"Menjijikkan," geram seorang pria bertubuh tinggi, saat bola matanya menatap tajam pada tangan mungil pucat yang melingkar di lengannya. Suaranya memang terdengar pelan tetapi mengandung kebencian yang kental di dalamnya.
"Maafkan aku," lirih pemilik tangan mungil pucat itu. Perlahan ia mengendurkan tangannya dan melepaskan diri.
Seandainya mereka tidak sedang berada di pelaminan, pria itu pasti sudah menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar.
Sepasang suami istri muda, datang menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat.
"Selamat ya, Lisa. Selamat ya, Kak Revin," ucap Erika dengan suara lembut. "Semoga berbahagia," tambahnya lagi dengan tulus. Tetapi suaminya, Evans, hanya diam saja. Tidak mengatakan apa-apa. Itu karena dia adalah mantan pacar dari pengantin wanita, dan dia tahu benar bagaimana sosok Lisa sebenarnya.
Telinga Revin langsung panas mendengar ucapan tulus Erika. "Erika, bagaimana bisa aku bahagia kalau wanita yang kunikahi saat ini hanyalah wanita jalang, perempuan murahan, perempuan yang selama ini selalu siap membuka kedua kakinya lebar-lebar untuk lelaki mana saja?" ucapnya dengan suara tenang tetapi dipenuhi rasa jijik.
Lisa langsung mengalihkan pandangannya dari mereka bertiga karena merasa sangat malu atas ucapan Revin. Matanya saat ini sudah berkaca-kaca.
"Um, Kak. Tidak seharusnya ka...."
"Erika, sudahlah," bisik Evans melarang istrinya untuk berbicara lagi. Evans tahu betul jika hati sahabatnya itu sedang bergemuruh karena telah menikahi seorang Lisa. Erika pun mengatupkan mulutnya.
Pernikahan Revin Abimana dan Lisa Wijaya diselenggarakan di sebuah hotel mewah. Banyak tamu berdatangan silih berganti. Di sudut ruangan, Hendra Wijaya, ayah dari Lisa tersenyum bahagia melihat putrinya telah menikah dengan lelaki dari keluarga terhormat.
"Syukurlah, putriku yang liar, kini tidak akan liar lagi. Sudah ada suaminya yang akan menjaganya," ucapnya dalam hati dengan perasaan lega.
Nafa Wijaya, istri dari Hendra Wijaya juga tersenyum puas karena pernikahan putri tirinya, Lisa, berjalan dengan lancar. Tetapi rasa puas yang ia rasakan tidaklah sama seperti rasa bahagia yang dirasakan suaminya. Nafa segera menggandeng tangan suaminya.
"Pa, setelah ini, Papa sudah bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan Abimana. Mereka tidak mungkin menolak besan mereka, bukan? Apa kata orang nanti jika mereka menolak?" Nafa Wijaya terkekeh senang.
Perusahaan Wijaya yang sedang berada di masa kritis akan selamat berkat pernikahan Lisa. Nafa tahu Lisa pasti tidak akan berbahagia karena Revin sangat membencinya, tetapi Nafa tidak peduli, toh Lisa hanya putri tiri, putri tiri yang sangat ia benci. Anak itu mati pun, tidak ada hubungannya dengannya. Yang penting keluarga Wijaya dapat selamat dan kembali berjaya seperti sebelumnya.
"Kamu benar, Ma. Nanti Papa akan atur pertemuan dengan mereka," ucap Hendra dengan tersenyum polos.
***
Lisa sudah selesai mandi. Dia memakai gaun tidur berwarna biru, sangat cantik dan seksi untuk malam pengantin mereka. Tidak ada hiasan sama sekali di ranjang pengantin. Mereka sudah sering melakukan hubungan intim, bahkan sekarang Lisa tengah hamil satu bulan, jadi jelas tidak ada yang spesial malam ini.
Untuk beberapa saat, Lisa duduk di atas ranjang. Napasnya tampak berat.
"Kak Revin sangat membenciku. Kalau bisa, aku pun juga tidak ingin pernikahan ini terjadi. Lebih baik aku menjadi ibu tunggal daripada harus menghadapi kebencianmu, Kak. Tapi semua sudah terjadi. Ini semua karena papa yang sudah memaksaku untuk mau menikah denganmu," lirih Lisa di dalam hati.
Lisa kemudian menghapus air mata di sudut matanya. "Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Aku sangat mencintai Kak Revin. Aku hanya perlu bersabar menghadapi caci makinya. Jika aku bisa menjadi istri yang baik untuk Kak Revin, cepat atau lambat, Kak Revin pasti akan melunak dan menerimaku sebagai istrinya!" ucap Lisa menyemangati dirinya sendiri.
Lisa mengedarkan pandangannya. Mulai saat ini dia dan Revin akan tinggal berdua di rumah ini, rumah sederhana berlantai dua yang sengaja dibeli Revin karena dia tidak mau tinggal bersama orang tua maupun mertuanya.
Lisa kemudian menatap koper besar miliknya yang berada di sudut ruangan. "Sambil menunggu Kak Revin, lebih baik aku menyusun baju saja."
Beberapa waktu kemudian.
"Apa yang kau lakukan?" Terdengar suara berat seseorang. Lisa menoleh ke sumber suara, tampak Revin berdiri di ambang pintu. Lisa pun berdiri dengan canggung.
"Aku...aku sedang menyusun pakaianku ke dalam lemari," jawabnya menunduk."Kau memang perempuan yang tidak tahu diri," geram Revin sambil berjalan sempoyongan. Dia banyak minum di pesta pernikahan mereka, dan sekarang baru pulang."Minggir!" bentaknya sambil mendorong tubuh Lisa karena menghalangi jalannya. Lisa terpekik ketika tubuhnya terhempas ke tembok, cepat-cepat dia memeluk perutnya. Kehamilannya masih sangat muda, Lisa tidak mau keguguran untuk kedua kalinya. Sementara itu, Revin berjalan menuju lemari dan membukanya. Dia tatap pakaian Lisa yang sudah disusun dan digantung dengan rapi di sana. Wajahnya menggelap, emosinya memuncak.
"Kamar ini kecil," keluh Lisa di dalam hati. Dia naik ke atas ranjang kecil yang ada di sana dan langsung berbaring karena terlalu lelah hanya untuk sekedar ke toilet membersihkan diri."Ugh...," erangnya. Ia memegangi bahunya yang terasa sakit akibat gigitan Revin. Lisa terisak, ingin sekali rasanya dia mencurahkan semua perasaannya, tetapi kepada siapa? Dia sama sekali tidak punya tempat untuk mengadu.Satu-satunya tempat ia pernah menceritakan isi hatinya adalah kepada Dokter Sinta yang adalah seorang psikiater."Tidak, aku tidak boleh ke sana. Jika Kak Revin tahu bahwa aku pernah 'sakit', dia juga akan tahu kalau aku pernah hamil dan keguguran. Itu tidak boleh terjadi! Kak Revin tentu akan semakin jijik padaku. Tidak, sebisa mungkin, jangan sampai Kak Revin tahu. Mudah-mudahan saja Kak Revin tidak akan pernah tahu," liri
Sebelum menikah, tiap mereka melakukan hubungan intim, Lisa terkadang memasakkan sup daging untuk memulihkan staminanya. Dan Revin sangat menyukai sup daging buatan Lisa. Tetapi ternyata segala kebaikan dan perhatian yang diberikan Lisa padanya hanyalah suatu jebakan agar ia terlena kemudian masuk ke dalam perangkap. Melihat sup daging itu, Revin kembali merasa dibodohi oleh Lisa. Tanpa pikir panjang Revin menepis mangkuk berisi sup daging. Prang!! Lisa terpekik. Mangkuk itu terjatuh di dekat kaki Lisa. "Panas...," rintih Lisa dengan wajah nanar. Ia menahan sakit. Beling pecahan mangkuk terserak ke mana-mana. Lisa hanya bisa berjongkok memegang kakinya yang mulai melepuh. Revin terkejut karena mangkuk yang ia tepis mengenai Lisa. Ia berdiri dari kursi. "Kau itu perempuan ular. Itu sebabnya kau tertimpa sial. Tuhan pasti sedang menghukummu!" Revin menghembuskan napas kasar. "Gara-gara kau, aku sudah tidak berselera makan," geramnya. Kemudian ia segera ke luar rumah, meninggalkan ist
Revin bertanya sambil melihat ke sekeliling ruangan. Lisa mengangguk dan bersandar pada punggung sofa. Ia memejamkan matanya. "Pelayan datang di pagi hari untuk membersihkan saja dan membuat sarapan," jawab Lisa. "Sekarang, antarkan aku ke kamar atas," ucapnya kemudian dengan nada memerintah. Revin mendengkus tetapi tak urung dia tetap menggendong Lisa dan membawanya ke kamar atas menaiki tangga. Itu bukanlah hal yang sulit karena Revin rajin berolahraga untuk membentuk ototnya sehingga ia cukup kuat. Revin mendapati sebuah kamar dengan pintu berwarna merah muda di sana. "Lisa, bantu aku membuka pintu kamarmu ini," ucap Revin karena kedua tangannya sedang menggendong Lisa ala pengantin. Dengan malas Lisa memegang daun pintu dan membukanya. Revin pun langsung melangkah membawa Lisa masuk ke kamar peraduannya. Dia membaringkan Lisa di atas ranjang dan kemudian hendak melangkah pergi. "Tunggu, Kak." Tiba-tiba tangan Lisa mencengkeram pergelangan tangan Revin. Lisa langsung duduk kemu
'....berbeda dari yang lain.' Wajah Lisa masih dihiasi senyuman manis. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuhkan jemarinya ke pipi Revin. 'Ini...karena Kak Revin atau karena aku yang belakangan ini tidak pernah melakukannya lagi ya?' 'Um.. atau jangan-jangan karena kedua-duanya?' Lisa terkikik, menutup mulutnya sendiri karena merasa geli akan pikirannya. Memang belakangan ini Lisa tidak melakukan aktivitas itu karena ia lebih sibuk menguntit kehidupan Evans bersama perempuan lain. Dia selalu mencari tahu siapa yang dekat dengan Evans. Tetapi keadaan sudah berubah. Sejak kejadian tadi malam, sejak Lisa merasakan sentuhan Revin, kehadiran Evans di dalam otaknya langsung lenyap. Lisa ingin mengulanginya lagi pagi ini, tetapi Revin masih tidur. Bibir Lisa mengerucut manja. Ia mulai mengetuk-ngetuk pelan ujung jarinya pada hidung mancung Revin. "Bangun, Sayang," ucapnya kemudian dengan mesra tetapi Revin tidak menggubris. Lalu untuk kedua kalinya Lisa mengetuk-ngetukkan ujung jariny
Ia mengerlingkan sebelah matanya sambil menjulurkan lidahnya sekejap dengan gerakan centil. Melihat itu, Revin menghela napasnya pelan. "Lisa memang wanita penggoda," ucapnya dalam hati. "Tidak. Aku mau kopi," jawab Revin sambil tersenyum dengan tenang. "Okay." Lisa menuangkan susu di gelas untuknya sendiri tanpa memanaskannya lalu segera dengan cekatan membuatkan kopi untuk Revin. "Ini, Sayang," ucapnya lembut sambil menyodorkan pelan satu cangkir kopi dan duduk di samping Revin. "Makasih ya." Revin menyesap kopi tersebut. Aromanya menguar tajam dan sangat nikmat di lidah. "Unik rasanya," ucap Revin sambil menyesap kembali kopinya. "Itu kopi dari daerah Sidikalang. Papaku kadang ke Sumatera karena urusan bisnis. Dia membawa kopi itu dari sana karena dia suka sekali kopi itu. Kalau papaku kemari menjengukku, aku biasanya akan membuatkan itu untuknya," ucapnya sedikit berbohong. Sebenarnya Lisa sendiri yang memesan kopi itu dari sana. Berharap suatu hari nanti ayahnya datang mene
Revin melajukan mobilnya. Ada Anna di sampingnya. Hari ini dia akan melakukan kencan dengan perempuan ini sesuai perintah Renata, mamanya. Revin hanya diam. Anna juga memutuskan untuk diam saja. Walaupun di awal dia ingin berjuang agar perjodohan mereka berhasil, tetapi mendengar kata-kata Revin yang pedas tadi tentang dirinya yang suka membully, membuat nyalinya ciut. Apalagi semua yang dikatakan Revin benar adanya. Sesampainya di sana, Revin dan Anna memutuskan duduk di tempat yang disediakan di sekitar bioskop tersebut. Karena masih ada dua puluh menit lagi film itu akan diputar, mereka pun memesan minuman dan camilan sembari menunggu. "Ada apa, Kak?" tanya Anna yang tanpa sengaja melihat Revin meliriknya. Anna juga pernah sebentar menjadi pacar Evans karena perjodohan, tetapi Evans memutuskannya karena tidak ada rasa cinta di hati Evans untuknya. "Kau sebelumnya berpacaran dengan Evans. Seberapa jauh hubungan kalian?" tanya Revin bersikap dingin. Terhadap Lisa, Revin tidak begi
"Baguslah kalau begitu. Aku pulang duluan," ucapnya ketus. Anna mengangguk pelan. Revin pun langsung meninggalkannya sendirian di sana.Begitulah kencan Revin dan Anna berlangsung dan berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. Walaupun terlihat gampangan, tetapi sebenarnya hati Revin memang sulit untuk ditaklukkan. Semua mantan pacar Revin adalah perempuan yang cantik. Tetapi Revin tanpa ragu akan langsung memutuskan hubungan begitu mengetahui sifat jelek wanitanya yang tidak bisa ditolerir lagi. Revin juga adalah tipe lelaki yang sulit percaya pada mulut perempuan. Apalagi jika perempuan itu memiliki nama yang tidak baik di lingkungannya.***Tiba malam."Benar-benar membosankan!" Revin menguap sambil membaca sekilas apa yang ia ketik barusan. Revin pun teringat akan kencannya tadi. Berkencan dengan Anna adalah hal yang konyol bagi Revin. Dan yang paling membosankan adalah ketika tadi ia pulang k