Kepala Seruni masih tertunduk. Ia mendongak ketika lift berhenti dan pintunya terbuka. Dibiarkannya Bram menarik tangannya.
Raut muka Bram seketika berubah masam ketika melihat resepsionis dan satpam yang tersenyum penuh arti saat melihatnya. Setelah ini ia harus bersiap menghadapi gosip yang akan menyebar cepat di antara karyawan.
“Berapa nomor telepon orangtuamu? Besok pagi saya telepon mereka.”
“Orangtua saya sudah meninggal, Pak.” Seruni menjawab tanpa melihat Bram demi menyembunyikan embun di matanya.
Kaki Bram yang akan menekan pedal gas tertahan. Ia menoleh dan menatap Seruni yang menunduk hingga wajahnya tertutup sebagian rambutnya. Lantas, tanpa menanggapi ucapan Seruni, ia melajukan mobil. Otaknya sudah tidak mampu bekerja. Biarlah Seruni tinggal semalam di rumahnya.
Di samping Bram, Seruni duduk dengan tegang. Ia berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Bagaimanapun juga, ia harus tetap waspada.
Kantuk yang menyerang tubuh Seruni seakan terangkat ketika mobil memasuki halaman rumah besar berarsitektur modern. Jantungnya kembali berdetak cepat dan dahinya berkeringat. Rumah si tato kalajengking yang menjebaknya di Stasiun Tugu masih belum tanggal dari ingatan.
Dengan dada berdebar, Seruni membuka pintu mobil. Dipandanginya halaman luas nan asri sembari memutar otak mencari jalan untuk kabur. Ia mulai khawatir kalau Bram adalah bagian dari sindikat si tato kalajengking.
Ketukan sepatu Bram memenuhi rongga telinga ketika mereka melewati beranda. Hati Seruni makin kebat-kebit ketika kakinya telah berada di ruang tamu. Jalan untuk lari hampir tidak ada.
Setelah mengunci pintu, Bram menarik lengan Seruni. “Ada kamar untuk tamu di bawah. Kamu bisa tidur di situ malam ini. Besok, aku antar cari kost.”
Seruni mengangguk tanpa suara kemudian mengikuti langkah kaki Bram melintasi ruang tamu yang diisi perabot minimalis tetapi mewah dan elegan. Mata Seruni menyipit ketika melihat seorang perempuan yang sepertinya sudah berumur menyambutnya di ruang tengah. Gadis itu bisa menangkap tatapan heran dan raut terkejut perempuan itu.
“Mbok Asih, tolong tunjukkan kamar buat mbaknya ini, ya.”
“Nggih, Mas.” Perempuan itu mengangguk sopan kemudian melempar senyum pada Seruni. Senyum yang berhasil meredakan debar di dada Seruni. Ia sedikit tenang. Rumah ini tampaknya berbeda dengan milik si tato kalajengking.
“Pinjamin baju Kanaya saja buat ganti. Saya belum sempat beliin baju tadi.”
Perempuan itu kembali mengiyakan perintah Bram. Dengan bibir melengkung, ia menggandeng lengan Seruni.
Setelah memastikan urusan Seruni tertangani dengan baik, Bram naik ke lantai dua. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk segera berpindah ke alam mimpi.
Sementara itu, jejak rasa khawatir yang masih tersisa di hati membuat Seruni begitu sulit memejamkan mata meski tubuhnya disergap letih dan penat. Ia merasa belum lama tertidur ketika terdengar ketukan pintu dan suara perempuan memanggil namanya.
Seruni bangkit. Diregangkannya tubuh sejenak sebelum melangkah ke pintu. Refleks ia tersenyum tatkala melihat Mbok Asih sudah berdiri di depan pintu.
“Ini baju ganti dan mukena, Non. Sebentar lagi subuh,” ujar Mbok Asih seraya mengulurkan setumpuk kain.
“Terima kasih, Mbok.” Seruni mengambil barang-barang di tangan perempuan itu.
“Simbok ada di dapur. Kalau mau minum, langsung ke dapur saja, Non.”
Seruni mengangguk kemudian menutup pintu setelah perempuan itu pergi. Usai salat Subuh membersihkan diri, ia memberanikan diri keluar kamar. Dihelanya napas dalam-dalam karena butuh waktu sekian menit untuk menemukan jalan ke dapur. Ia belum pernah tinggal di rumah seluas ini.
Langkah Seruni terhenti di balik dinding dapur ketika telinganya mendengar namanya disebut.
“Siapa yang tidur di kamar tamu, Mbok?”
“Non Seruni, temannya Mas Bram, Non.”
“Mas Bram pulang tengah malam dan bawa perempuan, Mbok?”
Sembari menarik napas dalam-dalam, Seruni merapatkan tubuh ke dinding. Ia menimbang-nimbang, apakah perlu muncul sekarang atau nanti menunggu Bram bangun. Bagaimana kalau istri Pak Bram mengira aku selingkuhannya? Pertanyaan yang muncul di kepala menggerakkan kaki Seruni untuk melangkah masuk ke dapur.
“Selamat pagi, Nyonya.” Seruni menatap Kanaya yang sedang memasukkan satu demi satu wortel ke dalam juicer. Hanya sekejap karena ia buru-buru menunduk saat kedua matanya bertubrukan dengan pandangan perempuan berkulit putih yang kelihatan segar dan terawat.
“Kamu Seruni?” Kanaya mengambil gelas penyimpan perasan wortel kemudian menuang isinya ke dalam gelas kaca setinggi sepuluh senti. Ditutupnya gelas setelah menambahkan perasan jeruk nipis.
Sementara itu, Mbok Asih sibuk memotong sayur dan bumbu hingga suara pisau beradu dengan talenan memenuhi udara.
“Benar, Nyonya. Mohon maaf saya menginap tanpa izin. Semalam Pak Bram menolong saya dan meminta saya menginap di sini. Tapi sumpah, saya dan Pak Bram tidak ada hubungan apa-apa. Sumpah demi Allah, saya bukan selingkuhan Pak Bram. Apalagi perempuan penggoda suami orang.”
Dengan kepala tertunduk, Seruni nyerocos. Jantungnya berdetak cepat, menanti jawaban Kanaya. Ia pernah mendengar cerita salah satu anak asuh si tato kalajengking yang sempat jadi simpanan pejabat. Hanya tiga tahun sebelum ketahuan istri sah dan diusir dari rumah pemberian si pejabat. Jangan sampai ia diusir karena dianggap perempuan simpanan Bram.
“Kalau bukan selingkuhan Mas Bram, siapa kamu? Kenapa tengah malam ada di hotel dan ikut pulang Mas Bram?” Bola mata hazel milik Kanaya memindai tubuh Seruni.
Tiba-tiba Seruni memangkas jarak dengan Kanaya lalu bersiumpuh di kaki perempuan itu. “Maaf, Nyonya, demi Allah, saya bukan selingkuhan Mas Bram. Tolong jangan usir saya.” Tangan Seruni memegang kaki Kanaya.
Tawa Kanaya nyaris pecah melihat sikap Seruni. Tak disangka gadis di depannya benar-benar ketakutan. Ia mundur hingga cengkeraman Seruni di kakinya terlepas kemudian mencuci tangan di wastafel. Dibiarkannya Seruni dengan posisi bersimpuh di lantai. Setelah mengelap tangan, ia memegang lengang gadis itu dan menariknya.
“Berdirilah. Tak pantas menyembah-nyembah begitu. Aku bukan Tuhan.”
“Tolong jangan usir saya, Nyonya.” Seruni tersekat di ujung kalimat. Kepalanya masih tertunduk hingga sebagian rambunya menutupinya. “Nanti siang, setelah Pak Bram bangun, saya pasti pamit dan nyari kosan.”
“Duduklah.” Kanaya membawa Seruni ke kursi dan mendudukkannya. “Sebenarnya siapa kamu dan kenapa bisa sampai ketemu Mas Bram?”
Seruni meremas ujung kemeja kemudian saling menautkan jari. Lidahnya sedikit kaku mengingat salah satu episode menyakitkan dalam hidupnya.
“Mbok, tolong buatkan Seruni teh, ya.” Kanaya menggeser kursi kemudian duduk di dekat Seruni. “Tolong antar jusnya ke kamar Mama.”
Duh, mati aku. Ternyata Pak Bram tinggal dengan ibunya. Biasanya nyonya besar lebih galak daripada nyonya muda. Seruni bergidik. Bayangan perempuan dengan bola mata nyaris terlepas karena amarah terpampang di depan mata, menyelusupkan rasa jeri di hatinya.
“Minum dulu.” Kanaya menepuk bahu Seruni.
“Te-terima kasih, Nyonya.” Seruni memberanikan diri mendongakkan kepala. Kini dilihatnya paras Kanaya berhias senyum tulus. Rasa takut di dadanya sedikit berkurang dan debar di dadanya mereda.
“Sekarang ceritakan siapa kamu,” ujar Kanaya setelah Seruni meneguk tehnya.
“Saya tidak sengaja sampai Jogja, Nyonya.” Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Seruni dari awal pelarian hingga terdampar bersama Bram di Hotel La Luna.Tatapan prihatin Kanaya menyapu wajah Seruni. “Aku pernah dengar tentang prostitusi online. Tapi baru kali ini ketemu orangnya.”“Sa-saya belum pernah melayani satu orang pun pria hidung belang.” Suara Seruni bergetar. Hatinya seperti dibanting ketika mendengar ucapan Kanaya.“Ehm, sorry. Bukan aku nuduh kamu.” Kanaya menghela napas. “Maksudku, baru kali ini aku ketemu korban pedagangan manusia seperti kamu.” Tangannya terulur lalu menggenggam jemari Seruni yang gemetar. “Sekarang, kamu mau ke mana? Katamu, tidak ada saudara di sini.”“Saya belum tahu, Nyonya. Tapi semalam Pak Bram bilang kalau ada pekerjaan buat saya. Apa Nyonya butuh pembantu? Saya bisa masak, beres-beres rumah, nyci, setrika, apa saja saya bisa.” Semangat di hati Seruni kembali timbul. Dengan mata berpendar, disebutnya semua pekerjaan rumah tangga seperti renteta
Pandangan Bram dan Seruni bertemu. Dada Seruni berdebar melihat bola mata Bram yang hitam legam menatapnya lebih tajam seperti menuntut jawaban segera. Otaknya berhenti bekerja sekian detik. Saat itu, ia baru sadar kalau Bram memiliki mata yang indah.“Gimana, bisa masak masakan Eropa?”Suara Bram menyentak kesadaran Seruni. Otaknya kembali bekerja normal dan mengirim jawaban. “Belum bisa, Pak.” Seruni memilih berkata jujur. Kata Ibu, jujur itu mujur. Meski ia pernah mendengar pamannya bilang, jujur tak selalu mujur karena kadang bisa ajur 1). “Tapi saya bisa belajar, Pak,” sambung Seruni ketika melihat setitik kecewa di mata Bram. “Saya yakin tidak sulit.”Mata Bram sedikit melebar mendengar ucapan Seruni. Sombong sekali, pikirnya.Seolah tahu isi kepala Bram, Seruni meneruskan ucapan. “Saya kira segala hal di dunia ini bisa dipelajari, Pak. Asalkan mau berusaha, pasti tidak sulit.” Gadis itu tersenyum penuh percaya diri. Diselipkannya helai-helai rambut ke balik telinga dan memandan
Bram menghela napas. Tangan kanannya memegang kemudi kuat-kuat sementara jemari kiri menggenggam ponsel. Urusan pegawai ada di tangannya, bukan Aditya. Laki-laki itu selalu ingin ikut campur di luar kewenangannya. “Nanti aku bicara pada Om Adit, Kai.” Suara Bram rendah dan berat. “Tapi seingatku, kemarin kita sudah sepakat kalau butuh tambahan asisten chef selama tiga bulan ke depan. Kamu sendiri yang mengajukan tambahan orang ke HRD karena bakal ada event dan ada asisten yang cuti.” Dada Seruni mendadak berdebar. Pembicaraan Bram seperti magnet yang membuatnya menoleh hingga matanya menangkap paras tampan Bram sedikit berkerut. Dari kalimat-kalimat Bram, Seruni tahu jika lelaki itu pasti sedang membicarakannya. “HRD sudah setuju dapur nambah tiga orang. Om Adit juga tahu itu.” Jejak rasa kesal terdengar jelas di balik ucapan Bram. “Soal Om Adit biar aku urus nanti. Dia tidak bisa seenaknya ngubah keputusan.” Seperti motor yang tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan lampu sein, Bram m
“Nggak usah diterima.” Bram menjawab santai. Seruni melongo. Hatinya kebat-kebit. Sepertinya dia memang harus memeras otak mencari kemungkinan pekerjaan lain. “Oke.” Kai menjentikkan jari. “Aku pergi dulu.” Bram menepuk lengan lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa pun pada Seruni. Sesaat gadis itu mematung, mendadak ia merasa seperti anak ayam ditinggalkan induknya. “Ikut saya.” Ucapan Kai menyentak kesadaran Seruni. Segera diikutinya lelaki berperawakan sedang itu menuju ruangan kecil di belakang dapur. “Silakan duduk.” Kai memberi isyarat dengan dagu sementara tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. Kepala Seruni tertunduk sesaat. Tatapan dari mata cokelat milik Kai membuat Seruni seperti kaki seribu disentuh manusia. “Mungkin Bram sudah memberitahu kalau ada tiga pos yang bisa kamu tempati.” Suara Kai agak kaku, tetapi terdengar jernih. Melibas rasa takut di hati, Seruni memberanikan diri mendongak hingga ia bertemu pandangan dengan Kai. Jemarinya salin
“Saya akan serahkan lamarannya besok, Bu.” Tidak hanya perutnya yang mulas, sekarang tubuh Seruni pun gemetar. Ya, Tuhan, bisakan dia tidak melihatku seperti itu? Seruni benar-benar merasa terpojok oleh tatapan Nina. Detik itu, ia berharap Bram datang. Nina pasti tidak akan semena-mena di depan Bram.“Jangan panggil saya “bu”. Saya belum setua itu,” ujar Nina ketus.“Ma-maaf, Bu. Eh, Mbak.”“Dengar, saya tidak tahu seberapa istimewa kamu di mata Mas Bram sampai tanpa lamaran diterima.”“Saya hanya pegawai rendahan. Cuma kang cuci piring.” Seruni memberanikan diri menyanggah. Perempuan di hadapannya makin menjadi dan keberanian di hati Seruni mulai terbit.“Semua pegawai di sini tidak boleh asal masuk. Apa pun posisinya. Kami profesional.” Nina menggerak-gerakkan bolpoin ke kiri dan kanan.“Tadi saya sudah ketemu Pak Kai dan dia mengizinkan saya bekerja.”Mengabaikan ucapan Seruni, Nina meraih gagang telepon. “Apa benar Seruni kamu terima di dapur?” ujarnya setelah menyapa Kai. “Kamu
“Masa, sih? Aku, kok, nggak percaya Pak Bram punya simpenan?”“Ada buktinya, Mbak.”“Kalau simpenan duit, pastilah.”“Diih. Coba Mbak cek grup. Ada, kok, foto Pak Bram gandengan sama cewek yang gitu, deh.”Telinga Seruni seperti digelitik dengan kawat. Sakit dan perih. Rasa sakitnya terasa sampai ke hati. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan karyawan hotel kalau tahu dialah perempuan dengan baju tidak pantas yang digandeng Bram.“Bisa saja itu editan, Mei.”“Sudah ada yang ngecek. Foto itu asli, Mbak. Sumpah samber geledek.”“Hus, jangan ngomong sembarangan. Beneran disamber geledek baru tahu rasa.”“Aku ngomong gitu karena yakin itu bener.”Seruni menyandarkan tubuh di dinding. Diabaikannya tatapan heran pegawai hotel yang mendorong keranjang besar berisi piring dan gelas kotor. Kedua telapak tangan Seruni berkeringat hebat dan perutnya sangat mulas, lebih mulas ketimbang saat berhadapan dengan Nina. Ternyata, begini rasanya jadi bahan gunjingan orang.“Mending pastikan du
“Kembalikan uangku ditambah ganti rugi seratus persen.” Telepon kedua pagi ini dari penyewa Seruni, dengan tuntutan yang sama. Si tato kalajengkin menyandarkan tubuh di bahu sofa berwarna kelabu di ruang tamu rumah utama yang menjadi tempatnya mengatur bisnis gelap. Kaburnya Seruni membuatnya harus menanggung malu sekaligus amarah pelanggan. Malu karena ia harus kalah dari perempuan. Bertahun-tahun menjalani bisnis kotor ini, ia belum pernah gagal menjerat gadis-gadis belia dan memerangkap mereka dalam lingkaran setan perdagangan manusia. “Aku tidak suka transaksiku gagal. Jangan membuatku semakin kesal. Kamu tahu, apa yang akan terjadi kalau aku sudah jengkel.” Kepulan asap rokok keluar dari mulut si tato kalajengking. Raut wajah lelaki berusia 35 tahun itu sekeruh air selokan Mataram setelah turun hujan. Ditahannya agar segala sumpah serapah tidak sampai lolos di antara kedua bibir gelapnya. Pelanggan yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Tuan Kepala Batu, begitu ia biasa mem
Mati, aku! Seruni berseru dalam hati seraya tersenyum gugup. Bisa jadi ada yang memergokinya semalam ketika berjalan dengan Bram di hotel ini lalu mengambil foto mereka.“Bentar, ya, aku liatin fotonya. Beneran, kok, kamu mirip sama simpenan Pak Bram.”“Mungkin cuma mirip, Mbak.” Seruni meringis, pura-pura santai demi menutupi debar jantungnya yang menghebat. Diteguknya es teh cepat-cepat. Mendadak tenggorokannya terasa kering dan tubuhnya panas. “Banyak orang di dunia yang mirip, tapi nggak ada hubungan sama sekali, kan?”Ya, Tuhan, tolong jangan sampai mereka tahu kalau aku semalam memang pergi dengan Pak Bram. Batin Seruni menggemakan doa.“Bener kata Seruni, Mei.” Reni yang sejak awal hanya diam angkat bicara. Ditatapnya perempuan bertubuh mungil, tetapi cukup menarik itu sembari mencuil sepotong ayam goreng madu. “Kamu juga pernah mirip sama perempuan yang kapan hari dibawa bapak-bapak ganteng yang katanya pengusaha terkenal.”“Kalau itu memang beneran bukan aku, Mbak.” Raut muk