Raya membolak-balikkan tubuhnya. Perasaan yang tiba-tiba muncul kala mendengar kabar pernikahan Rayyan dengan seorang wanita membuatnya resah dan gelisah. Padahal ia sudah memastikan pada hatinya bahwa Amira tidak akan memiliki perasaan kepada Rayyan. Namun betapa terkejutnya ia kali ini saat Maya mengatakan hal itu. Hatinya bagai teriris. "Ya Allah, apa aku sudah jatuh hati pada pria itu? Tidak! Jangan sampai! Aku tahu dia dan aku itu beda kelas. Dia anak orang terpandang. Tidak sepantasnya bersanding dengan aku yang hanya keluarga biasa saja." "Tapi kenapa perasaan ini muncul tiba-tiba? Aku cemburu?" Amira merapatkan matanya sejenak. Ia pukul pelan keningnya dengan tangannya yang menggenggam. "Nggak boleh dibiarkan! Rasa ini harus aku hilangkan secepatnya. Aku tidak ingin menjadi duri di dalam rumah tangga mereka. Aku tahu rasanya dipermainkan dalam rumah tangga. Jadi, aku tidak ingin menjadi pelakunya.""Lagipula Mas Rayyan kan sudah memutuskan untuk menikahi wanita lain. Janjin
"Fadhil, sudah punya calon belum?" Tanya ibuku sembari mendaratkan tubuh di sofa ruang tamu. Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba ibu datang duduk di sampingku dan langsung mengajukan pertanyaan menohok bagiku. Aku yang tengah membaca buku sontak mendongakkan kepalaku. Terjadilah keheningan beberapa saat di antara kami. Aku hanya terdiam membisu karena bingung harus menjawab seperti apa. "Ih, ibu nanya kamu sudah punya calon belum? Malah bengong lagi." Ibuku mempertegas kembali pertanyaannya. "Calon istri Bu?" Aku berlagak bodoh, padahal aku tahu ibu memang menginginkan memiliki menantu segera. Ini adalah pertanyaan kesekian kalinya yang ibu ajukan kepadaku selepas aku menyelesaikan studi sarjanaku."Hhhh" terdengar helaan nafas ibu."Iyalah Fadhil. Kamu kan anak sulung ibu. Kamu sudah lulus kuliah, sudah lulus pondok, sekarang kamu sudah mengajar di pesantren juga. Umur kamu juga sudah 25 tahun. Apa kamu tak ada keinginan untuk menikah segera?" Sergah ibu, mungkin dongkol karena
Suara dentingan sendok dan piring beradu memecah keheningan makan malam keluargaku. Kami berlima tengah melakukan makan malam bersama setelah seharian kami tak berkumpul. "Fadhil, gimana? Sudah ada keputusan belum?" Tiba-tiba saja ibu melontarkan pertanyaan itu untukku. Aku menghela nafas kasar. Segitunya ibuku ingin segera aku menikah dengan gadis gendut itu. Aku bahkan tak memikirkannya sama sekali. Di pikiranku hanya ada Raya seorang. "Belum, Bu." Jawabku singkat."Kenapa belum? Sudahlah, kamu nggak usah mikir masalah fisik. Itu semua bisa diubah seiring berjalannya waktu kok." Ucap ibu dengan santainya. Ah, kenapa ibu tak memikirkan hari-hariku yang akan kulewati bersamanya nanti. Ibu hanya mau aku bersanding dengannya saja tanpa memikirkan nasibku kelak. "Iya kan Pak, kita nggak boleh kan memandang segala sesuatu cuma dari fisik yang kelihatan kan?" Ibu berupaya mencari pembelaan dari bapak. "Betul Fadhil. Contohnya ibu kamu. Tuh, dulunya sebelum bapak nikahin, ibu berisi b
Aku duduk termenung di kamar hotel tempatku menginap. Tadi pagi kami sekeluarga sudah sampai di Kota Surabaya. Malam ini aku merasa sangat gusar sekali. Hatiku gamang luar biasa, karena besok pagi aku akan melamar seorang gadis gendut yang tak pernah masuk dalam kriteriaku sama sekali. Segala bentuk persiapan sudah ibu lakukan semaksimal mungkin sebelumnya. Bahkan ibu terlihat sangat antusias melamar menantu idamannya. Bahkan tak segan-segan ibu menyiapkan seserahan lamaran yang banyak sekali. Ibu memesannya beberapa hari yang lalu pada teman ibu di Surabaya yang kebetulan menyediakan jasa hias seserahan, karena tak mungkin juga kami membawa barang banyak ketika di pesawat kalau pesan seserahan di Jambi. Barang seserahan sudah tertata rapi di kamar hotel ini. Beberapa jam yang lalu teman ibu mengirimkannya kesini. Dering ponsel membuyarkan lamunanku. "Rindy? Ngapain malem-malem telpon." "Assalamu'alaikum, Rind. Kenapa?"""Wa'alaikumsalam Masku yang ganteng. Gimana perasaannya n
Kami sudah sampai di kediaman Pak Amir lagi. Memang tak ada dekorasi yang menyambut kedatangan kami. Karena memang ini serba dadakan seperti tahu bulat. Kami hanya ingin melakukan prosesi akad nikah secara sederhana. Orang-orang sudah berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Pak Amir. Mereka duduk di karpet yang sudah digelar rapih di ruang tamu yang luas itu. Meja kecil ada di tengah-tengah mereka. Mungkin itu tempatku untuk mengucap ikrar ijab qabul nanti.Perasanku sungguh tak karuan. Karena ini bukanlah pernikahan impianku. Aku hanya ingin menikah dengan Raya tapi justru takdir mengatakan bahwa aku akan menikahi Amira, gadis gendut yang tak pernah kubayangkan sama sekali akan menjadi istriku nanti. "Hei, kenapa kamu melamun?" Tanya ibu.Aku mengerjap. Ternyata sedari tadi aku melamun."Nggak kenapa-kenapa Bu." Ibu mengendikkan bahunya. Huffttt. Ibu, kalau bukan karena permintaan ibu, aku enggan untuk melanjutkan prosesi ini. "Assalamu'alaikum." Sapa seorang pria parubaya."Wa'
Aku belum beranjak dari pintu yang sedari sudah Amira tutup tanpa kusadari karena aku terlalu banyak melamun. "Masa iya aku harus melepas perjakaku malam ini juga?" Batinku sembari menelan ludah kasar. Aku masih terus bergumam dalam hati sampai suara lembut membangunkan ku dari lamunan."Kak Fadhil." serunya."Eh iya Mir." Aku gelagapan. "Mau mandi dulu atau sholat dulu? Tanyanya. "Hah apa katanya? Mandi dulu atau sholat dulu? Maksudnya itu ritual sebelum nganu-nganu?" Gumamku dalam hati. Pikiran jorok itu mulai merasukiku. "Kak...." serunya lagi."Ah iya. Gimana Mir?"Ia tersenyum menampakkan lesung pipinya yang manis. Tuh kan, aku mulai memujinya secara tak langsung. "Kak Fadhil mau mandi dulu atau sholat dulu?" Tanya Amira kembali."Mmm.. mandi dulu aja deh." Tukasku."Baiklah, saya persiapkan dulu baju gantinya. Tapi.." ucapannya menggantung."Kenapa Mir?" Tanyaku. "Saya kan nggak punya baju laki-laki kak. Kalau kakak mau saya pinjamkan baju abang saya dulu gimana?" Aku me
"Ya sudah, kamu duluan tidur saja. Aku mau keluar sebentar cari angin. Aku belum bisa tidur soalnya." Amira mengangguk. Aku segera bangkit untuk menuntaskan hasrat tertunda ini. Aku berencana untuk membaca buku yang sempat kubawa tadi. Semoga saja cara itu berhasil."Awww! Ssshh!" Aku memekik sedikit kencang."Kenapa kak?" Amira dengan cepat turun dari ranjang yang membuat ranjang itu berderit kencang. "Kakiku keseleo nih." Aku mengaduh kesakitan. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba saja kakiku malah keseleo."Oh bentar kak. Aku ada minyak urut. Aku ambilkan dulu ya." Sementara aku masih mengaduh kesakitan. "Ssshh!" Desisku tertahan. "Ini kak. Aku urut dulu ya." Amira hendak menyentuh kakiku yang sakit. "Eh, emangnya kamu bisa urut?" Amira mengangguk cepat. Aku sebenarnya tidak begitu yakin akan kemampuannya. Namun kalaupun harus memanggil tukang pijat malam ini sepertinya tidak mungkin. "Ya sudah. Pelan-pelan aja ya." Amira pun mengangguk. Amira dengan ragu-ragu menyentuh kaki
Kini kami sudah sampai di rumah kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia sekali melihat kedatangan kami berdua. Ibu tak henti-hentinya mencubit gemas pipi Amira yang gembul. Sedangkan aku sudah seperti anak tiri yang tak dianggap. Ibu memperlakukan Amira dengan sangat baik. Ia bahkan mengajaknya mengobrol bersama di dapur. Bahkan ibuku juga sudah menyiapkan makanan yang sangat beragam di meja makan dengan porsi dua kali lipat daripada biasanya. "Bu, kok makanannya banyak banget? Emang bakal habis?" Tanyaku pada ibu yang saat itu masih asyik mengobrol dengan menantu barunya. "Kan sekarang ada Amira. Ibu nggak mau ya menantu ibu kekurangan makan disini? Ibu sama bapak ini masih sanggup kasih makan kok." "Tapi kan nggak sebanyak itu juga Bu. Kalau nanti dia tambah gend...?" Ibu menggeplak pahaku dengan centong nasi. "Hus! Kalau bicara bisa nggak sih disaring dulu. Tuh di dapur ada saringan gede. Muat tuh di mulut kamu." Ibuku mendelik menatapku."Sakit lah Bu.""Segitu doang sakit!