Share

Bab 6. Maaf

Dengan cepat, Haikal membawa tubuh Zee ke atas tempat tidur. "Naya!" Dia masih memanggil Zee. Wajah paniknya sudah berubah menjadi wajah khawatir.

Haikal mengambil ponsel miliknya yang ada di atas meja. Dia mencari nomor telepon seseorang. "Om. Naya pingsan. Aku harus gimana?" Ucapnya langsung, saat panggilannya sudah tersambung.

"Dokter? Ah, iya. Maaf. Aku sudah kelewatan tadi. Aku tutup dulu dan manggil Dokter. Iya, Om." Haikal mencari nomor lain setelahnya.

"Maaf, Naya." Haikal duduk di tepi ranjang, sambil menunggu Zee yang sedang diperiksa seorang dokter. "Bagaimana, Kak?" Tanyanya.

"Tidak apa-apa. Tapi jangan buat dia panik lagi setelah ini. Paham!" Dokter cantik dengan rambut disanggul tinggi itu tersenyum, saat Haikal mengangguk. "Bukankah kamu janji bakalan jaga dia? Jadi, lakukanlah pendekatan awal yang baik itu langkah yang penting! Kalau kamu buru-buru begini, dia cuma bakal mendorong kamu pergi jauh."

Haikal menunduk. Dia merasa bersalah karena telah memaksa Zee langsung menerima keberadaannya. "Aku cuma gak tahan mengingat dia nangis sendirian di club waktu itu. Padahal aku sudah janji bakal menjaganya dia dari jauh saja." Dia benar-benar menyesal.

Dokter itu mengelus kepala Haikal dengan sayang. "Kakak akan dukung apapun keinginan kamu. Tapi sebelum terlambat, ayo perbaiki pendekatan kalian."

Haikal mengangguk. Dia masih menunduk. Tidak berani menatap mata Kakaknya. Dokter cantik itu adalah kakak kandungnya.

"Ya sudah. kakak pulang dulu." Pamitnya. Haikal mengantar Kakaknya keluar. Setelah itu, Haikal kembali lagi ke dalam kamarnya. Berbaring di sebelah Zee yang sudah tertidur, setelah diberi sebuah suntikan.

***

Mata hari bersinar dari celah gorden jendela. Zee merasa Dejavu. Kemarin dia juga terbangun di tempat seperti ini. Pinggangnya yang terasa berat karena pelukan tangan seseorang juga masih sama seperti kemarin.

Ah, aku berakhir lagi di ranjang pemuda tengil ini lagi. Batinnya.

"Sudah bangun? Mau sarapan sekarang? Aku buat bubur tadi. Aku ambil dulu, ya." Haikal tidak menunggu jawaban dari Zee lagi. Pemuda itu sudah keluar dari kamarnya, dan meninggalkan Zee yang masih mengumpulkan kesadarannya.

"Kok, aku lupa kejadian semalam, ya? Aku ingat pergi ke kamar mandi, terus...?" Gumamnya. Zee sepertinya melupakan sesuatu, tapi saat dia mencoba mengingatnya, dia malah sakit kepala.

"Kenapa?" Haikal yang baru masuk, langsung panik, saat Zee memegang kepalanya. "Sakit ya? Aku panggil dokter."

Zee mencekal tangan Haikal. Berlebihan sekali jika memanggil dokter, hanya karena sakit kepala sedikit seperti ini. Dia masih bisa menahannya. "Mana buburnya?" Tanya Zee.

"Hah? Ah, ini. Pelan-pelan masih agak panas." Haikal menyiapkan meja kecil untuk tempat makan Zee. Dia juga merapikan rambut Zee yang menjuntai tak beraturan, karena habis bangun tidur.

"gak kuliah?"

Haikal menggelengkan kepalanya. "Aku bolos buat jaga kamu." Jawabnya.

Zee keheranan. "Buat apa ngejaga aku? Jangan bilang karena kamu takut aku kabur!" Zee baru ingat, jika kemarin Haikal mengurungnya di sana.

Haikal menggeleng kembali. "Kemarin malam kamu pingsan."

Zee menatap mata Haikal, mencari kebohongan di sana. Tapi sepertinya memang benar, karena hanya ada kekhawatiran dari mata pemuda itu.

"Pasti gara-gara aku kelaparan. Kamu sih, pakai nawarin makan, tapi makan tapi malah dimakan sendiri." Sewot Zee. Dia tidak marah karena telah dikurung. Zee lebih khawatir pada mata pemuda itu yang terlihat sedih. Entah mengapa dia jadi merasa tidak tega.

"Maaf." Haikal menundukkan kepalanya. Dia terlihat begitu menyesal. Wajah tengilnya tiba-tiba saja hilang.

"Habis ini, antar aku pulang. Aku mau ke kantor."

Haikal tidak membantah. Dia mengangguk patuh.

"Ambilkan tas ku." Zee memberi perintah, dan Haikal langsung melakukannya. Sangat mengasikan.

Haikal Kembali dengan benda yang Zee minta. "Siapkan air. Habis ini, aku mau mandi." Titah Zee lagi. Haikal dengan patuh pergi menyiapkannya. Membuat Zee tersenyum senang. Coba bocah itu patuh seperti ini sejak kemarin, pasti Zee tidak akan marah-marah padanya.

"Sayang. Airnya sudah siap. Apa perlu ku gendong ke sana?"

Zee mengangguk. Kapan lagi dia mengerjai bocah tengil itu. Entah sampai kapan sikap patuhnya ini. Jadi Zee harus memanfaatkannya dengan baik.

Haikal mengangkat Zee dengan mudahnya. Membawanya masuk ke kamar mandi. "Aku bantu buka bajunya." Ujarnya.

"Eh, eh.... gak! Sudah cukup. Kamu boleh keluar." Panik Zee.

"Kata mama, membantu orang itu tidak boleh setengah-setengah. Jadi, ayo sini."

"Haikal!" Pekik Zee. Bocah itu sudah kembali ke sifat tengilnya. Lihat senyum miring, mirip seringai itu. Menyebalkan sekali. "Keluar, atau aku teriak nih!"

Pemuda itu memanyunkan bibirnya. Tapi kali ini, dia tidak akan memaksa. Haikal keluar dari kamar mandi dengan patuh. Lagi pula, dia sudah cukup senang, karena Zee tidak mendorongnya menjauh. Benar kakaknya. Dia harus melakukan pendekatan dengan pelan-pelan.

Haikal menunggu Zee di kamarnya. Merapikan tempat tidur, lalu beralih pada barang-barang milik Zee. Saat itu, ponsel Zee berdering. Menampilkan sebuah nama laki-laki. Haikal menolak panggilannya. Kalaupun penting, orang itu bisa menelepon lagi nanti.

Tapi ponsel Zee berdering kembali. Kali ini Haikal mengambilnya, dan mau memberikannya pada Zee. khawatir itu telepon penting, karena sudah dia tolak, tapi menelepon kembali.

"Tunggu bentar." Haikal melihat nama penelepon itu sekali lagi. Rahangnya mengeras setelah itu. Sepertinya dia baru saja ingat, siapa pemilik nama itu.

Haikal mengurungkan niatnya untuk memberikan ponsel itu pada Zee. Dia membawanya keluar, dan menuju balkon. Haikal menerima telepon itu. Suara seorang pria terdengar dari seberang.

"Maaf ini siapa? Naya lagi di kamar mandi. Anda bisa meninggalkan pesan, saya suaminya."

Haikal menyeringai saat ada makian yang pria dari seberang telepon, lontarkan padanya. Jelas pria itu tidak akan percaya begitu saja, meskipun Haikal mengatakan jika dia suami Zee.

"Sayang, ada telepon dari orang bernama Ferdi. Apa? Dimatikan saja? Orang tidak penting? Oh, okey. Kamu masih sulit jalannya? Butuh bantuan tidak." Haikal berceloteh sendiri. Mengabaikan suara pria itu yang masih memakinya. Lalu mematikan ponsel Zee, agar pria brengsek itu tidak menelepon kembali.

"Haikal!" Suara panggilan namanya dari dalam kamar, membuat pemuda itu berjengit. Dia kira Zee sudah ada dibelakangnya dan mendengar apa yang dia katakan ditelepon. Untung saja, Zee memanggilnya dari dalam kamar.

"Apa sayang?" Tanya Haikal begitu kembali ke dalam kamarnya.

"Lihat ponselku tidak? Tadi ada di sini."

"Oh, ini. Tadi kulihat baterainya habis, jadi mau ku charge di luar." Kilahnya. Dia juga sudah menghapus riwayat panggilannya tadi.

Zee melihat ponselnya yang sudah mati. Untungnya dia tidak curiga, dan percaya saja pada ucapan Haikal. "Ya, sudah. Nanti ku charge di apartemen saja." Katanya, seraya memasukkan ponsel itu ke dalam tas.

"Sudah siap? Yuk, aku antar." Haikal mengulurkan tangannya. Tapi tentu saja ditolak.

"Apa sih. Kayak bocah aja, minta di gandeng. Oh, maaf, memang masih bocah." Cibir Zee.

Haikal tidak marah. Tapi dia pura-pura sedih dan merasa tersakiti. "Jahat banget, sih! Biarpun aku lebih muda, tapi gak gitu juga 'kan, ngatain aku bocah." Aktingnya.

Berhasil. Zee jadi merasa bersalah, dan Haikal langsung bersorak dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status