"Tolong! Tolong!" Bira berteriak sekuat tenaga. Ia masih berharap ada mukjizat dari Tuhan yang bisa menyelamatkannya dan Kek Sugi.Api kian membesar. Bira berusaha menyelamatkan Kek Sugi dengan memapahnya keluar dari pintu depan. Brak! Asbes rumah jatuh tepat di depan mereka. Bira terjebak dan tidak tahu lagi cara keluar dari api yang mengelilingi rumah. "Jendela kamar samping, cepat!" Kek Sugi yang tadinya lemas, menjadi bertenaga agar bisa menyelamatkan diri dari bencana kebakaran. Hanya di kamar samping tidak memakai teralis dan mereka ada harapan bisa keluar dari sana. Api merembet cepat, ruang tengah tempat Kek Sugi tidur sudah dilalap api dengan begitu ganas.Kamar samping aman, keduanya berlari untuk keluar dari jendela. Namun, sangat disayangkan, kaitan jendela macet dan tidak bisa dibuka. "Dobrak cepat, Bira! Cepat!" Napas Kek Sugi mulai terengah-engah. Brak! Brak! Bira berhasil keluar lebih dahulu. Tangannya terulura untuk menyelamatkan Kek Sugi. Hap! Brak! "Argh!" B
Lunar pergi ke rumah sakit ditemani oleh Haris. Sepanjang jalan di taksi online, Lunar sama sekali tidak banyak bicara. Mulutnya bungkam bukan karena marah dengan godaan Haris tadi, tetapi khawatir dengan Bira. Bagaimanapun marah dan kesalnya ia pada suaminya, Bira pernah menjadi lelaki terbaik di hidupnya. Ada yang bilang, jika kita membenci, membencinya secukupnya. "Apa yang kamu pikirkan, Lunar? Wajah kamu tegang sekali," tanya Haris penasaran. Meskipun ia tahu jawaban Lunar tentu saja memikirkan suaminya yang katanya mengalami luka bakar. "Memikirkan Bang Bira. Saya khawatir lemah dengan orang yang tengah sakit. Jika ia membujuk saya untuk berbaikan dan meminta maaf, bagaimana?" Haris tersenyum miris. "Kamu akan susah seumur hidup, Lunar. Ingat, ada tiga wanita yang hamil oleh Bira, sedangkan kamu belum hamil sama sekali. Apa kamu siap kembali bersama pria yang kemaluannya tidak bisa ia jaga? Menanam benih di sana-sini tanpa memikirkan bagaimana istrinya. Beda jika Bira masih s
Hari ini adalah hari yang sudah sangat lama dinantikan oleh Lunar. Tiga bulan berlalu sejak Bira ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani proses sidang dan hari ini adalah sidang putusan pengadilan atas gugatan cerainya pada Bira. Ditemani oleh ayahnya, Lunar pergi ke tempat yang membuatnya bertekad untuk tidak akan mengunjungi tempat seperti ini lagi. Cukup satu kali ia ke pengadilan agama untuk urusan perceraian. Selama tiga bulan ini juga ia ngekos di tempat Harus, tetapi sudah mendapatkan kamar di kos putri. Haris benar-benar memberikannya uang untuk memasak karena sarapan, makan siang, dan Haris juga membawa bekal makan malam masakan Lunar ke tempat ia bekerja. Mereka hanya tidak tinggal satu atap saja, tetapi perhatian Haris dan baiknya sikap Haris, seperti mereka memiliki hubungan spesial. "Jadi pulang nanti sore? Yakin?" kata Pak Rahmat pada putrinya. "Yakin, Pak, kenapa memangnya?" tanya Lunar bingung. Pak Rahmat tertawa pendek sambil mengusap rambut Lunar dengan
"I-ini m-maksudnya.... " Lunar merasa napasnya sesak. Kenapa tiba-tiba Haris melamarnya tanpa bilang apapun?"Mau loh ya, masa gak mau." Haris memasang wajah cemberut."Sebelum kamu pulang kampung, saya ikat dulu, biar di sana gak disamber berondong. Tiga bulan lagi, setelah masa iddah kamu selesai, kita akan menikah. Bagaimana, Pak Rahmat, saya bolehkan menjadi menantu Bapak?""Bapak sih gimana Lunar saja." Pak Rahmat mencolek pipi putrinya yang merona."Lunar, itu dijawab pertanyaan Haris, diterima gak?" Pak Rahmat mendesak putrinya.Lunar sudah meneteskan air mata penuh haru. Tanpa banyak drama babibu, dengan beraninya Haris melamar dirinya di depan bapaknya. Ia juga pantas bahagia setelah begitu dikecewakan oleh Bira."Lunar," panggil Haris. Wanita itu mengangkat wajahnya, lalu dengan mata berkabut menatap Haris sambil mengangguk perlahan."Alhamdulillah." Pria itu pun dengan cepat meraih tangan Lunar untuk memasangkan cincin bermata satu di jari manis Lunar. Dengan penuh hikmat,
"Lunar," panggil Birawa; membangunkan istrinya yang sudah terlelap. Pria itu mengusap pipi Lunar sambil tersenyum. Tangan dingin yang terasa di pipi, tentu saja membuat Lunar terbangun. Ia membuka kelopak mata yang sangat berat, karena belum lama terlelap. Suara berat dan sentuhan tangan dingin Bira tentu saja sangat di hapal oleh semua indra yang ada di tubuhnya. "Eh, Bang Bira udah pulang. Jam berapa sekarang?" Lunar menggosok matanya sambil menoleh ke jam dinding. Sudah pukul setengah dua dini hari. Pria itu melepas bajunya dan celana batik berkantung samping, hingga tergeletak di lantai. Lunar tersenyum melihat suaminya yang begitu gagah, apalagi bila dilihat dari belakang. Dadanya bidang, ototnya juga terbentuk dengan sangat baik. Tenaganya di malam sabtu juga luar biasa. Melihat suaminya yang semakin hari semakin tampan dan gagah, membuat Lunar begitu gembira. "Ambilkan air putih hangat seperti biasa ya, Lunar," pinta Bira sambil berjalan santai keluar dari kamar, hanya mengen
Efek dari pesan yang masuk ke ponsel suaminya tadi, membuat Lunar tidak bisa tidur. Ia terus saja berbalik ke kanan dan ke kiri agar mendapat posisi nyaman untuk terlelap, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa kantuk yang hilang begitu saja. Sejak awal menikah dengan Birawa, ia tidak pernah sama sekali membuka sembarangan ponsel suaminya, jika tidak diijinkan oleh pria itu atau memang sedang diminta untuk membuka dan membalas pesan dari beberapa pasien suaminya. Namun jika untuk membuka ponsel itu sendiri secara diam-diam, ia tidak pernah berani melakukannya. Ia tidak mau lancang dan sekarang, setelah membaca pesan yang tidak tuntas tadi, Lunar benar-benar resah. Wanita itu akhirnya turun dari tempat tidur setelah suara dengkuran suaminya begitu keras. Ia menekan cukup lama tombol kecil berbentuk memanjang di sisi kanan ponsel Bira. Logo ponsel dan tema pocong pun muncul di sana. Lunar sudah biasa, sudah tidak kaget ataupun takut lagi. Ia mencoba membuka ponsel suaminya, tetapi ga
"Oh, itu, mungkin wanita itu typo saat mengirimkan pesan," jawab Bira berusaha santai. Kening Liane semakin mengerut. "Oh, jadi yang Abang pijat perempuan? Itu Abang tahu kalau yang mengirimkan pesan perempuan?" tanya balik Lunar dengan hati cemas. Ia was-was suaminya main belakang, meskipun tidak mungkin. "Ya, karena rata-rata yang ke sana pasien Abang perempuan. Mulai dari pijat keseleo, turun berok, sakit pinggang, terkilir, sakit leher, patah tulang pun Abang bisa. Kamu cemburu ya? He he he... senang Abang kalau istri cemburu gini, tapi jangan cemburu buta, Abang kan mengobati pasien. Sama kaya dokter kandungan lelaki, pasti dia setiap hari malah ketemunya perempuan terus ya kan? Sudah, masakin Abang air hangat dulu sana, habis mandi, kita ke pasar yuk!" Lunar yang tadinya curiga sampai tidak bisa tidur, akhirnya luluh juga. Ucapan suaminya selalu saja masuk akal, bukan karena membela diri, tetapi karena keadaannya yang seperti itu. "Eh, malah bengong! Mau ke pasar gak?" tanya
Selesai dengan Intan selama satu jam di ranjang, Bira menerima pasien selanjutnya, kali ini seorang anak kecil yang kakinya keseleo. Anak kecil berwajah lucu itu diantar oleh ibunya yang cantik. Tentu saja, jika pasiennya anak-anak, maka yang Bira benar-benar akan memijatnya. Tentu saja dengan siasat licik di balik itu semua. "Siapa namanya, Sayang?" tanya Bira begitu ramah pada pasien anak kecil berusia tiga tahun itu. "Aima, Om," jawab anak kecil itu sambil malu-malu. Bira tersenyum hangat, baik pada si anak kecil, maupun ibunya. "Sini, Om Bira lihat kakinya ya. Aduh, pasti sakit sekali ini. Aima jatuh di mana?" tanya Bira sambil mengusap pelan kaki gadis cilik itu. "Lagi main sama temannya, Bang Bira, tahu-tahu pulang nangis dan digendong ibu-ibu tetangga," sahut ibu dari anak kecil itu. Bira mengangguk paham. "Mbak, si Cantik ini bukan sekedar jatuh biasa. Ini ada yang senang dengan Aima dan mengikutinya." Bira menjeda ucapannya. Lalu ia berjalan menuju laci lemari. Di dalamn