnya zina. Memang, ada beberapa ulama yang menyatakan sah dengan pernikahan seperti ini. Pak Rahman juga dilarang menyentuh Mbak Sari selama sembilan bulan ke depan."Mas Rahman tersentak, bisa k