Share

Bab. 7

”Rodriguez!” teriaknya panik.

”Rodriguez!”

”Ada apa, Azura?”

”Pintunya tidak bisa dibuka.”

”Memang.” Azura ternganga kaget.

Lelaki itu sengaja menguncinya di dalam.

”bukakan!” jeritnya sambil menggedor­gedor pintu.

”Akan kubukakan begitu aku kembali.”

”Kembali? Kembali? Kau mau kemana? Jangan berani-­beraninya meninggalkan aku terkunci di sini!”

”Terpaksa. Aku tidak mau kau menggunakan telepon yang pura­pura tidak kaulihat itu. Kau akan kulepas begitu aku kembali."

”Kau mau ke mana?” tanya Azura lagi.

Ia putus asa membayangkan terkurung dalam toilet ini entah untuk berapa lama.

”Kembali ke mobil. begitu slang airnya sudah kuganti, aku akan kembali untuk menjemputmu.”

”Ke mobil? Kau mau kembali ke mobil? bagaimana caranya kau ke sana?”

”Aku akan lari.”

”Lari?” Azura mengucapkan kata itu tanpa suara.

Lalu sesuatu terlintas dalam pikirannya dan ia mengatakan.

”begitu pemilik tempat ini datang kembali jam

empat, mereka akan menemukan aku. Aku akan menjerit sekeras mungkin.”

”Aku sudah kembali sebelum jam empat.”

”Kau bangsat! Keluarkan aku!” Azura menghantam pintu itu lagi dengan tubuhnya, tapi sia­sia.

”Di sini pengap. Aku bisa mati lemas di sini.”

”Kau akan kepanasan, tapi kau tidak akan mati. Kusarankan kau beristirahat.”

”Pergilah ke neraka.” Lelaki itu tidak menjawab.

Kalimat Azura berkumandang di tembok-­tembok toilet umum itu. Azura

menempelkan telinga ke pintu, tapi tidak bisa mendengar apa­apa.

”Rodriguez?” panggilnya was­was.

Lalu ia berseru lebih keras,

”Rodriguez!” Tidak ada jawaban.

Ia sendirian di sini. Azura bersandar di pintu, menutupi wajahnya dengan dua tangan, dan membiarkan air matanya tumpah.

Wanita seperti dirinya tidak pernah dilatih menghadapi pengalaman semacam ini.

Situasi antara hidup dan mati tidak pernah masuk ke dalam kehidupannya yang selama ini sangat terlindung. Ia tumbuh dewasa di dalam lindungan orangtua yang menginginkan yang terbaik bagi dirinya.

Ia belum pernah bersekolah di sekolah pemerintah, karena

”lingkungan pergaulan yang tidak sesuai” yang akan dijumpainya di sana.

Ia tidak pernah dilatih melakukan taktik­-taktik untuk bertahan hidup di kampus khusus wanita yang dimasukinya. Situasi seperti ini

cocok untuk dijadikan skenario Film, tapi tidak ada yang percaya bahwa yang seperti ini bisa benar-benar terjadi. Tapi ini memang terjadi… pada dirinya. Untuk pertama kali dalam usianya yang sudah 26 tahun ini, Azura mengalami rasa takut yang sesungguhnya.

Rasa takut yang seolah memiliki wujud.

Ia dapat merasakannya di lidahnya. bagaimana kalau Rodriguez tidak kembali untuk

menjemputnya? bagaimana ia bisa yakin bahwa pompa bensin ini akan buka kembali pada jam empat? Papan pemberitahuan itu mungkin saja sudah dipasang berbulan­-bulan yang lalu dan sudah terlupakan ketika pemilik tempat itu memutuskan untuk menutup usahanya.

Ia bisa mati kehausan. Mati seperti itu sebenarnya akan makan waktu lama. Mungkin seseorang sudah datang ke tempat itu sebelumnya. Ia mesti memasang telinga untuk mendengar suara mesin, lalu ia harus menggedor­gedor dan berteriak-­teriak untuk menarik perhatian.Tapi ia bisa mati karena sesak napas.Namun, tinggi di tembok ada sebuah jendela kecil, persis di bawah langit­langit. Jendela itu terbuka bebe-

rapa senti. Udara yang masuk dari situ mungkin panas dan kering, tapi setidaknya banyak.Ia bisa mati karena marah.

Kemungkinan itu sangat besar, pikir Azura. Sungguh keterlaluan Rodriguez meninggalkannya di tempat jorok ini. Sambil menyumpahi lelaki itu, Azura mondar­-mandir di toilet kecil tersebut. Akhirnya kemarahan yang memicu otaknya untuk bekerja dan membuatnya lebih kreatif. bukankah Rodriguez sendiri mengatakan bahwa ia banyak akal? Ia

pasti bisa keluar dari toilet ini kalau ia mau mengerahkan otaknya untuk mencari jalan. Ia yakin itu! Tapi bagaimana caranya?

Kembali ia menghantam pintu toilet dengan tubuhnya, namun tidak ada hasilnya. Penghalang yang digunakan Rodriguez untuk menahan pintu itu tidak bisa digerakkan, dan Azura cuma membuang­buang tenaga

dengan berusaha menghantamnya. Tubuhnya basah oleh keringat, juga rambutnya, hingga terasa berat dan panas.

Merasa putus asa dan lemah, ia menengadah pasrah ke langit-­langit. Dan… itu dia… jawaban untuk masalah yang sedang dihadapinya. Jendela itu! Kalau saja ia bisa…

Ada sebuah tong logam di dalam satu sudut toilet, sepertinya tempat sampah. Sambil menguatkan diri untuk tidak membayangkan isi tong yang bau itu, Azura berusaha membalikkan benda tersebut. berat sekali, tapi akhirnya ia berhasil membalikkan bagian bawah tong menghadap ke atas.

Lalu ia mendorong tong tersebut ke

bawah jendela. Dengan berdiri di atas tong itu ia bisa meraih bagian bawah tepi jendela. Selama beberapa menit ia berusaha

menarik tubuhnya dengan kekuatan lengannya semata-mata, sambil mencari­cari pijakan kaki di tembok beton itu.

Akhirnya ia bisa mengangkat dirinya ke atas tepi jendela. Ia melongok dari jendela yang terbuka, menarik napas dalam­dalam, dan menyambut gembira angin selama beberapa menit dan mengistirahatkan lengannya

yang gemetar kelelahan. Kemudian dengan bahunya ia mengangkat jendela itu setinggi mungkin. bukaannya sempit, tapi kalau

beruntung ia pasti bisa meloloskan diri melewatinya. Ia mengangkat satu lututnya dan menekankannya ke tepi jendela, lalu berusaha memutar tubuhnya supaya bisa

mengeluarkan kakinya lebih dulu dari jendela.

Saat mengangkat lutut satunya ke tepi jendela, ia kehilangan keseimbangan. Dicondongkannya tubuhnya ke arah luar, dan ia berhasil keluar dari jendela yang

terbuka. Saat meluncur ke bawah, satu lengannya tersangkut paku di tepi jendela, menimbulkan goresan dalam mulai dari pergelangan tangan hingga ke ketiak.

Ajaibnya ia bisa mendarat dengan kakinya, tapi tanah di bawah sana tidak rata. Sambil mencengkeram lengannya dengan kesakitan, ia terdorong ke belakang dan terguling­guling di tanah yang melandai turun, sampai

kepalanya membentur batu di bawah.

Selama beberapa detik ia menengadah ke bulatan matahari yang terik, yang seolah mengejeknya. Setelah itu segalanya gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status