Share

Musuh dalam Selimut

Semua orang dibuat terkejut dengan ucapan Mira yang begitu percaya dirinya meminta do'a agar hubungannya dengan Danu langgeng. Nindya dan Reno yang sedang berhadapan saling menatap terbelalak. Dengan kompak mereka geleng-geleng kepala.

"Aw!"

Saking terkejutnya mendengar Danu dan Mira sudah jadian, jari Ve sampai tergores alat pemotong. Beruntung dia sadar dan segera mengangkat tangan, jika tidak bisa ikut terpotong itu jari.

Mendengar suara rintihan, Nindya segera meletakkan garapan bukunya dan berlari mendekati Ve. "Kamu nggak papa, Ve?"

Ve mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja kok. Cuma kurang fokus aja."

"Cie. Ada yang baper nih. Nggak terima ya? Kalau Danu lebih suka sama aku? Ya jelas lah Aku lebih cantik."

Mira berseru sambil mengibaskan rambut dengan genitnya. Urat malunya benar-benar seperti sudah putus berlaku demikian di depan para pelanggan.

Para pelanggan termasuk Vito hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menatap Ve dengan iba, rasanya ingin sekali merangkul gadis berhidung mancung itu, akan tetapi dia sadar bahwa hubungannya dengan Ve hanya sebatas pelanggan dan pelayanan jasa.

Tanpa diduga, Nindya mengepalkan tangan lalu berjalan mendekati Mira dan Danu. "Heh! Cewek ganjen, bisa jaga sikap sedikit nggak sih?"

"Apa-apaan kamu, Mba?" Danu seakan tidak terima gadis yang katanya sekarang jadi kekasihnya di dorong cukup keras hingga terhuyung.

"Kenapa? Kamu nggak terima? Jadi manusia meskipun tidak punya hati setidaknya punya otak, Dan. Jangan egois!"

Suasana gerai menjadi ramai dengan perdebatan Nindya, Danu dan Mira. Sebagai seorang senior yang paham betul duduk permasalahannya, tentu gadis berponi itu tidak terima Ve diperlakukan semena-mena.

Ve memperhatikan keadaan sekitar, pelanggan yang semula hanya beberapa kini sudah semakin banyak. Mereka berbaris sambil menonton keributan di gerai.

"Sudah. Sudah. Nggak malu kalian diliatin banyak orang? Ayo, kembali kerja," sela Ve sambil mengajak Nindya kembali ke tempat.

Kini semua kembali ke pekerjaan masing-masing, mengingat semakin banyak pelanggan yang datang, pekerjaan yang sebelumnya ditinggal dulu karena memang tidak ditunggu sang pemilik. Mereka melayani yang di depan mata.

"Mba Ve, yang sabar yah," ucap salah satu mahasiswi dengan iba.

Meskipun hatinya hancur berantakan, Ve memaksakan seulas senyum. "Haha, aku nggak papa kok, Mba. Lagipula aku sama Danu sudah putus, jadi hak dia mau jadian sama siapa saja."

Vito yang sedari tadi masih menunggu pesanannya jadi, hanya bisa memandang Ve. Ada banyak kata yang ingin diucapkan, akan tetapi lidahnya terasa begitu kelu hingga dia hanya bisa diam.

Danu dan Mira benar-benar seperti manusia yang tidak tahu malu. Disaat banyak pelanggan, sempat-sempatnya dia bermesraan terlebih dahulu. Meskipun sambil mengerjakan tugas, tetap saja hal itu tidak pantas untuk dilihat.

Para pelanggan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Maklum lah, lagi kasmaran dan pembuktian mungkin," seloroh salah satu pelanggan.

"Pembuktian bahwa bisa mengambil milik teman sendiri?"

Hahahaha

Sialnya sindiran dari para pelanggan tersebut seakan tidak digubris Danu maupun Mira. Dunia seperti milik mereka berdua. Hal itu membuat Nindya semakin mendidih.

"Ish, kamu kok diem aja sih, Ve? Labrak atau apa kek."

Ve terkekeh. "Memangnya aku ini siapa, Mba? Aku hanya orang yang tiba-tiba datang dan dijadikan tempat berlabuh dikala hati Danu kosong. Sekarang mungkin Danu sudah menemukan tambatan hatinya yaitu Mira."

Nindya geleng-geleng kepala. Dia heran kenapa Ve bisa setegar itu. Kalau dia yang ada di posisi Ve, mungkin sudah jambak-jambakan sama Mira.

Sebenarnya Ve tidak setegar itu juga, saat ini hatinya sedang menangis perih meratapi nasib cintanya yang hanya dipermainkan. Akan tetapi tujuan dia di BCC bukan untuk mencari cinta, melainkan mencari rezeki. Cinta hanya penambah semangat yang nyatanya malah menambah drop. Ve menjadi sudah fokus sejak kejadian itu.

"Sabar y, Ve. Aku ada disini kok," ucap Reno menghibur.

"Ah, kamu mah kesempatan aja," sahut Ve meledek.

Semenjak Mira mengumumkan status hubungannya dengan Danu, kini hadir berkulit putih itu jarang bergabung dengan Ve dan juga Nindya. Dia lebih suka menghabiskan waktu dengan Danu. Begitupun di mess, Mira lebih memilih sendiri.

Sementara Ve dan Nindya sendiri juga enggan mendahului untuk menyapa, mereka hanya berkomunikasi disaat yang terpaksa saja. Sekat diantara mereka benar-benar terasa.

Pagi harinya, seperti biasa Nindya bertugas membeli lauk untuk sarapan dan makan siang di gerai. Dia pasti akan menanyakan pada teman-temannya menu hari itu.

"Ve, Ren. Kalian pada pengen makan sama apa?"

Dua manusia yang ditanya itu kompak berfikir dan menjawab. "Sayur aja, biar sampai siang."

"Mmm… Mira sih ingin sarapan bubur ayam, kalau kamu apa, Sayang?" sambung Mira yang sedang duduk berdampingan dengan Danu.

"Apa aja yang penting makannya bareng kamu, pasti enak."

"Huek!" Nindya merasa mual mendengar kata-kata dua manusia tadi.

"Mba Nindya. Sekalian ya."

Nindya mengernyitkan dahi. "Mohon maaf, aku mau ke warung nasi bukan ke tukang bubur. Minta sama ayangmu aja situ," tolaknya dan langsung melenggang pergi.

Mendengar jawaban tersebut membuat Mira mengerucutkan bibirnya. "Ayang, lihat. Mba Nindya nggak mau tuh," rengeknya dengan manja

"Ya sudah, biar aku yang belikan."

"Beneran?" Melihat Danu mengangguk pasti membuat Mira langsung memeluk pria yang kini menjadi kekasihnya itu. "Makasih sayang, kamu baik banget deh."

"Apa sih yang nggak buat kamu."

Danu pun bergegas untuk pergi ke tukang bubur. Reno dibuat geleng-geleng kepala dan memutar matanya dengan malas melihat temannya kini menjadi budak cinta.

Sementara Ve hanya termenung memperhatikan sikap Danu yang benar-benar berbeda. Dia tersenyum kecut menyadari bahwa selama ini memang Danu tidak pernah serius dengannya. Jangankan menuruti keinginan Ve, terkadang gadis berambut sasak itu merasa antara ada dan tiada.

"Kamu nggak papa, Ve?" tegur Reno yang sedari tadi memperhatikan gelagat lain dari rekan kerjanya itu.

"Ah? Iya, nggak papa. Lama-lama juga terbiasa dengan semua ini kok, hanya butuh waktu saja."

Nyatanya memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk melupakan kejadian dengan Danu tempo hari. Terlebih Ve sudah terlanjur memakai hati dalam menjalani hubungan, sayangnya hanya dia yang pakai hati, tidak dengan Danu.

Saat itu juga Vito datang untuk kepentingan tugas koasnya. Tak ada yang mendekat, akhirnya Ve yang mendekat.

"Mba Ve, ini tolong dibikinkan pamflet ya. Jadi dua ratus lembar," ucap Vito sambil menunjukkan contoh pamflet yang ada.

"Oke. Mau ditunggu atau ditinggal?"

Vito meringis menunjukkan deretan gigi putihnya. "Diantar bisa nggak? Setelah ini aku ada praktek soalnya."

Ve menoleh ke arah Reno, dia meminta persetujuan karena harus keluar gerai. Melihat Reno yang menganggukan kepala, membuat Ve setuju untuk mengantarnya nanti.

"Oke, aku antar…

Belum selesai Ve bertanya tapi Vito sudah keburu pergi, mungkin dokter muda itu sedang terburu-buru. Tidak ada yang bisa Ve lakukan selain pasrah.

**** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status