Share

Bab. 1

”Namaku Rodriguez .”

Suaranya pelan dan serak, seperti angin padang pasir.

Suara itu lembut, Tapi Azura Tidak terkecoh karenanya. Seperti halnya angin, Si Pemilik Suara Pasti Bisa berubah ganas Kalau terdesak. Dan mengingat Siapa Pemilik Suara Itu, kemungkinan yang ditakutkannya tersebut mungkin saja terjadi. Nama Rodriguez Sudah berkali­-kali disebutkan di Acara­-Acara TV Dan Radio sepanjang Hari Itu. Semalam Aktivis keturunan indian itu melarikan diri dari

penjara Alcatraz di San Francisco , yang jauhnya sekitar delapan puluh kilometer. Pihak-­pihak yang berwenang sedang menyisir seluruh daerah itu untuk mencari pelarian Tersebut.

Dan ternyata orang ini berada di dapurnya!

”Aku butuh makanan. Dan istirahat. Aku tidak akan menyakitimu kalau kau mau bekerja sama,” katanya di Telinga Azura.

”Kalau Kau Mencoba berteriak, Aku

Terpaksa mesti menyumbat mulutmu.

Mengerti?” Azura mengangguk, dan lelaki itu melepaskan bekapan tangannya dengan hati­-hati.

Azura langsung Megap­-Megap Menarik Nafas. ”Bagaimana kau bisa

Sampai di sini?”

”Sebagian besar dengan jalan kaki,” sahut lelaki itu tak acuh.

”Kau tahu siapa aku?”

”Ya. Mereka sedang mencarimu di mana­mana.”

”Aku Tahu.” Kemarahan Azura Tadi sudah mereda. Ia bukan pengecut, tapi ia juga tidak bodoh.

Apa yang mesti ia lakukan? Mustahil melawan lelaki itu. Dengan mudah ia akan menundukkan Azura, dan Dalam Proses Itu Mungkin Azura Akan Terluka. Tidak, Satu-­Satunya cara yang mungkin untuk menghadapi lelaki itu adalah dengan menggunakan akal, sambil menunggu kesempatan untuk melarikan diri.

”Duduk.” Rodriguez Mendorong Bahu Azura dengan kasar.

Tanpa protes Azura Melangkah ke meja di Tengah dapur, meletakkan dompetnya, dan menarik kursi, lalu Duduk Dengan hati­-hati.

Mengira Azura Sudah Menyerah, dengan Santai Rodriguez menutup pintu kulkas. Dapur itu menjadi Gelap. Azura Bangkit Dari kursinya Dan bergerak ke pintu belakang. Tapi Rodriguez Sudah meraihnya sebelum ia sempat maju dua langkah, memegangi Pinggangnya dengan lengan sekuat baja, dan menariknya.

”Mau ke mana?”

”Me…menyalakan lampu.”

”Duduk.”

”Para tetangga akan tahu…”

”Kubilang duduk! Sampai kuberi perintah.” Ia menarik Azura dan mendorongnya ke kursi.

Karena sangat Gelap, Azura Tidak Melihat dudukan kursi itu Dan hampir Jatuh.

”Aku cuma ingin membantu,” katanya.

”Para Tetangga Akan Tahu Ada Yang Tidak Beres kalau mereka melihatku masuk, tapi aku tidak menyalakan lampu.” Alasannya itu Bohong belaka, Dan ia Merasa lelaki itu mengetahuinya.

Azura Tinggal di Sebuah kompleks

kondominium yang masih baru, di pinggiran San Francisco. baru sedikit unit yang terjual. Pantas saja lelaki ini memilih Rumahnya Untuk Bersembunyi, Karena lokasinya Terpencil.

Azura Mendengar Suara denting logam dalam kegelapan. Suara itu membuatnya ketakutan, seperti seekor Binatang Hutan yang kecil dan gemetar mendengar desir dedaunan yang menandakan kehadiran seekor predator

di dekatnya. Rodriguez telah melihat Rak pisau mengambil meja dekat wastafel, dan ia mengambil Salah Satu pisau Itu.

Azura, Yang semula mengira lehernya Akan digorok, jadi Tertegun Namun lega Karena Masih hidup, Ketika lampu dapur justru dinyalakan.

Sejenak sinarnya terasa membutakan. Namun akhirnya matanya bisa menyesuaikan diri. Lelaki itu masih memegang pisau panjang yang berkilat-­kilat Tersebut.

Azura Menyapukan Pandangannya Pada Sosok Rodriguez yang cokelat, lengannya yang berbobot, bahunya yang kekar, Terus ke dagu yang keras dan persegi, Hidung mancung yang sempit, dan terakhir sepasang

mata paling dingin yang pernah dilihatnya.

Selama ini ia sudah sering mendengar istilah ”mendebarkan”. berkali­kali ia sendiri menggunakan istilah itu untuk menggambarkan berbagai peristiwa yang dialaminya.

Tapi belum pernah ia menemukan situasi

atau sesuatu yang benar­benar cocok disebut ”mendebarkan”. baru kali ini.belum pernah ia melihat sorot mata penuh kebencian dan kepahitan semacam itu.

Tidak seperti Bagian-­Bagian wajahnya yang lain, yang jelas-­jelas khas wajah orang Arab Amerika, mata lelaki itu adalah mata orang kulit putih. Warnanya kelabu sangat pucat, hampir transparan, hingga pupilnya terlihat begitu gelap dan hitam. Sepasang mata itu memandang tak berkedip, tampak sangat kontras di wajah berkulit gelap yang garang dan keras itu. Azura terpukau melihatnya.

”Mau ikut makan?” Tanyanya menantang sambil mengulurkan seiris sosis dengan ujung Pisaunya.

Azura mengangkat kepala dan memajukan dagunya dengan menantang Pula.

”Tidak, terima kasih. Aku mau

menunggu saat makan malam dengan suamiku.”

”Suamimu?”

”Ya.”

”Di mana dia?”

”Di kantor, tapi sebentar lagi dia pulang.”

Lelaki itu menggigit sepotong roti dan mengunyahnya dengan santai, gayanya membuat Azura ingin menamparnya.

”Kau pembohong besar,” katanya.

”Aku tidak bohong.”

Lelaki itu menelan makanannya.

”Aku sudah menyelidiki seisi rumah ini sebelum kau pulang, Miss Azura

Andrews.

Tidak ada laki­laki di sini. Sekarang Azura tersekat. Dikuatkannya hatinya dan

dicobanya menenangkan debar jantungnya. Telapak Tangannya berkeringat dan ia menangkupkan keduanya di bawah meja.

”Dari mana kau Tahu namaku?”

”Surat-­Suratmu.”

”Kau memeriksa Surat-­Suratku?”

”Kau kedengarannya kaget. Apa ada yang ingin kausembunyikan, Miss Azura?”

Azura tidak mau terpancing.

Ia tetap menutup mulut. ”Kau mendapat Tagihan telepon Hari ini.”

Seringai lelaki itu membuat kemarahan Azura merebak lagi.

”Mereka Akan menangkapmu kembali dan

mengirimmu ke penjara.”

”Ya, aku tahu.” Respons yang tenang itu membuat Azura Terdiam.

Semula ia ingin Coba-­Coba mengancam, Tapi sekarang jadi terasa percuma. Maka ia cuma mengawasi ketika lelaki itu mengangkat karton susu ke mulutnya, mendongakkan kepala sedikit, dan minum dengan haus. Lehernya berwarna cokelat gelap, jakunnya bergerak­gerak seperti pendulum seorang ahli hipnotis. Azura merasa tergelitik melihatnya. Lelaki itu menghabiskan seluruh

isi karton, lalu meletakkan kardus kosong itu dan membersihkan mulutnya dengan punggung tangannya yang masih memegang pisau.

”Kalau Kau Tahu Mereka Akan menangkapmu, Kenapa kau mempersulit dirimu sendiri?” Ia bertanya sekadar

ingin tahu.

”Kenapa Tidak menyerahkan Diri Saja?”

”Sebab ada sesuatu yang mesti kulakukan,” katanya murung.

”Sebelum terlambat.” Azura Tidak Banyak Bertanya lagi.

Ia merasa bisa berbahaya kalau Tahu lebih banyak tentang Rencana-Rencana kriminal lelaki itu. Tapi kalau ia bisa mengajak

orang ini bercakap­cakap, mungkin Rodriguez akan mengendurkan kewaspada'annya dan Azura bisa lari ke pintu belakang. Begitu berada di garasi, ia akan memencet tombol pintu otomatis dan.

”bagaimana kau bisa masuk kemari?” Tanyanya cepat.

baru saat ini ia menyadari bahwa tidak ada tanda­tanda Orang ini Masuk Dengan paksa ke rumahnya.

”Lewat jendela kamar tidur.”

”Dan bagaimana kau bisa lari dari penjara?”

”Aku menipu seseorang yang memercayaiku.” Mulut Keras lelaki itu membentuk senyum pahit.

”Tentu saja dia Bodoh mau Percaya Pada seorang Napi. Semua orang Tahu bahwa Seorang Napi Tak Bisa dipercaya. benar kan,

Miss Azura?”

”Aku tidak punya kenalan Seorang Napi,” Sahut Azura pelan, karena tak ingin membuat lelaki itu marah.

Ia tak suka melihat tubuh orang itu sepertinya siap melenting setiap saat karena tegang.

Azura jadi sangat menyadari akan Bisiknya sendiri rambutnya yang pirang, matanya yang biru, dan kulitnya yang putih. Ekspresi sinis lelaki itu berubah menjadi kegeraman.

”Kurasa kau memang tidak punya

kenalan Seorang Napi.” Sekoyong­-konyong, dengan ge-”Lewat sangat cepat, ia menyelipkan pisau di tangannya ke balik celananya dan menarik Azura.

”bangun!”

”Kenapa?” Azura terkesiap ketakutan saat lelaki itu menariknya dengan kasar sampai ia berdiri.

Ia mencengkeram bahu Azura dan mendorongnya keluar dari dapur. Saat melewati pintu, ia mematikan lampu. Lorong itu gelap dan Azura berjalan Tersandung­-Sandung di depan Lelaki itu membawanya ke arah kamar tidur.

Azura merasa mulutnya kering oleh rasa takut. ”Kau sudah mendapatkan semua yang kauinginkan.”

”belum semuanya.”

”Katamu kau ingin makanan,” sahut Azura dengan panik sambil menyeret kakinya di karpet.

”Kalau kau pergi sekarang, aku janji tidak akan menelepon Polisi.”

”Oh ya? Sayang sekali aku tidak percaya padamu,

Miss Andrews,” kata lelaki itu dengan suara halus mengejek.

”Aku sumpah!” Teriak Azura

Tubuhnya terasa lemas dan suaranya bernada panik.

”Aku sudah banyak dijanjikan ini­ itu oleh Laki-Laki kulit putih… dan Wanita kulit putih. Aku sudah belajar untuk tidak percaya.”

”Tapi aku tidak ada sangkut­pautnya dengan itu.

Aku… oh, Tuhan, apa yang akan kaulakukan?”

Lelaki itu mendorongnya masuk ke kamar tidur, lalu

menutup pintunya.

”Tebak saja, Miss Azura.” Ia memutar tubuh Azura dan memojokkannya di antara

pintu dan tubuhnya yang keras.

Dicekalnya leher Azura, lalu membungkuk di atas wajah gadis itu.

”Menurutmu, Apa Yang akan kulakukan?”

”Aku… aku… tidak tahu.”

”Kau bukan jenis perempuan tertekan yang suka membayangkan adegan perkosaan, bukan?

Hmmm?”

”Tidak!” Azura Terengah.

”Kau tidak pernah membayangkan diperkosa oleh orang liar?”

”Tolong lepaskan aku.” Azura memalingkan kepala.

Lelaki itu membiarkannya, tapi tidak dilepaskannya. Ia malah semakin mendekat, dengan kurang ajar menekankan tubuhnya di tubuh Azura dan memerangkap Azura di belakang Lelaki itu dengan kekuatannya.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status