Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Cepetan!” bentak lelaki bertato kalajengking. “Jangan lelet!” Ditariknya tangan Seruni dengan kasar. Keduanya baru saja tiba di Ramayana Hotel untuk menemui pelanggan yang telah memesan gadis itu.Wajah Seruni tertekuk-tekuk. Di bawah temaram lampu halaman hotel, ia berjalan tersuruk-suruk. High heels setinggi sepuluh sentimeter membuatnya seperti akan jatuh terjerembab setiap menapak tanah beralas rumput. Bayangan Bapak dan Ibu yang menjejali kepala semakin memberatkan langkah Seruni.Bapak, Ibu, maafkan Seruni. Gadis bertubuh semampai itu meratap dalam hati. Andai mereka masih hidup, pasti nasibnya tidak akan seburuk ini, dijual paman sendiri demi menebus utang akibat kalah di meja judi. Setelah berhasil kabur dari pemilik prostitusi online berkedok rumah indekos di Semarang, Seruni justru terperangkap jaringan lain yang lebih besar dan kuat di Yogyakarta.Langkah si tato kalajengking terhenti di depan pintu masuk. Di hadapan satpam, ia memasang senyum ramah. Setelah menyebut nomor
“Bikin celaka orang. Untung saya nggak mati kejedot batu!” semburnya tanpa menatap Seruni. Kedua tangannya sibuk mengibaskan jas, menghilangkan debu dan rumput kering yang menempel.Menyadari posisinya yang bisa membuat otak laki-laki travelling, Seruni segera berdiri dan membungkuk. “Ma-maaf, Pak. Saya nggak sengaja. Saya dikejar orang.” Gadis berkulit cokelat terang itu kembali menengok ke belakang.Bram mendengkus. Setelah memakai kembali jasnya, ia meneruskan langkahnya menuju tempat parkir. Masih ada satu agenda lagi yang harus segera diselesaikan.Sepeninggal Bram, Seruni terdiam sesaat. Dengan keadaannya saat ini, tidak mungkin ia keluar hotel. Alih-alih selamat, bisa jadi ia malah jadi santapan macan kota. Dilihatnya punggung Bram dan mendadak matanya berbinar. Ia segera berlari dan mengikuti langkah lelaki itu.Tepat ketika Bram menekan kunci otomatis, Seruni mendekati pintu. Tanpa permisi, ia membukanya dan masuk ke Honda Accord silver milik Bram.“Lho, lho, apa-apaan ini? M
“Ayo, turun!” seru Bram sedikit kesal.Seruni mengusap wajah. Ia memutuskan mengikuti perintah Bram. Jika laki-laki itu akan berbuat macam-macam, ia akan melawan sampai titik darah penghabisan. Biarlah ia mati ketimbang hidup sebagai manusia hina. Bapak dan Ibu pasti akan menyambutnya di surga karena ia mati demi mempertahankan harga diri.“Hotel La Luna.” Seruni mengeja nama yang tertulis di dinding bangunan bergaya Eropa itu. Jadi nasibnya akan berakhir di sini. “Bapak, Ibu, tunggu aku,” batinnya sendu.Seruni menatap heran lelaki yang berjalan cepat di depannya ketika semua karyawan menyapa dan mengangguk hormat padanya. Hatinya diliputi tanda tanya. Sebenarnya, siapa manusia yang selalu tampak galak itu?Tubuh Seruni mendadak kaku ketika Bram berhenti di depan kamar di lantai empat.“Masuk!” Dengan dagunya, Bram memberi isyarat agar Seruni segera masuk ke kamar.“Bapak mau apa? Kalau hanya karena baju ini saya harus melayani Bapak, saya tidak sudi!”“Astaga!” Bram melirik Rolex di
“Permisi. Ada pesanan makan untuk Anda.”Pesanan makan? Belum sempat otak Seruni mencerna, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seruni mundur selangkah hingga pintu terbuka dan dilihatnya pegawai hotel berdiri di depan kamar dengan nampan di tangan.“Pesanan makanan untuk Anda, Mbak.” Pegawai itu tersenyum meski pandangannya menelisik. Wajah lusuh Seruni mengusik pikiran.Tatapan heran Seruni menyapu wajah pegawai hotel. “Saya tidak pernah pesan apa pun. Sepertinya Anda salah kamar.”Senyum belum tanggal dari bibir laki-laki muda itu. “Pak Bram yang memesan untuk Anda. Katanya Anda perlu makan malam.”“Makan malam?” Seruni bergumam. Ia bahkan tak merasa lapar. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kalau belum makan sejak siang. Sebelum dibawa si tato kalajengking, Seruni hanya minum air putih. Nafsu makannya hilang setiap kali mengingat nasibnya. Kata makan malam yang diucapkan pegawai hotel mendadak membuat perutnya menyanyikan lagu rock.“Silakan, Mbak.” Petugas itu mengulurkan nampan. Wang
Kepala Seruni masih tertunduk. Ia mendongak ketika lift berhenti dan pintunya terbuka. Dibiarkannya Bram menarik tangannya.Raut muka Bram seketika berubah masam ketika melihat resepsionis dan satpam yang tersenyum penuh arti saat melihatnya. Setelah ini ia harus bersiap menghadapi gosip yang akan menyebar cepat di antara karyawan.“Berapa nomor telepon orangtuamu? Besok pagi saya telepon mereka.”“Orangtua saya sudah meninggal, Pak.” Seruni menjawab tanpa melihat Bram demi menyembunyikan embun di matanya.Kaki Bram yang akan menekan pedal gas tertahan. Ia menoleh dan menatap Seruni yang menunduk hingga wajahnya tertutup sebagian rambutnya. Lantas, tanpa menanggapi ucapan Seruni, ia melajukan mobil. Otaknya sudah tidak mampu bekerja. Biarlah Seruni tinggal semalam di rumahnya.Di samping Bram, Seruni duduk dengan tegang. Ia berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Bagaimanapun juga, ia harus tetap waspada.Kantuk yang menyerang tubuh Seruni seakan terangkat ketika mobil memasuki hal