Share

Bab. 3

dengan mata sekeras kristal. Rasa harga diri membuat Azura tak mau memohon­mohon, apalagi ia yakin kalaupun ia memohon, lelaki itu tidak akan tergerak sedikit pun.Dibukanya kancingnya satu per satu.

”Cepat!” Azura menatap lelaki telanjang yang hanya berdiri beberapa meter darinya itu.

Rodriguez dengan tenang Membalas tatapan marahnya. Sengaja Azura berlama-lama melepaskan kancing-­kancingnya, untuk menguji kesabaran si lelaki. Akhirnya semua kancing sudah dibuka.

”Lepaskan pakaianmu.” Rodriguez membuat gerakan tegas dengan pisaunya.

Sambil menunduk Azura melepaskan blusnya, tapi lalu menggunakannya untuk menutupi dadanya.

”Turunkan.” Tanpa menatap lelaki itu, Azura menjatuhkan blusnya ke lantai.

Setelah melewati keheningan yang panjang, lelaki itu berkata,

”Sekarang yang lainnya.” Saat itu sedang musim panas di San Francisco. Azura menutup studionya lebih awal sore itu, sebab ia tak punya janji temu lagi. Setelah berolahraga di klub kesehatan, ia pulang hanya mengenakan rok, blus, dan sandal santai, karena tak ingin memakai stoking.

”Roknya, Azura,” kata lelaki itu dengan tekanan tegang pada suaranya.

Azura Merasa terhina Mendengar lelaki Itu menyebutkan nama depannya. Kemarahannya semakin memuncak. Dengan geram dibukanya kaitan roknya dan

dibiarkannya Rok itu jatuh ke lantai. Mendengar suara tersekat dari mulut lelaki itu, mengangkat kepala. Wajah lelaki tampak sangat tegang, dan matanya menelusuri tubuh Azura seperti sepasang obor yang berkelap­-kelip.

Memang tidak Transparan, Tapi sangat bagus dan tidak menyisakan apa pun untuk imajinasi orang yang melihatnya. Pemandangan ini tentunya akan sangat berpengaruh bagi orang yang baru kabur dari penjara.

”branya.”

Sambil berusaha menahan air matanya, Azura menurunkan tali bra, melepaskannya dari lengannya, dan memegangi bagian depannya sebelum melepaskan kaitan di bagian depan.

Rodriguez mengulurkan tangannya. Azura terlompat releks.

”berikan padaku,” kata lelaki itu dengan suara serak.

Tangan Azura gemetar saat menyerahkan bra sutra berenda itu padanya. Pakaian dalam itu jadi tampak semakin feminin di tangan Rodriguez yang sangat maskulin. Lelaki itu merasa bahan halus bra yang masih terasa hangat tersebut. Suatu perasaan aneh merambati Azura saat memandangi jemari lelaki itu menggosok-gosok bahan pakaian dalam di tangannya.

”Dari sutra,” guman Rodriguez dengan suara pelan.

Diangkatnya bra itu ke wajahnya dan didekatkannya ke hidungnya. Lalu ia mengerang sambil memejamkan mata dan mengernyit sejenak.

”Aromanya… aroma perempuan yang enak.” Azura baru menyadari bahwa lelaki itu sedang bicara pada diri sendiri, bukan padanya, juga bukan tentang dirinya.

Rupanya bagi orang itu perempuan manapun sama saja. Azura tidak tahu apakah ia jadi lebih ketakutan atau justru lebih tenang mendengarnya.

Saat-­saat menegangkan itu berakhir ketika Rodriguez melemparkan bra tersebut dengan gerakan marah. ”Ayo,sisanya.”

”Tidak, kau mesti membunuhku dulu.” Lama lelaki itu memandanginya.

Azura tidak tahan menantang matanya yang menjelajahi sekujur tubuhnya, jadi ia memejamkan mata.

”Kau cantik sekali.” Azura tegang, mengira lelaki itu menyentuhnya. Tapi Rodriguez justru berbalik membelakanginya, kelihatannya kebingungan, entah karena sikap keras kepala Azura atau karena mendadak merasa tidak sampai hati

Apa pun yang dirasakannya, yang jelas lelaki itu kini sangat marah. Ia mengaduk­-aduk isi beberapa buah laci, dan akhirnya menemukan apa yang dicarinya. Ia beranjak kembali ke arah Azura dengan dua pasang stoking.

”berbaring.” Ia menyibakkan penutup tempat tidur di belakang Azura yang berdiri kaku ketakutan.

Azura berbaring, tubuhnya tegang karena ngeri, dan ia terbelalak ketakutan ketika lelaki itu berlutut di atasnya. Tapi Rodriguez sama sekali tidak memandanginya. Wajah lelaki itu kaku dan tegang saat ia menarik satu lengan Azura ke arah besi kepala tempat tidur.

”Kau mau mengikatku?” tanya Azura dengan suara gemetar.

”Ya,” sahut lelaki itu dengan singkat.

Diikatnya pergelangan tangan dengan stoking itu dan disambungkannya ke besi tempat tidur.

”Ya Tuhan!” berbagai bayangan mengerikan memenuhi benak Azura.

Lelaki itu tersenyum sinis, seolah bisa membaca pikirannya dan melihat ketakutannya.

”Tenang, Miss Azura. Sudah kubilang aku cuma ingin makanan dan istirahat, dan itulah yang akan kulakukan.” Masih tetap kaku oleh rasa takut.

Azura berbaring Diam ketika lelaki itu mengikatkan pergelangan tangan satunya ke pergelangannya sendiri, dengan stoking yang sebuah lagi. Setelah mereka saling terikat, Azura memandangi lelaki itu dengan heran.

Rodriguez mematikan lampu dan berbaring di sampingnya, memunggunginya.

”Kau bangsat!” Azura menyentakkan, stoking yang mengikat mereka.

”Lepaskan aku!”

”Tidurlah.”

”Kubilang lepaskan aku!” teriak Azura sambil mencoba duduk.

Lelaki itu berbalik dan menariknya dengan kasar, hingga ia berbaring lagi. Meski tak bisa melihat sosoknya dalam gelap, Azura bisa merasakan ancaman dari tubuh orang yang berbaring begitu dekat dengannya itu.

”Aku tak punya pilihan lain. Aku mesti mengikatmu.”

”Kenapa kau menyuruhku membuka pakaian?”

”Supaya kau tidak bisa melarikan diri. Aku yakin kau tidak bakal kabur malam­-malam dalam keadaan begini. Selain itu…”

”Selain itu apa?” tanya Azura dengan marah.

Setelah diam sejenak, jawaban lelaki itu terdengar dalam gelap, seperti seekor kucing hitam yang mengendap diam­diam,

”Selain itu, aku ingin melihatmu begini.”

* * * * *

”BANGUN!” Dengan enggan Azura membuka mata.

Ia tak ingat, kenapa ia merasa takut untuk terbangun. Kemudian ia merasa bahunya diguncang­guncang dengan kasar, dan ia baru ingat apa yang terjadi. Ia membuka mata dan setengah terduduk sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selimut. Disibakkannya rambutnya yang acak­-acakan dari mata dan ia menatap wajah Rodriguez yang tampak samar­-samar. Semalam lama sekali ia baru bisa tidur. Ia cuma berbaring di samping lelaki itu, mendengarkan suara napasnya yang teratur.

Ia tahu bahwa lelaki itu tidur nyenyak. Ia sudah berusaha melepaskan lengannya dari ikatan, sampai seluruh tubuhnya sakit, tapi usahanya sia­-sia. Sambil menyumpah­-nyumpah akhirnya ia menyerah dan berusaha menenangkan diri. Akhirnya ia tertidur juga.

”bangun,” ulang Rodriguez dengan garang.

”Kenakan pakaianmu. Kita berangkat.” Kedua pasang stoking yang semalam digunakan untuk mengikatnya sudah tergeletak di kaki tempat tidur.

Kenapa ia tidak terbangun ketika ikatannya dilepaskan? Apakah sentuhan lelaki itu begitu halus dan ringan? Samar­-samar ia ingat merasa sangat kedinginan saat subuh tadi. Apa lelaki itu kemudian menyelimutinya?

Ia juga merinding membayangkan itu.

Ia lega melihat Rodriguez sudah mengenakan pakaiannya yang kemarin. Sebagai ikat kepala, lelaki itu menggunakan bandana katun milik Azura. Anting-anting dan kalungnya masih ada, berkilau di kulitnya yang kecokelatan. bisa mencium aroma sampo di rambut hitamnya yang kelam.

Azura memusatkan pikiran pada keadaan saat ini.

”berangkat? Ke mana? Aku tidak mau ke mana-­mana denganmu.” Lelaki itu menunjukkan sikap tak peduli.

Ia membuka lemari Azura dan mulai memeriksa pakaian di gantungan. Gaun­-gaun rancangan desainer dan blus-blus dari sutra dilewatkannya. Ia mengambil sepasang celana jeans lusuh dan kemeja biasa, lalu melemparkannya ke tempat tidur, ke arah Azura.

Lalu ia membungkuk untuk memilih sepatu, dan mengambil sepasang sepatu bot bertumit pendek. Ditaruhnya sepatu itu di lantai dekat tempat tidur.

”Kau bisa berpakaian sendiri atau…” Ia diam sejenak, mata kelabunya menelusuri sosok Azura di balik selimut.

”…aku yang memakaikan semuanya padamu. Pokoknya lima menit lagi kita berangkat.” Gaya berdirinya sangat menantang.

kaki terentang, dada membusung, dagu terangkat tinggi. Keangkuhan dan rasa percaya diri terpancar di wajahnya. Tapi Azura tidak mau menyerah begitu saja.

”Kenapa kau tidak membiarkan aku tetap di sini?”

”Pertanyaan tolol, Azura. Tidak pantas kau bertanya begitu.” Azura membenarkan dalam hati.

begitu lelaki ini pergi, ia pasti akan lari sambil menjerit­jerit, sampai seseorang mendengarnya. Polisi akan bisa melacak jejaknya sebelum ia mencapai batas kota.

”Kau adalah jaminanku. Semua napi pelarian yang pintar akan membawa sanderanya.”

Azura maju selangkah. ”Dan kesabaranku padamu sudah semakin tipis. bangun dari ranjang itu!” bentaknya.

Meski merasa marah, Azura menuruti perintahnya. Ia bangun sambil tetap menutupi tubuhnya dengan selimut.

”Setidaknya berbaliklah sementara aku berpakaian.” Satu alis hitam lelaki itu terangkat sedikit.

”Kau meminta seorang Napi untuk berlaku sopan?”

”Aku tidak punya prasangka rasial.” Lelaki itu memandangi rambut pirang Azura yang

acak­-acakan dan tersenyum mengejek.

”Tidak, kurasa memang tidak. Aku malah ragu kau sadar akan kehadiran kami di luar sana.” Lalu ia berbalik dan keluar dari kamar itu.

Dengan marah Azura mengambil pakian yang sudah dipilihkan lelaki itu. Ia menemukan sebuah bra dan celana dalam di tumpukan pakaian yang dilemparkan lelaki itu ke lantai setelah mengobrak-­abrik semua lacinya semalam.

Begitu selesai mengenakan jeans­nya, Azura bergegas ke jendela dan membuka kerai­-kerai. Ia meraih kait jendela dan membukanya, tapi sebuah lengan cokelat Yang kuat terulur dari belakangnya dan mencengkeram

pergelangan tangannya.

”Aku mulai bosan dengan segala ulahmu ini,

Azura.”

”Dan aku juga mulai muak dengan caramu yang kasar,” teriak Azura sambil mencoba melepaskan lengannya.

Lelaki itu melepaskannya setelah mengunci jendela dan menutup semua kerainya kembali. Dengan kesal Azura memijat­-mijat pergelangannya sambil melotot marah. Ia tidak pernah suka pada orang yang kasar.

”Dengar, Nona, kalau bukan karena memerlukanmu sebagai sandera, aku tidak bakal membiarkanmu hidup. Jadi, jangan banyak ulah.” Ia membalikkan tubuh

Azura dan mendorong sambil memegang tengkuknya.

”Jalan!” Ia menyuruh Azura ke dapur, lalu mengambil termos dan sekantong makanan.

”Rupanya kau sudah mengumpulkan keperluanmu,” Sindir Azura.

Dalam hati ia menyumpahi diri sendiri karena tidur terlalu nyenyak. Padahal ia mungkin bisa meloloskan diri dari jendela kamar ketika lelaki itu sedang membuat kopi dan menjarah lemari makanannya.

”Kau akan senang aku membawa makanan ini ke tempat tujuan kita.”

”Ke mana kita mau pergi?”

”Ke tempat kaumku tinggal.”

Ia tidak menjelaskan lebih lanjut. Sambil mencengkeram lengan atas Azura, dibawanya gadis itu ke garasi. Ia membuka pintu penumpang mobil Azura, lalu menyuruh masuk. Ia sendiri duduk di belakang kemudi.

Termos dan kantong makanan itu diletakkannya di kursi, di antara mereka.

Dimundurkannya kursinya agar kakinya yang panjang bisa ditempatkan dengan lebih nyaman. Lalu dibukanya pintu garasi dengan remote yang selalu diletakkan Azura di dasbor. Setelah mobil berada di luar, ia menutup pintu garasi dengan cara yang sama. Di ujung jalan, dengan cekatan ia mengarahkan mobil ke tengah arus lalu lintas di jalan besar.

”berapa lama aku dibawa pergi?” tanya Azura.

Pertanyaannya biasa saja, sama sekali tidak sesuai dengan matanya yang sibuk memandang ke sana kemari.Tapi Rodriguez sengaja tidak mau berlama­lama mendekatkan mobilnya dengan mobil lain, sehingga Azura tidak sempat mengadakan kontak mata dengan pengemudi atau penumpang kendaraan di sekitarnya. Tidak ada mobil polisi di dekat mereka. Rodriguez mengemudi dengan hati-­hati, dalam batas kecepatan yang diizinkan. Ia tidak bodoh.

Ia juga tidak banyak bicara. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Azura.

”Orang-­orang akan mencariku. Aku punya usaha sendiri di rumah. Kalau aku tidak muncul, orang­orang akan mencariku.”

”Tuangkan kopi.” Azura ternganga mendengar perintah yang diucapkan dengan angkuh itu.

seolah­-olah lelaki itu seorang pahlawan, sedangkan ia adalah pelayannya.

”Persetan.”

”Tuangkan kopi.” Kalau lelaki itu berteriak kepadanya atau marah-marah, mungkin ia akan melawan dengan kegarangan yang sama. Tapi lelaki itu bicara dengan suara pelan dan tenang, seperti ular yang melata keluar dari gua. Azura merinding ngeri mendengar nadanya. Sejauh ini lelaki ini tidak menyakitinya, tapi orang ini jelas berbahaya.

Pisau dapur itu masih terselip dipinggangnya. Sekali pandang ke mata kelabunya yang keras sudah cukup untuk membuat Azura yakin bahwa orang ini Adalah musuh yang tidak boleh disepelekan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status