POV AuthorSesampainya Fadhil di rumah, Amira sudah menyambutnya di depan pintu. Amira cium punggung tangan Fadhil dengan takzim."Baru pulang kak. Sini aku bawain ke dapur." Amira mengambil kresek plastik yang kubawa. "Ya Allah dari belakang aja bentuknya seperti ini. Bukan seksi lagi tapi ini oversize." Fadhil menatap punggung Amira hingga tak terlihat lagi. Tak berapa lama kemudian, Amira datang kembali membawa secangkir teh dan aneka gorengan berupa pastel, risoles, bahkan bakwan pun ada. Amira meletakkannya di meja ruang tamu. "Ayo mas. Dimakan dulu." Amira tersenyum manis kepada suaminya namun sang suami hanya membalas seadanya. "Dikasih makanan lagi. Lama-lama aku bisa gendut kayak dia." Fadhil menggumam kemudian menggeleng lemah hampir tidak terlihat. "Kamu emang suka masak ya Mir?" Tanya Fadhil di sela-sela ia minum teh dan menikmati aneka gorengan itu yang terasa sangat nikmat di lidahnya. "Iya Kak. Aku emang hobi masak. Emang sih nggak jago kayak ibu, tapi nggak terla
Fadhil pun tak lama berada di Jambi. Ia sudah harus terbang ke Bandung untuk mengajar di pondok pesantren kembali. Ibu Fadhil menyayangkan kepergian anak dan menantunya. Padahal ia masih ingin berlama-lama mengenal sang menantu. Namun karena tugas dan amanah yang sudah diemban oleh anaknya, mau tak mau dia harus merelakan keduanya untuk pindah dari rumah itu. "Kenapa sih cepet banget kalian perginya? Nggak bisa apa ditunda sehari atau dua hari lagi gitu?" Bibir wanita parubaya itu mengerucut. "Ya nggak bisa dong Bu. Fadhil kan harus ngajar anak-anak santri juga. Waktu liburan mereka juga sudah hampir selesai. Jadi Fadhil harus kembali ke pondok lagi. Ya kalau liburan semester lagi, Fadhil pulang kampung kok." Kata Fadhil mengusap punggung ibunya. "Tapi kan waktu ibu mengenal lebih dalam istri kamu belum lama juga Dhil. Masa iya langsung diajak merantau? Kesel deh ibu sama kamu!" Ibunya bersedekap. "Lalu, Amira harus aku tinggal disini begitu Bu?" "Ya nggak gitu juga kali Dhil. Ka
Sesampainya di pondok pesantren, pasangan suami istri menghebohkan warga pondok. Tersebarnya berita tentang pernikahan dadakan Fadhil dan Amira membuat berbagai spekulasi. Namun hal itu tidak membuat syok pemilik pondok. Memang sehari setelah acara pernikahan dadakan itu, Fadhil sempat menghubungi Pak Kiyai Ahmad dan Ummi Sarah. Tetapi memang selain kedua orang itu, orang-orang pondok tidak ada yang mengetahui pernikahan Fadhil dengan Amira. "Ja-jadi dia istrimu, Fadhil?" Lirih Ridwan, selaku salah satu rekan pengajar. Fadhil mengangguk lemah. Ia bahkan hanya memainkan jemarinya. Ridwan meneguk ludah kasar saat melirik sekilas Amira yang tengah duduk bersama Ummi Sarah. Sedangkan Fadhil dan kedua temannya, Ridwan dan Munif berada tak jauh dari kedua perempuan itu sedang asyik mengobrol. "Yang bener saja kamu pilih istri, Dhil? Emang stok wanita kurus sudah hilang dari muka bumi, Dhil?" Tambah Ridwan. "Huss! Jangan body shamming gitu lah Wan!" Munif menyenggol bahu Ridwan yang keb
"Maling! Maling! Maling!" Teriak Amira sembari memejamkan matanya.. Ia sampai menghentak-hentakkan sapu itu ke arah pria yang menjerit kesakitan itu. "Awww! Hei! Ini aku Fadhil!" Mendengar hal itu gerakan Amira terhenti. Ia menatap ke arah pria yang baru saja keluar dari kamar itu. Memang benar itu adalah suaminya. "Ya Allah kak. Maaf, aku pikir tadi itu maling. Soalnya pintu masuk tadi nggak dikunci. Aku pikir ada maling masuk." Amira merasa bersalah. Amira menjatuhkan sapu itu ke lantai. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. "Makanya lihat-lihat dong. Mentang-mentang tubuhku lebih kecil dari tubuhmu yang besar itu kamu jadi menganggapku aku ini seperti semut yang bisa kamu injak begitu?" "Bukan begitu kak. Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau ada kamu di kamar. Maaf ya kak." Amira merasa sangat bersalah. Ia tadi memukul hingga sekuat tenaganya, pastilah tubuh itu terasa sakit. "Sudahlah! Aku mau pergi." Ia hendak menuju k
Fadhil dan Amira sudah hampir dua minggu tinggal di pondok. Mereka tidak seperti pengantin baru pada umumnya. Bahkan selama di rumah, Fadhil tidak mengajak Amira berbicara sedikitpun. Ia lebih memilih menyibukkan diri dengan berselancar di dunia maya. Sedangkan Amira harus gigit jari saat ia mencoba mengakrabkan diri dengan Fadhil namun suaminya itu malah menganggapnya hanya angin lalu.Setelah selesai mengajar, Fadhil tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan dia menyibukkan diri dengan membantu para pengurus pondok dalam berbagai kegiatan. Itu semua ia lakukan untuk membatasi interaksi antara dia dan Amira. Hal itu jelas terlihat oleh kedua sahabatnya di pondok. "Dhil, akhir-akhir ini aku lihat kamu selalu menyibukkan diri di kegiatan pondok. Apa kamu nggak rindu sama istrimu?"Fadhil segera menghentikan aktivitasnya kemudian menatap Ridwan tidak suka. "Bukan urusanmu wan!" Fadhil melanjutkan aktivitasnya lagi. "Aku cuma mengingatkan kamu Dhil. Kamu udah punya istri. Bukankah le
Hari demi hari mereka lalui bersama. Namun Fadhil masih juga dalam mode dingin dan tak banyak bicara. Hal itu membuat Amira kehilangan kesabaran. Apalagi selama ini dia tak diberikan uang nafkah sedikitpun. Ia membeli kebutuhan rumah dengan simpanan uangnya sendiri. "Kak!" Namun Fadhil masih diam tak menanggapi. "Kak!" Amira sedikit menyentak. Hingga akhirnya Fadhil menoleh. "Kenapa?" Ia kembali berkutat pada aktivitas membaca bukunya yang itu hanya dijadikan sebagai alibi agar dia tak diajak bicara oleh istrinya. Namun ternyata Amira tetap mengganggunya. "Kenapa sih Kak Fadhil diam terus? Aku ada salah sama kamu ya kak?""Enggak!" Jawab Fadhil singkat. Ia bahkan tak menoleh pada Amira. Amira menghela napas panjang. "Baiklah, kalau begitu bisakah aku minta uang nafkah?""Bukankah selama ini uang kamu cukup untuk kebutuhan di rumah ini? Kamu pun bisa jajan sepuasmu juga? Kenapa sekarang mengeluh?" "Tapi itu kan uang simpananku Kak. Kalau uang nafkah dari Kak Fadhil, aku belum pe
"Rayyan!" Pekik Ummi Sarah. Ia langsung mendekat ke arah putra bungsunya itu. Ia peluk erat sang putra yang tersenyum manis menyambut kedatangan ibu kandungnya itu. "Ummi kangen! Kenapa sih nggak mau pulang? Takut ya mau dijadikan pimpinan pondok?" Rayyan cengengesan. "Iya ummi. Kan ummi sendiri tahu kalau aku itu lebih suka bergelut di bidang bisnis. Kalau di bidang pendidikan kan sudah ada Mas Fathir. Kenapa tidak minta saja Bang Fathir buat jadi pimpinan pondok ini?""Kamu gimana sih Nak. Kan abangmu itu sudah membina pondok di Yogyakarta. Masa iya dia juga yang menggantikan abahmu disini?" "Tapi kalau Rayyan yang diminta, Rayyan nggak mau ummi. Rayyan mau berbisnis aja titik." "Ah udahlah. Yang penting kamu udah pulang. Sekarang ummi mau masakin kamu masakan spesial. Mumpung Maya belanja banyak tadi pagi. Yuk ikut ummi ke dapur." Ummi Sarah menggandeng tangan putranya itu menuju dapur."Mau masak apa ummi?""Gimana kalau ummi masak ayam bakar dulu? Kebetulan sudah ada daging a
Fadhil membelalakkan mata. Sekarang ia sudah mengingatnya. Kemudian ia meneguk ludah kasar karena ternyata pria ini adalah anak pemilik pondok ini yang sangat ia segani. Kedua sahabatnya melihat Fadhil yang pucat pasi. Munif menyenggol lengan Fadhil dan akhirnya Fadhil menoleh. "Betul itu?" Bisik Munif. Namun ekspresi diam Fadhil membuat Munif yakin kalau Rayyan tidak berbohong."Oh, mungkin Rayyan lupa bawa istri mas. Soalnya kan masih pengantin baru. Mana hasil dari perjodohan pula. Ya mungkin dia masih belum bisa adaptasi sama kehidupan barunya saat ini." Ridwan berusaha membela Fadhil padahal dia sendiri juga sangat menyayangkan perilaku sahabatnya itu. "Oh, berarti ketidaksengajaan ya? Kalau tidak sengaja kenapa tidak minta maaf saja waktu Amira menyusul? Malah dimarahi di depan umum. Itu namanya kamu sengaja meninggalkannya karena malu istrimu bertubuh gendut. Iya kan?" Rayyan menyudutkan Fadhil. Apa yang dikatakan Rayyan itu memang benar adanya. Dulu ia sengaja melakukan it