Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan dahi mengernyit, menatap Rahman dan Sari bergantian. Di belakangnya, ada wanita yang juga paruh baya dengan jilbab rapi, tampak lebih tenang.
"Siapa yang hamil?" ulang wanita tambun bernama Ibu Sri. Dia adalah Ibu RT di sana.
Jakun Rahman naik turun. Keringat dingin tampak bermunculan di dahi laki-laki itu. Sama halnya dengan Sari, wajahnya sudah pucat dengan tangan gemetar membenarkan baju mini yang dia kenakan.
Tak mendapat jawaban dari kedua orang itu, Ibu Sri menoleh pada wanita di belakangnya, yang ternyata Ibu RW bernama Arum.
"Bagaimana ini, Bu Arum? Sepertinya, mereka yang diperbincangkan oleh ibu-ibu selama ini," ujar Ibu Sri, lalu kembali menatap kedua orang itu.
Rahman tak berkutik. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan dan kaki Rahman seolah membatu.
Berbeda dengan Sari. Dia tersadar akan situasi dan ide gila pun muncul di benaknya. Jika Rahman tak mau tanggung jawab, maka melalui kedua wanita itu dia akan mendapatkan Rahman seutuhnya.
"B-Bu, iya. Saya hamil oleh Pak Rahman," ucap Sari tiba-tiba membuat jantung Rahman serasa copot. Mata laki-laki itu melotot, marah. Rahangnya mengetat dengan gigi bergemeletuk.
Suara istigfar terdengar dari dua wanita di ambang pintu itu. Tanpa meminta izin, mereka masuk ke rumah Sari.
"Jadi, benar. Kamu sering memasukkan laki-laki ke rumah, Sari?" Wajah Ibu Sri tampak garang. Dia menatap Sari dengan tak suka.
Wanita tambun itu sudah punya firasat jika janda seperti Sari akan membawa petaka untuk warganya. Tetapi, dia juga tak ada hak untuk mengusir tanpa alasan.
Tatapan Ibu Sri beralih pada Rahman yang terlihat menahan amarah pada Sari.
"Pak Rahman. Saya juga tidak menyangka. Apa yang kurang dengan Bu Ayu? Saya rasa, dia wanita yang lebih baik berkali lipat dari Sari," ujar Ibu Sri menyentak kesadaran Rahman. Laki-laki itu refleks menunduk.
Sari yang tak terima dengan ujaran Bu RT pun hanya mendelik, sebal. Pandangannya beralih pada Ibu Arum yang setia diam. Mungkin jika meminta tolong pada wanita berjilbab itu, dia akan mendapat dukungan.
"Bu RW, tolong saya. Pak Rahmn tidak mau tanggung jawab." Sari memegang sebelah tangan Ibu Arum yang menatap bingung.
"Sari!" geram Rahman mulai emosi.
Sari tak mempedulikan Rahman. Dia mau laki-laki itu jadi miliknya, apa pun yang terjadi. Sari yakin, kejadian ini mau tidak mau mendorong Rahman menikahinya.
"Pak Rahman, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur. Apa benar selama ini Pak Rahman berhubungan dengan Sari?" tanya Ibu Arum, terlihat bijak dan tenang.
Tubuh Rahman terasa disengat. Apa yang harus dia katakan? Jika jujur, bagaimana dengan Ayu? Lalu, apakah dia akan dijerat karena tertangkap basah? Semua itu seolah terus meneror pikirannya.
"Pak, kami tidak bisa mentolerir kebohongan. Apalagi itu artinya Bapak dan Sari sudah berbuat zina di lingkungan ini," ujar Ibu Arum, pelan tapi sarkas.
"Dan, kalau itu benar maka kami akan mengusir kalian," tambah Ibu Sri membuat wajah Sari pucat.
Rahman sudah ketakutan. Ini kehancuran nyata baginya. Semua kebusukannya terkuak dengan mudah di depan RT dan RW langsung. Inikah balasan yang memalukan untuk Rahman?
"Mas! Aku tidak mau diusir! Ini rumah peninggalan orang tuaku. Kamu harus tanggung jawab!" jerit Sari, frustasi.
Rahman tak berkutik. Dia seperti terjatuh dalam lubang hitam yang dalam, tak berdasar dan sepi. Dua wanita paruh baya itu menatapnya dengan pandangan berbeda. Ada tatapan jijik dari Ibu RT dan tatapan sinis dari Ibu RW.
"Katakan sesuatu, Pak Rahman. Jangan sampai kami mengambil tindakan dengan menikahkan kalian secara paksa," ancam Ibu Sri, geram.
Awalnya, Ibu RT dan Ibu RW tengah berjalan bersama, hendak menghadiri acara PKK. Tetapi, di tengah perjalanan, mereka mendengar jeritan dan suara gaduh dari rumah Sari. Takut terjadi sesuatu, mereka pun bergegas menghampiri rumah janda itu.
Namun, belum juga mengetuk pintu, suara dua orang yang tengah cekcok sangat jelas terdengar. Karena takut terjadi sesuatu, Ibu Sri berinisiatif membuka pintu rumah Sari, hingga mereka menemukan fakta yang membuat keduanya terus beristigfar.
"Mas, kamu harus tanggung jawab! Kalau tidak, aku akan usut masalah ini ke pihak berwajib!" ancam Sari pada akhirnya.
Dia kesal karena Rahman tak juga bersuara sedari tadi. Ibu RT dan Ibu RW saling pandang. Mereka menunggu jawaban dari Rahman.
Laki-laki itu sudah tersudut. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Menikahi Sari bukan kemauannya. Rahman masih waras untuk memilih mana wanita yang bisa dijadikan pendamping hidup. Dan itu hanya dia temukan di diri Ayu.
Saat tiga wanita tengah menunggu jawabannya. Terlihat dari balik jendela rumah, sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah Rahman. Seketika jantung laki-laki itu bertalu-talu, kakalutan dan ketakutan semakin menjadi di hatinya.
Tiga wanita itu pun mengikuti arah pandang Rahman. Lalu, seringai Sari muncul saat tahu siapa yang keluar dari taksi itu.
"Baiklah, Mas. Jika kamu tetap bungkam, aku akan beri tahu istrimu apa yang terjadi di antara kita. Kalau perlu, Ibu RT dan Ibu RW yang akan jadi saksinya!" seru Sari membuat keputusan.
Mata Rahman langsung membulat sempurna. Sedangakn dua wanita paruh baya itu hanya diam menyaksikan apa yang akan dilakukan Sari. Tamatlah riwayat Rahman.
Secepat kilat Sari masuk ke kamar, mengambil jaket untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang terbuka. Tanpa membuang waktu, Sari berlari keluar tanpa menghiraukan tiga orang yang ada di rumahnya.Rahman yang ketakutan pun bergegas mengikuti langkah Sari, disusul oleh Ibu RT dan Ibu RW."Mbak Ayu!" seru Sari dari arah pagar rumahnya, menghentikan wanita berjilbab yang hendak membuka gerbang rumah.Ayu sontak membalikkan badan dan terheran-heran melihat tetangga sebelahnya berlari tergopoh-gopoh. Wanita itu semakin mengernyit bingung kala Rahman keluar dari rumah Sari."Mbak, aku perlu bicara," ucap Sari menggenggam tangan Ayu erat. Rahman yang baru sampai pun bergegas merangkul pundak istrinya."Ma, jangan dengarkan dia! Ayo kita masuk saja," ajak Rahman kelabakan. Dia memaksa Ayu membalikkan badan, tapi cekalan Sari makin erat."Gak, Mbak. Dengerin aku dulu, ini penting!" seru Sari tak mau kalah.Rahman menatap tajam pada Sari, tapi tak digubris. Laki-laki itu bersikukuh mengajak Ayu m
"Sayang, buka pintunya!" seru Rahman, menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.Sepulang Ibu RT, Ibu RW dan Sari, Ayu terus mengurung diri di kamarnya. Penampilan berantakan dan rasa laparnya tak dipedulikan laki-laki itu. Dia harus bicara dengan Sari, harus.Dada Rahman sakit. Tentu saja, sakit karena kejadian sudah terjadi pada Ayu, istrinya. Perubahan Ayu yang baru beberapa jam membuatnya frustasi. Bagaimana kalau Ayu berubah selamanya?Di kamar, wanita bermata indah itu hanya diam menatap pantulan diri di cermin meja rias. Air matanya terus mengalir meski tak ada isakan. Kehidupan rumah tangga yang sangat manis selama ini ternyata menyimpan duri yang tajam.Jangan tanya hatinya. Sudah pasti terluka. Suami yang disangka baik dan setia, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan. Ayu menangkup wajahnya, kali ini isakan kepiluan keluar dari mulut itu.Betapa hancurnya dirinya mengingat video tak senonoh di ponsel Sari. Dengan jelas pemain adegan itu adalah Rahman. Hidupnya terjatuh
"Pertama, mobil dan harta lainnya harus balik nama Rafli. Nikahi Sari, karena bagaimanapun ada anak yang harus kamu akui, tapi cukup kita saja yang tahu pernikahan ini. Ketiga, biarkan Sari tinggal di rumah ini selama dia hamil. Sari tidak boleh keluar rumah tanpa izinku. Kamu hanya boleh memegang 30 % gajimu, itu termasuk nafkah untuk Sari nanti. Setelah Sari lahiran, pergilah bersamanya keluar dari rumah ini, tanpa membawa apa pun," papar Ayu mengajukan syarat.Rahman melongo mendengar pemaparan Ayu. Hatinya dirundung gundah. Syarat Ayu terlalu menakutinya. Takut, jika semua akan hilang dari Rahman. Bukan hanya kasih sayang dan cinta, tapi harta. Apalagi harus tinggal bersama Sari. Bukan ini yang Rahman harapkan."Kamu mau dimadu?" tanya Rahman, hati-hati.Ayu menatap tajam suaminya. Tidak, tentu saja Ayu akan mengatakan itu. Wanita mana yang mau berbagi suami? Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu."Sampai mati pun aku gak ikhlas, Mas! Kamu tahu? Aku lakukan ini demi nam
POV Ayu"Sah?""Sah!"Dadaku bergetar hebat menahan sakit yang tak berperi. Aku lemah, sungguh. Menatap Mas Rahman yang tengah bersanding dengan tetanggaku sendiri. Jika bisa, aku ingin menghilang ke suatu tempat yang sepi dan luas, berteriak sekancang mungkin atau memukul apa saja yang jadi pelampiasan.Namun semua kutahan, demi kehormatan keluarga kami, pun untuk membeli pelajaran pada dua biadab itu. Ijab kabul dilakukan malam hari, dengan Pak RT dan Pak RW sebagai saksi. Ditambah istri dari kedua aparat tempat tinggal kami.Untunglah, saudara Ibu Sri adalah seorang penghulu. Jadi, dengan mudah semua berjalan lancar. Bukankah Tuhan adil? Rencanaku bahkan berjalan mulus tanpa diduga."Maaf sebelumnya, Mbak. Pernikahan ini harus diulang saat nanti Mbak Sari usai melahirkan. Karena, nanti jatuhnya zina. Memang, ada beberapa ulama yang menyatakan sah dengan pernikahan seperti ini. Pak Rahman juga dilarang menyentuh Mbak Sari selama sembilan bulan ke depan."Mas Rahman tersentak, bisa k
PoV AyuAku terbangun di tengah malam. Rasa haus amat mengganggu. Dengan tubuh yang masih terasa lelah, kupaksakan bangkit. Sempat kulirik Mas Rahman yang tertidur memeluk guling. Rasa tak tega menyusup relung hati.Biasanya laki-laki itu akan memelukku sepanjang malam. Kebiasaan sedari menikah. Namun, bayangam video tak pantas itu seolah menghapus kenangan manisnya dalam sekejap.Aku bergegas melangkahkan kaki menuju dapur. Akan tetapi, langkahku terhenti saat kudengar suara berisik dari arah ruang tengah. Dadaku berdegup kencang. Gemetar, tubuh ini ketakutan. Bagaimana jika itu maling?Rasa haus yang mendera menguap begitu saja. Aku tetap ke dapur, tapi bukan untuk minum, melainkan mencari sapu atau apa pun yang bisa dijadikan senjata.Bisa saja aku membangunkan Mas Rahman, tetapi bagaimana kalau si penyusup itu lebih dulu menjarah harta benda dan kabur?Dengan langkah mengendap-endap aku mencoba menghampiri sumber suara. Ruang keluarga yang gelap membuatku kesulitan untuk melihat.
PoV Ayu"Kalian saling kenal?" tanyaku pada Azam dan Sari bergantian. Sari masih terlihat kaget. Sama halnya dengan Azam. Sedangkan, Ambu dan Abah menatap penampilan Sari dari atas sampai bawah."Kamu tinggal di sini?" tanya Azam, tak menghiraukan pertanyaanku. Mungkin dia masih penasaran dengan adanya Sari di rumah ini."A-aku permisi dulu, mau beli sarapan," ujar Sari tak menjawab, dia malah bergegas pergi ke luar rumah.Gerak-geriknya membuatku curiga. Bagaimana tidak? Wanita yang terlalu berani, bahkan untuk mencuri pun nekat, tiba-tiba saja terlihat ketakutan di depan Azam. Ada apa dengan mereka?Mata Azam mengikuti langkah Sari hingga hilang di balik pintu. Aku hendak bertanya perihal Sari padanya, tapi diurungkan karena kedatangan Mas Rahman.Mas Rahman menyambut orang tuanya, senang. Dia berlaku seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun membiarkan saja. Ini bukan berarti aku memaafkannya, hanya saja semua demi mertuaku juga. Aku tidak mau mereka sedih atau marah. Belum waktunya me
PoV Author"Kamu sedang apa di sini?" tanya Azam tiba-tiba, saat Sari hendak ke dapur.Sari kaget, dia langsung menoleh ke arah sekitar. Takut ada orang yang mendengar. Dengan cepat, Sari menarik tangan Azam hingga mereka sampai di dekat kolam renang."Apa yang kamu lakukan? Lepas!" sentak Azam membuat Sari langsung melepaskan tangan Azam.Azam yang terkenal kalem dan lemah lembut, seketika berubah sinis. Tatapan tajam pun dia berikan pada Sari."Jawab pertanyaanku, sedang apa kamu di rumah kakak iparku?" tanya Azam sekali lagi, kali ini dengan menyelidik. Wajah Sari tampak pucat dan bingung. Bagaimana tidak? Dia bertemu dengan mantan pacarnya yang pernah diselingkuhi. Sampai Sari menikah dengan selingkuhannya yang tidak lain adalah mantan suaminya juga temannya Azam.Yang membuat Sari takut adalah, jika Azam menceritakan masa lalunya pada Rahman. Dia tidak mungkin menjawab jika statusnya seorang istri muda. Bisa gawat berkali-kali lipat. Hidupnya saja sudah sengsara karena permainan
"Man, yang bener kalau nyari pembantu itu!" seru Ambu, tiba-tiba keluar dari dapur.Rahman yang sedang main catur bersama Abah pun sontak menoleh. Abah juga tak luput menatap istrinya."Emangnya kenapa, Bu?" Kali ini malah Abah yang bertanya.Ambu berdecak sembari duduk di antara dua lelakinya. "Masa pembantu pakaiannya kayak wanita murahan!" cecar Ambu membuat Abah terkekeh.Dari arah dapur, Sari mendengar dengan jelas cecaran ibu mertuanya. Ingin Sari mencacah Ambu seperti sayuran yang sedang dia olah. Semua mertua sama saja, bikin sakit hati. Itu yang ada dalam pikiran Sari."Loh, Bah. Jangan senyam-senyum sembarangan! Wanita kayak gitu bisa merusak rumah tangga tahu!" hardik Ambu membuat Rahman tersentak.Kata-kata ibunya amat tepat sasaran. Rahman memilih diam dan hanya mendengarkan."Kamu nemu dia dari mana, sih?" tanya Ambu, sarkas.Sari meremas-remas beras yang akan dia cuci. Benar-benar bikin kesal sampai ubun-ubun. Kalau Rahman menurut pada Sari, sudah dibuat susah ibu mert