"Aku...aku sedang menyusun pakaianku ke dalam lemari," jawabnya menunduk.
"Kau memang perempuan yang tidak tahu diri," geram Revin sambil berjalan sempoyongan. Dia banyak minum di pesta pernikahan mereka, dan sekarang baru pulang.
"Minggir!" bentaknya sambil mendorong tubuh Lisa karena menghalangi jalannya. Lisa terpekik ketika tubuhnya terhempas ke tembok, cepat-cepat dia memeluk perutnya. Kehamilannya masih sangat muda, Lisa tidak mau keguguran untuk kedua kalinya. Sementara itu, Revin berjalan menuju lemari dan membukanya. Dia tatap pakaian Lisa yang sudah disusun dan digantung dengan rapi di sana. Wajahnya menggelap, emosinya memuncak.
"Siapa yang menyuruhmu menaruh barang kotor ini di sini!"
Brak! Brak! Brak! Revin mencampakkan seluruh pakaian Lisa ke lantai hingga terserak ke mana-mana. Lisa benar-benar terkesiap melihat emosi Revin dan ia langsung melangkah cepat ke sudut ruangan karena takut.
"Jangan kau taruh barangmu di kamarku! Aku jijik melihatnya!" teriak Revin sambil menatap tajam pada Lisa. "Keluar kau!"
Lisa terkejut mendengarnya. Dia masih membeku menatap Revin.
"Aku bilang keluar kau sekarang dari kamarku!" bentak Revin penuh kebencian. Lisa cepat tersadar dan langsung buru-buru keluar dari kamar. Revin saat ini sedang mabuk, lebih baik dia tidak membuat masalah. Melihat Lisa sudah pergi, Revin menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.
"Perempuan sialan," gumamnya.
Beberapa waktu kemudian, Lisa masuk kembali ke dalam kamar. Di ambang pintu, ditatapnya Revin yang tidur masih mengenakan jas pernikahan mereka, juga sepatu yang melekat di kakinya. Lisa mendesah, Revin pasti tidak nyaman tidur seperti itu. Dia perlahan mendekat dan membuka kedua sepatu Revin. Lalu dia melangkah ke sisi atas, ragu-ragu tapi kemudian ia memutuskan melonggarkan kancing kemeja suaminya itu.
Baru satu kancing, Revin langsung mencengkeram pergelangan tangan Lisa dan menariknya. Lisa kembali terpekik. Dengan cepat Revin berbalik dan berada di atas Lisa. Ditatapnya wajah Lisa dengan rasa geram.
"Padahal kau tahu aku sangat membencimu, tapi bisa-bisanya kau masih berharap soal seks. Memang yang ada di otakmu cuma seks saja. Dasar perempuan jalang! Rasakan ini!" geramnya, kemudian dengan cepat dia menggigit bahu Lisa kuat-kuat. Lisa menjerit kesakitan, tak menyangka digigit seperti itu. Dengan refleks Lisa langsung mendorong kepala Revin, karena bahunya sudah sakit sekali.
"Berani sekali kau, perempuan jalang!"
Plak!
Revin menampar Lisa membuat Lisa terpekik kesakitan. Air mata Lisa mengalir. Kasar sekali perlakuan Revin padanya. Tanpa memberikan jeda, Revin langsung memagut bibir Lisa dengan rakus, hingga Lisa sulit bernapas. Revin memperlakukan Lisa dengan kasar sehingga hanya rasa sakit saja yang dirasakan oleh Lisa.
*
*
"Kak Revin.. Sakit kak.. Tolong hentikan..aku sedang hamil," rintih Lisa dengan air mata mengalir.
"Diam! Bukankah ini yang kau sukai dariku?" Revin terus melakukan gerakan dengan kasar untuk memuaskan hasratnya.
Lisa menangis karena diperlakukan dengan kasar, sementara Revin tidak memedulikannya. Setelah puas, ia memejamkan matanya karena mulai mengantuk.
Selang beberapa waktu, Lisa masih berdiam di posisinya. "Kak Revin sedang mabuk. Itu sebabnya dia memukulku. Kak Revin pasti sedang tidak sadar. Kak Revin bukan orang yang seperti itu," lirih Lisa berulang-ulang di dalam hati
Pelan-pelan Lisa bergelung ke pelukan Revin. Berharap Revin akan memeluknya, karena begitulah kebiasaan mereka. Setelah bercinta Revin pasti akan memeluknya dengan hangat sampai pagi. Dan kebiasaan itulah yang disukai Lisa dari Revin.
Saat Lisa sudah berada di dadanya, Revin terbangun dan langsung mendorong Lisa dengan kasar? Lisa terpekik pelan karena terkejut. Dia langsung bangkit duduk.
"Apa-apaan kau? Dasar perempuan gila! Keluar dari kamarku sekarang!" bentak Revin.
"Kak Revin, kumohon jangan membenciku seperti ini," lirih Lisa memohon. "Semua sudah terlanjur terjadi. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu. Aku yakin kita pasti bisa bahagia," isaknya dengan nada memelas.
"Bahagia katamu? Hmmpth! Benar-benar konyol! Kau sudah menjebakku! Kau pikir aku orang bodoh menerima keadaan begitu saja? Yang kuinginkan adalah istri yang suci, istri baik-baik, bukan perempuan murahan sepertimu!" teriaknya lagi dengan suara keras.
Air mata Lisa bercucuran. "Kak..."
"Diam kau! Diam! Keluar atau kutendang kau sekarang juga!" ancam Revin penuh emosi. Ditepisnya tangan Lisa yang hendak menyentuhnya.
Revin benar-benar merasa menjadi pria yang paling bodoh di dunia ini, terjebak pernikahan dengan perempuan murahan. Lisa telah membodohinya.
"Kau akan mendapat ganjaran yang setimpal karena sudah berani membodohiku!"
Mendengar itu, Lisa pun segera turun dari ranjang walaupun badannya sudah sakit semua akibat ulah Revin tadi. Lisa takut Revin akan benar-benar menendangnya, itu sebabnya ia langsung keluar dari kamar Revin dengan langkah terseok-seok.
Perlahan Lisa menuruni tangga dan masuk ke satu kamar yang ada di bawah. Begitu kamar itu dibuka, keningnya langsung mengerut.
"Kamar ini kecil," keluh Lisa di dalam hati. Dia naik ke atas ranjang kecil yang ada di sana dan langsung berbaring karena terlalu lelah hanya untuk sekedar ke toilet membersihkan diri."Ugh...," erangnya. Ia memegangi bahunya yang terasa sakit akibat gigitan Revin. Lisa terisak, ingin sekali rasanya dia mencurahkan semua perasaannya, tetapi kepada siapa? Dia sama sekali tidak punya tempat untuk mengadu.Satu-satunya tempat ia pernah menceritakan isi hatinya adalah kepada Dokter Sinta yang adalah seorang psikiater."Tidak, aku tidak boleh ke sana. Jika Kak Revin tahu bahwa aku pernah 'sakit', dia juga akan tahu kalau aku pernah hamil dan keguguran. Itu tidak boleh terjadi! Kak Revin tentu akan semakin jijik padaku. Tidak, sebisa mungkin, jangan sampai Kak Revin tahu. Mudah-mudahan saja Kak Revin tidak akan pernah tahu," liri
Sebelum menikah, tiap mereka melakukan hubungan intim, Lisa terkadang memasakkan sup daging untuk memulihkan staminanya. Dan Revin sangat menyukai sup daging buatan Lisa. Tetapi ternyata segala kebaikan dan perhatian yang diberikan Lisa padanya hanyalah suatu jebakan agar ia terlena kemudian masuk ke dalam perangkap. Melihat sup daging itu, Revin kembali merasa dibodohi oleh Lisa. Tanpa pikir panjang Revin menepis mangkuk berisi sup daging. Prang!! Lisa terpekik. Mangkuk itu terjatuh di dekat kaki Lisa. "Panas...," rintih Lisa dengan wajah nanar. Ia menahan sakit. Beling pecahan mangkuk terserak ke mana-mana. Lisa hanya bisa berjongkok memegang kakinya yang mulai melepuh. Revin terkejut karena mangkuk yang ia tepis mengenai Lisa. Ia berdiri dari kursi. "Kau itu perempuan ular. Itu sebabnya kau tertimpa sial. Tuhan pasti sedang menghukummu!" Revin menghembuskan napas kasar. "Gara-gara kau, aku sudah tidak berselera makan," geramnya. Kemudian ia segera ke luar rumah, meninggalkan ist
Revin bertanya sambil melihat ke sekeliling ruangan. Lisa mengangguk dan bersandar pada punggung sofa. Ia memejamkan matanya. "Pelayan datang di pagi hari untuk membersihkan saja dan membuat sarapan," jawab Lisa. "Sekarang, antarkan aku ke kamar atas," ucapnya kemudian dengan nada memerintah. Revin mendengkus tetapi tak urung dia tetap menggendong Lisa dan membawanya ke kamar atas menaiki tangga. Itu bukanlah hal yang sulit karena Revin rajin berolahraga untuk membentuk ototnya sehingga ia cukup kuat. Revin mendapati sebuah kamar dengan pintu berwarna merah muda di sana. "Lisa, bantu aku membuka pintu kamarmu ini," ucap Revin karena kedua tangannya sedang menggendong Lisa ala pengantin. Dengan malas Lisa memegang daun pintu dan membukanya. Revin pun langsung melangkah membawa Lisa masuk ke kamar peraduannya. Dia membaringkan Lisa di atas ranjang dan kemudian hendak melangkah pergi. "Tunggu, Kak." Tiba-tiba tangan Lisa mencengkeram pergelangan tangan Revin. Lisa langsung duduk kemu
'....berbeda dari yang lain.' Wajah Lisa masih dihiasi senyuman manis. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuhkan jemarinya ke pipi Revin. 'Ini...karena Kak Revin atau karena aku yang belakangan ini tidak pernah melakukannya lagi ya?' 'Um.. atau jangan-jangan karena kedua-duanya?' Lisa terkikik, menutup mulutnya sendiri karena merasa geli akan pikirannya. Memang belakangan ini Lisa tidak melakukan aktivitas itu karena ia lebih sibuk menguntit kehidupan Evans bersama perempuan lain. Dia selalu mencari tahu siapa yang dekat dengan Evans. Tetapi keadaan sudah berubah. Sejak kejadian tadi malam, sejak Lisa merasakan sentuhan Revin, kehadiran Evans di dalam otaknya langsung lenyap. Lisa ingin mengulanginya lagi pagi ini, tetapi Revin masih tidur. Bibir Lisa mengerucut manja. Ia mulai mengetuk-ngetuk pelan ujung jarinya pada hidung mancung Revin. "Bangun, Sayang," ucapnya kemudian dengan mesra tetapi Revin tidak menggubris. Lalu untuk kedua kalinya Lisa mengetuk-ngetukkan ujung jariny
Ia mengerlingkan sebelah matanya sambil menjulurkan lidahnya sekejap dengan gerakan centil. Melihat itu, Revin menghela napasnya pelan. "Lisa memang wanita penggoda," ucapnya dalam hati. "Tidak. Aku mau kopi," jawab Revin sambil tersenyum dengan tenang. "Okay." Lisa menuangkan susu di gelas untuknya sendiri tanpa memanaskannya lalu segera dengan cekatan membuatkan kopi untuk Revin. "Ini, Sayang," ucapnya lembut sambil menyodorkan pelan satu cangkir kopi dan duduk di samping Revin. "Makasih ya." Revin menyesap kopi tersebut. Aromanya menguar tajam dan sangat nikmat di lidah. "Unik rasanya," ucap Revin sambil menyesap kembali kopinya. "Itu kopi dari daerah Sidikalang. Papaku kadang ke Sumatera karena urusan bisnis. Dia membawa kopi itu dari sana karena dia suka sekali kopi itu. Kalau papaku kemari menjengukku, aku biasanya akan membuatkan itu untuknya," ucapnya sedikit berbohong. Sebenarnya Lisa sendiri yang memesan kopi itu dari sana. Berharap suatu hari nanti ayahnya datang mene
Revin melajukan mobilnya. Ada Anna di sampingnya. Hari ini dia akan melakukan kencan dengan perempuan ini sesuai perintah Renata, mamanya. Revin hanya diam. Anna juga memutuskan untuk diam saja. Walaupun di awal dia ingin berjuang agar perjodohan mereka berhasil, tetapi mendengar kata-kata Revin yang pedas tadi tentang dirinya yang suka membully, membuat nyalinya ciut. Apalagi semua yang dikatakan Revin benar adanya. Sesampainya di sana, Revin dan Anna memutuskan duduk di tempat yang disediakan di sekitar bioskop tersebut. Karena masih ada dua puluh menit lagi film itu akan diputar, mereka pun memesan minuman dan camilan sembari menunggu. "Ada apa, Kak?" tanya Anna yang tanpa sengaja melihat Revin meliriknya. Anna juga pernah sebentar menjadi pacar Evans karena perjodohan, tetapi Evans memutuskannya karena tidak ada rasa cinta di hati Evans untuknya. "Kau sebelumnya berpacaran dengan Evans. Seberapa jauh hubungan kalian?" tanya Revin bersikap dingin. Terhadap Lisa, Revin tidak begi
"Baguslah kalau begitu. Aku pulang duluan," ucapnya ketus. Anna mengangguk pelan. Revin pun langsung meninggalkannya sendirian di sana.Begitulah kencan Revin dan Anna berlangsung dan berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. Walaupun terlihat gampangan, tetapi sebenarnya hati Revin memang sulit untuk ditaklukkan. Semua mantan pacar Revin adalah perempuan yang cantik. Tetapi Revin tanpa ragu akan langsung memutuskan hubungan begitu mengetahui sifat jelek wanitanya yang tidak bisa ditolerir lagi. Revin juga adalah tipe lelaki yang sulit percaya pada mulut perempuan. Apalagi jika perempuan itu memiliki nama yang tidak baik di lingkungannya.***Tiba malam."Benar-benar membosankan!" Revin menguap sambil membaca sekilas apa yang ia ketik barusan. Revin pun teringat akan kencannya tadi. Berkencan dengan Anna adalah hal yang konyol bagi Revin. Dan yang paling membosankan adalah ketika tadi ia pulang k
Lalu kemudian dia mengangguk. "Aku membawakan Kakak bekal makan siang. Kakak sudah makan belum?" tanya Lisa bersemangat. "Wah, belum. Seriusan nih, kau membawa bekal untukku?" tanya Revin bersemangat. Teringat masakan Lisa kemarin begitu lezat, rasanya dia ingin mencoba lagi masakannya. "Iya, biar Kak Revin tahu bahwa aku tidak hanya bisa memasak nasi goreng saja. Tetapi masakan yang lain juga. Aku yakin buatanku pasti enak!" jelasnya dengan antusias. "Jadi nggak sabar nih. Kita makannya di kafe aja yuk. Yang dekat sini," ajak Revin kemudian. "Kenapa nggak di kantin aja, Kak? Kan lebih dekat?" tanya Lisa. Revin sedikit bingung menjawabnya. "Um. Menurutku lebih nyaman di sana," jawab Revin asal. "Padahal di sini kantinnya nyaman aja tuh. Tapi, okay deh, Kak." Lisa tersenyum menyetujui. Tidak mau terlalu membantah. Lisa yakin pasti Revin punya seseorang di kampus ini. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. Di kafe dekat kampus, mereka memesan makanan untuk Lisa dan juga kopi un