Makan malam berjalan lancar. Mungkin itu bagi Tiara sama Bram. Karena tanpa mereka sadari ada yang menahan rasa sakit hatinya sejak tadi karena ucapan Tiara yang terus tak terkontrol dan entah kenapa karena semua itu. Alea makin yakin kalau Tiara tau sesuatu dan sengaja mengundang dirinya hanya untuk membuat dia jadi sakit hati saja.“Ini udah jam sembilan malam, kamu masih mau Alea di sini atau suruh supir siap-siap biar antar dia pulang?”“Kayaknya ... aku mau Alea nginap di sini aja deh, mas!” seru Tiara dengan cepat sambil meluk lengan suaminya. “Boleh ya mas ... aku beneran seneng banget, akhirnya ada teman di sini. Setelah yang kamu tau aku ini selalu cari teman selama ini. Tapi pada akhirnya aku bisa ada di titik ini. Boleh ya .. aku beneran nyaman banget sama bawahan kamu ini.”Alea terdiam hanya bisa menatap mereka tanpa mengatakan apa-apa. Ia hanya ingin pulang tapi apa daya kalau Tiara malah mengatakan seperti itu? Membuat dirinya semakin susah pergi dari sini dan terjebak
Alea speechless. Bahkan ia nggak tahu harus menjawab apa. Semuanya terlalu tiba-tiba dan satu pertanyaan yang hinggap di benak dia. Kenapa di antara banyaknya perempuan harus dia? Diantara banyaknya orang yang ada di sekeliling Bram, terus harus dia yang di pinta seperti ini?Kenapa ...“Alea?” panggil Tiara sambil mengguncang tubuh Alea hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Kamu melamun? Kamu nggak dengar cerita saya dari tadi?”Alea langsung menggeleng.“Saya turut sedih sama apa yang di alamin sama nona,” ucap Alea yang kembali formal merasa perbincangan mereka cukup serius. “Saya nggak mengira kalau tuan yang segitu bucinnya sama nona ternyata bisa selingkuh. Tapi di sini saya masih nggak paham kenapa nona meminta bantuan saya di saat saya itu pegawai tuan yang berarti saya fokusnya sama pekerjaan bukannya sama tingkah laku tuan Bram.”“Kamu kan sekretarisnya.”“Lalu?”Tiara menghela napas dalam dan menatap serius ke arah Alea.“Gini deh ... di antara seluruh pegawai mas
Semakin hari, hidup Alea hanya terus mikirin omongan Tiara saja. Pada awalnya Alea memilih untuk nggak cerita sama Bram karena dia rasa, dirinya bisa melewati ini sendirian. Tapi semakin di pikirin sendiri, yang Alea dapatkan hanyalah kepusingan sendiri aja. Dan kini dia nggak tahu harus melakukan apa lagi.Ia menyerah ...Alea mengeluarkan ponselnya dan memilih menghubungi Bram. Dia butuh Bram di saat seperti ini. Tapi akhir-akhir ini Bram sulit sekali untuk di hubungi. Bahkan laki-laki itu nggak sempat untuk sekedar datang ke apartemen.“Ck ... kemana sih?”Alea terus menggerutu. Beberapa panggilan yang masuk. Nggak ada yang di angkat sama sekali. Ia menoleh dan melihat jam nunjuk pukul tujuh malam dan seharusnya Bram itu udah ada di rumahnya.“Kalau memang dia udah fokus sama istrinya itu dan nggak butuh aku. Aku bisa pergi. Walaupun aku belum siap kehilangan kebahagiaan ini. Tetap aja kalau Mas Bram sendiri yang minta. Aku beneran bakalan pergi karena jarang sekali mas Bram yang b
Sekarang udah jam setengah satu malam tapi orang yang berjanji akan datang belum menampakkan diri sama sekali. Sementara itu, Alea memeluk dirinya sendiri dan menarik napas dalam. Dia sungguh nggak paham kenapa mau aja datang kesini. Dengan keadaan dirinya seorang diri, perempuan dan ada di tempat yang cukup sepi.Alea mengaduk kopi hangat yang ia pesan dan mengusap tubuhnya itu.“Huh ... kemana lagi, dia yang bikin janji. Tapi aku yang harus nunggu.” Perempuan itu hanya bisa diam dan memangku wajahnya dengan salah satu lengannya yang kosong. “Di sini tuh sebenarnya aku penasaran banget deh ... dari kecil kenapa aku selalu nggak di hargain kayak gini sih? Kayak ... setiap orang nggak bisa gitu ngehargain apa yang aku—Teng ...Suara lonceng yang beradu dengan pintu membuat Alea mengalihkan pandangan dan ia langsung tersenyum lega saat melihat Bram yang masuk ke dalam. Laki-laki itu langsung melambaikan tangan ke arah dirinya dan mesan makanan sebelum duduk di hadapannya.“Ada apa?”Ke
Satu minggu kemudian, Dari hari ke hari Marhen benar-benar masih nggak paham sama dirinya sendiri. Sampai dia kembali ke rumah dan mendengar cerita Tiara tentang kakak tingkat yang di maksud itu benar-benar membuat perasaan dan hatinya jadi nggak enak sama sekali. Seolah dia juga nggak tahu harus merespon seperti apa selain anggukan. Walau akan berakhir Tiara yang kesal bukan main karena Marahan nggak bisa di ajak mengobrol sama sekali. Laki-laki itu menatap temannya yang baru saja ia ceritakan isi hatinya selama ini. Kamal, namanya. “Jadi ... menurut lu, apa sih yang buat gue kayak gini? Buat perasaan gue nggak nentu tiap harinya? Kayak ... gue sendiri nggak paham apa yang sebenarnya terjadi di sini. “ Kamal mengernyit lalu tertawa. “Ini sebenarnya lu nanya kayak gini tuh sadar nggak sih?” gertak Kamal yang geregetan sendiri. “Maksudnya?” “Itu sama artinya lu punya perasaan sama Tiara alias istri lu itu dan yang buat perasaan lu kayak gini tuh ya karena cemburu. Lu masih nggak
Setelah mulai menenangkan diri, Alea bangkit dan menatap cermin di depannya. Wajah yang merah dan mata bengkak langsung memenuhi pandangan Alea. Ia tertawa sinis saat melihat wajahnya.“Aku kayak nggak kenal sama diri aku sendiri,” gumam Alea. “Kemana diriku yang dulu. Sekarang aku hanyalah perempuan yang memalukan dan nggak ada gunanya.”Alea menunduk dan menghela napas. “Udahlah ... Menyesal juga nggak ada artinya, yang penting aku harus siap lewatin semuanya dan berusaha buat kasih yang terbaik untuk ke depannya. Ya ... aku harus semangat apapun yang terjadi.”Alea berusaha menyemangati dirinya sendiri, moodnya pun sudah membaik. Alea memilih keluar dari kamar mandi."Kamu masih di sini?" tanya Alea saat melihat Bram masih duduk di sofa. Hanya dehaman yang terdengar sama Alea."Sebenarnya apa sih yang kamu khawatirkan? Saya udah kasih semuanya buat kamu dan kamu tinggal duduk manis aja di hidup saya. Tapi kenapa belakangan terakhir kamu malahan mulai berontak? Kamu udah nggak suka
Alea nggak tahu kalau akhirnya akan begini. Dua laki-laki yang singgah di hidupnya akan bertemu satu sama lain. Berdiri saling berhadapan dan menatap dengan penuh tanda tanya serta pandangan yang berbeda. Bram yang marah dan Chris yang ingin tahu siapa laki-laki itu.Tidak ingin membuat suasana kacau, Alea langsung menarik keduanya masuk ke dalam apartemen dan menutup pintu dari dalam."Alea ... bisakah kamu jelasin siapa dia? Dan kenapa bisa ada di dalam apartemen kamu?" tanya Chris dengan tegas. “Bukannya kamu benci ada orang asing di apartemenmu?” lanjut Chris tanpa basa-basi.“Asing?” seru Bram dengan kesal. “Apa orang yang membelikan apartemen ini untuk Alea masih termasuk orang asing?”Alea menatap bingung. Lidahnya kelu, nggak tahu harus menjelaskan apa sama Chris tentang Bram. Ia nggak mungkin jujur gitu aja. Ia takut ... mengecewakan salah satu dari mereka."Kenalkan ... saya adalah pacar Alea," jelas Bram dengan tegas sambil menjabat tangan Chris. "Saya yang selama ini mengh
Bram dan Chris.Dua laki-laki yang membuat Alea selalu pusing. Tingkah yang berbeda membuat Alea terkadang merasa hidupnya jadi terkekang. Karena mereka juga gerak hidupnya terbatas bahkan ia nggak bisa bergerak bebas karena ulah mereka dan kini?Dua orang itu malahan ada di depannya. Saling memendam perasaan emosi satu sama lain. Menyisakan Alea yang bingung harus berbuat apa sama mereka. Karena nggak ada yang berniat meninggalkan apartemennya sama sekali.“Aku nggak tahu lagi harus jelasin apa sama kalian, dari tadi kalian cuma diam aja dan nggak ada yang mau dengerin aku sama sekali. Kalian juga nggak ada niatan mau ngomong apapun.”Alea mengangkat dua tangannya.“Sekarang terserah kalian deh, aku nggak bakalan ngurus lagi. Mau mas Bram dan abang Chris pulang juga silahkan. Atau kalian berdua mau berantem juga nggak masalah.”Ia menepuk dadanya dan menarik napas dalam. “Sekarang yang aku butuhin cuma ketenangan. Jadi, harusnya kalian ngerti.” Alea beranjak dan masuk ke dalam kamarn