Share

Bab 7. Haikal Terluka

Haikal mengantar Zee menuju Apartemennya. Sebelum pergi ke kantor, Zee ingin berganti pakaian lebih dulu. Mana mungkin dia akan pergi bekerja dengan baju yang sama seperti kemarin.

Haikal menunggunya di tempat parkir. Jadi, begitu Zee selesai, mereka bisa langsung berangkat. Pemuda itu siap sedia menjadi sopir hari ini.

“Harusnya kamu pergi kuliah saja,” ujar Zee, yang jadi merasa tak enak hati, karena sudah membuat pemuda itu mengantarnya ke mana-mana. “Aku bisa pergi sendiri.” Imbuhnya.

Pemuda yang sedang fokus pada jalan raya itu mengabaikan Kata-kata Zee. Merasa diabaikan Zee mendengus kesal. “Masih marah? Aku ‘kan sudah minta maaf.” Mana dia tahu kalau Haikal tidak senang saat di panggil dengan sebutan bocah.

Keheningan terjadi selama perjalanan. Bahkan ketika sampai di kantor pun, Haikal masih mendiamkan Zee. ‘Benar-benar bocah. Begitu saja ngambek!’ Zee mengatakannya dalam hati. Khawatir kalau ia bilang langsung, bocah ini malah akan tantrum.

Haikal turun lebih dulu. Ia membukakan pintu untuk Zee. Meskipun sedang dalam mode merajuk, Haikal masih bersikap manis padanya. Tapi begitu Zee sengaja menatap mata bocah itu, ia malah memalingkan wajah. Sungguh menyebalkan sekali tapi lucu di waktu bersamaan.

Sebelum Haikal ingin pergi, Zee sudah menahan tangannya lebih dulu. “Katakan dulu apa maumu? Kamu bersikap begini karena menginginkan sesuatu ‘kan?” sudah dapat ditebak apa mau dari bocah ini. Pastinya dia sedang mencari perhatian. Membuat Zee malah gemas sendiri.

Merasa menang. Haikal mendekatkan wajahnya. “Cium aku,” ujarnya dengan senyum tengil. “Ayo! Buruan!”

Zee jadi menyesal telah berusaha membujuknya. Tahu seperti ini, Zee akan biarkan saja pemuda ini pundung dan menjauhinya saja. Apalagi senyum miring yang menjadi ciri khas dari Haikal, membuat Zee kesal.

Dari kejauhan. Tepatnya area parkir kantor pintu gerbang samping. Tanpa sengaja Ferdi melihat Zee dan Haikal dalam posisi yang sangat dekat. Dia baru saja sampai dan melihat hal itu.

Bahkan dari sudut pandangnya, keduanya terlihat sedang berciuman saat ini. Dengan membawa kemurkaan, Ferdi mendatangi mereka. Berniat melabrak mantan pacarnya itu.

“Oh, jadi dia yang mengangkat telepon dariku?” Katanya, sambil menunjuk-nunjuk muka Haikal. "Kamu membuatku bersalah, karena ingin berpacaran dengan dia 'kan?" Tuduh Ferdi.

Zee tidak paham, Telepon apa? Bukankah ponselnya mati sejak tadi pagi? Atau, adakah hal yang dia lewatkan pagi ini?

“Kalau iya, memangnya kenapa? Tidak terima? Kami menghabiskan dua hari ini bersama. Lalu kenapa?” Haikal malah mendekat dan menantang Ferdi. Tidak merasa gentar meski badan Ferdi lebih besar darinya.

Ferdi semakin murka dan tidak terima karena diremehkan. Ia melayangkan pukulan ke wajah Haikal. Pukulan pertama meleset, Haikal lebih gesit dari Ferdi. Pemuda itu masih sangat energik di usianya.

“Sialan!” Ferdi tidak mau kalah. Ia menerjang Haikal dan kembali melayangkan pukulan dengan tinjunya. Dua pukulan berhasil mendarat di wajah tampan Haikal, sementara wajah Ferdi sendiri sudah bengkak, karena pemuda itu tidak tinggal diam. Baku hantam itu berakhir saat satpam berhasil memisahkan mereka.

“Haikal!” Zee mengkhawatirkan pemuda itu. Tadi dia berlari memanggil satpam, karena teriakannya tidak keduanya gubris. Ferdi dibawa pergi. Pasti setelah ini, dia akan mendapat sangsi karena berkelahi.

Untungnya Haikal masih baik-baik saja. Tadi Zee sangat khawatir akan terjadi sesuatu pada pemuda itu. Mengingat Ferdi memang orang yang temperamental.

Zee membawanya Haikal masuk ke kantor untuk diobati. Para karyawan yang menyaksikan pertarungan itu, kini mencuri lirik pada keduanya. Mereka tentu penasaran, siapa yang manajer pemasaran itu bawa ke kantor.

Zee duduk di samping Haikal yang terluka, dengan hati yang penuh perhatian. Wajah Haikal terdapat dua memar. Di atas mata kanan dan sudut bibirnya. Zee memegang botol obat dan perlahan mengoleskannya ke luka tersebut.

“Aku baik-baik saja.” Haikal masih sempat menolak untuk di obati. “Jauhkan itu! Nanti mukaku perih!” keluhnya. Dia memundurkan wajahnya sedikit menjauh.

"Tenanglah, Haikal," ucap Zee dengan lembut. "Obat ini akan membantu menyembuhkan luka wajahmu." Haikal ingin menahan rasa sakit karena melihat perhatian Zee tertuju padanya.

“Kalau takut perih, jangan berkelahi. Untuk apa kamu tambah menantang pria itu,” Omel Zee. Agar tidak menjadi tontonan lebih lanjut, Zee membawa Haikal masuk ke dalam ruang kantornya.

“Habisnya ... dia yang membuatmu menangis ‘kan? Coba saja tidak dilerai, pasti habis dia di tanganku!" Zee tersenyum dan meletakkan botol obat di meja samping mereka.

“Dasar bocah!” Tanpa sadar Zee mengucapkan kata itu lagi. Membuat Haikal kembali menekuk wajahnya. Ah, sial!

Zee menatap Haikal dengan rasa curiga. "Apa yang kamu rencanakan, Haikal?" Bukan wajah merajuk yang pemuda itu tampilkan, melainkan senyuman tengilnya. Padahal sedetik tadi, ia menekuk mukanya.

“Cium aku sebagai permintaan maaf!” tuntutnya. Wajahnya berjarak satu senti dari bibir Zee.

Sudah Zee duga. Pasti ada saja ide Haikal untuk mengambil keuntungan padanya. Dua hari ini sudah cukup Zee mengenal karakter pemuda ini.

Tapi jangan di kira, Zee akan termakan permainan bocah itu lagi. Kali ini, giliran Zee yang akan membuatnya kesal.

Zee menarik tengkuk pemuda itu. Mendekatkan wajah mereka. Membuat Haikal senang, karena merasa keinginannya tercapai.

Tapi ia harus kecewa, karena Zee bukan ingin menciumnya, melainkan mengobati wajahnya. Zee malah tertawa melihat raut kecewa pemuda itu.

Tidak terima dipermainkan. Haikal menangkup wajah Zee dan menciumnya. “Harusnya begini!” ujarnya.

“Kamu!” Zee ingin marah, tapi Haikal kembali melumat bibirnya.

“Manis,” ujar Haikal.

Wajah Zee memerah. “Haikal!” Serunya.

“Ya, sayang?” Haikal menjawab masih dengan senyum tengilnya.

Zee memukul lengan Haikal dengan sekuat tenaga. "Sialan! kenapa kamu suka sekali mengambil kesempatan begini!" Kesal Zee.

"Memang kenapa? Waktu di Club kemarin, kamu malah yang mengambil kesempatan yang banyak dariku. Biar ku ceritakan, saat kamu naik kepangkuan ku dan menciumiku lebih dulu." Haikal semakin tersenyum saat Zee mulai mengingat kejadian di Club.

Bodoh! Zee meruntuki kebodohannya. "Itu karena efek mabuk!" Zee mencoba berkilah.

"Jadi harus mabuk dulu, baru ada Zee yang nakal seperti kemarin?" Haikal menyeringai nakal ke arah Zee.

"Mana ada!" Sewot Zee.

aawww

Haikal berteriak karena Zee menekan lukanya. "Rasakan itu, kalau masih memikirkan hal lain."

Pemuda itu meringis. "Jahat banget, sih! Sama pacar sendiri!"

"Siapa yang pacar kamu?" Seharian kemarin saja, dia sudah dibuat kesal. Hari ini juga sepertinya dia hanya akan kesal.

"Kamu lah!" Sambil meringis, Haikal memamerkan deretan giginya dengan tersenyum.

"Kapan aku bilang mau jadi pacarmu?" Dengus Zee.

"Kalau begitu akan ku ulangi." Haikal mendekatkan wajahnya kembali. "Zenaya, jadilah pacarku. Aku tidak akan seperti pria bajingan itu. Aku hanya akan ada untukmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status