Share

Bab 2

Lyona pulang setelah berpamitan dengan temannya. Hari pertama yang berat pikirnya. Memang tidak mudah bagi Lyona untuk bersosialisasi, ia terkenal anak yang pendiam sejak kecil. Bukan karena dia lemah atau penakut, namun ia tidak ingin kata – katanya menyakiti hati orang lain. Lyona takut akan berkata yang kurang pantas apalagi ketika ia marah, dirinya dapat melontarkan kata – kata yang buruk.

       Ia berjalan dengan senyum cerah agar dirinya tetap dalam mood yang baik. Ia tidak sabar bercerita kepada ibunya bagaimana hari pertamanya. Ia akan menceritakan bahagianya dia agar sang ibu tenang dan tidak gelisah lagi terhadap dunia persekolahnnya setelah masalah di sekolah lamanya.

       Lyona sempat dibully dan difitnah habis – habisan oleh teman – temannya di sekolah sebelumnya dan berakhir Lyona yang terpuruk secara mental. Masalahnya mungkin terdengar sepele, hanya karena salah satu teman perempuannya tidak suka jika pacarnya punya perasaan lebih terhadap Lyona. Padahal Lyona sendiri tidak tertarik dengan pacar si perempuan itu, tetapi pacar perempuan itu mmeutuskannya agar bisa mengajak kencan Lyona. Dari situlah si perempuan marah dan membully Lyona dan menyebarkan fitnah bahwa Lyona seorang gadis panggilan dan ia telah menggoda pacarnya. Pada saat itu, Lyona hanya bisa pasrah dan tidak bisa melakukan apa – apa yang berakibat pada kesehatan mentalnya. Namun ia berusaha bangkit karena ia tidak bersalah dan selama ia tidak bersalah maka dirinya tidak akan mundur.

       Orang tuanya berkata sebaliknya. Mereka akhirnya menarik Lyona dari sekolah tersebut dan memindahkan ke sekolah yang baru. Mereka tidak ingin Lyona terpuruk dan berakhir depresi yang akhirnya akan menghancurkan mimpi besar Lyona juga harapan orang tuanya sendiri. Demi kebaikan sang anak mereka akan melakukan segala cara dan tidak segan – segan melakukan hal berbahaya sekalipun. Mereka yakin kesehatan dan kondisi mental anaknya lebih penting daripada sekedar lembaran uang. Apalagi Lyona anak semata-wayangnya. Mereka akan membanting tulang untuk melindungi dan merawat anak mereka.

       Lyona telah sampai di gapura rumahnya. Jalan masih sepi karena para warga masih bekerja dan belum pulang jika matahari belum terbenam, kecuali nelayan yang berangkat bekerja setelah matahari terbenam. Para nelayan terlihat mempersiapkan kapal – kapalnya untuk berangkat mencari ikan setelah matahari terbenam.

       Lyona berjalan dengan menenteng tas sekolahnya. Sesekali ia menyapa para warga yang lewat dan berpapasan dengannya. Ia memang cukup ramah kepada para warga, namun ia tertutup dan bahkan jarang sekali bercerita tentang dirinya sendiri. Ia pikir apa yang sedang terjadi pada dirinya adalah masalah pribadi dan ia tidak ingin membebani orang lain dengan masalahnya. Bahkan ia sendiri jarang sekali bercerita kepada orang tuanya jika itu bukan hal yang penting baginya.

       Setelah berjalan cukup lama, akhirnya ia sampai di rumahnya. Ia mengetuk pintu rumahnya dan disambutlah ia oleh sang ibu.

       “Oh Lyo, ayo masuk. Ibu udah menyiapkan makanan di meja makan.” Sambut ibu Lyona.

       “Sebentar ibu, Lyona ganti baju dulu.” Jawab Lyona dengan senyum manisnya.

       “Iya, jangan lama – lama nanti keburu dingin makanannya.”

       “Iya ibu. Cuma sebentar kok.”

       “Oh iya, 15 menit lagi ibu mau ke balai desa. Ada acara di sana. Kamu jaga rumah yaa!”

       “Iya ibu hati – hati ya berangkatnya. Jangan lupa bawa jaket nanti ibu bisa kedinginan waktu pulang.”

       “Kalau itu mah ibu gak mungkin lupa. Ya udah buruan ganti terus makan.”

       “Siap ibu negara.” Lyona menjawab ibunya dengan gestur hormat seperti para tentara ke komandannya. Ibunya terkekeh melihat tingkah anak semata-wayangnya itu.

       Lyona memandangi punggung ibunya yang berjalan keluar rumah. Setelah dirasa ibunya telah benar – benar pergi, Lyona masuk ke dalam kamarnya. Ia menaruh tasnya dan mengambil baju ganti di dalam lemari. Setelah mengganti baju, ia merebahkan dirinya yang lelah itu ke atas ranjangnya. Ia memejamkan matanya, lalu ia merasa mengantuk dan rasa lelahnya seperti lepas dari tubuhnya. Ia menarik napas teratur dan dirasakannya bahwa tubuhnya terasa ringan dan hamper terlelap. Namun bunyi perut laparnya menyadarkannya bahwa ia belum makan. Segera ia bangkit dan berlari kecil menuju ruang makan.

       Terlihat banyak sekali masakan yang dibuat oleh ibunya. Di antara makanan – makanan ia menemukan makanan kesukaannya, ikan tuna asam pedas. Dengan perasaan gembira, ia segera mengambil piring dan meletakkan tuna itu segera. Tak lupa pula ia mengambil nasi dan makanan pendamping lainnya. Ia makan begitu lahap sambil mengangguk-anggukkan kepalanya karena rasa enak dari tuna asam pedas itu.

       Setelah makan, Lyona menata kembali makanannya dan menutupnya dengan tudung saji. Lyona beranjak dari kursi dan membawa piringnya untuk ia cuci. Saat mencuci piring, ia mendengar suara pintu dibuka. Ia tahu itu bapaknya dan ia pun bergegas menyelesaikan mencuci piringnya itu. Ia berlari kecil menyambut bapaknya yang datang dari laut.

       “Bapak sudah pulang.” sapanya dengan senyum manisnya.

       “Iya dong. Bapak laper makanya pulang. Gak mau nawarin bapak makan?” goda bapaknya sambil memegang perutnya.

       “Oh iya pak, ayo makan tapi bapak mandi dulu. Bau ikan.”

       “Tapi kamu kan suka ikan.”

       Mereka pun saling tertawa dengan candaan kecil itu. Lyona membantu bapaknya membawakan tas dan bapaknya segera masuk ke kamar mandi.

        Lyona berjalan menuju kamarnya dan memikirkan tentang biaya study tour yang akan diadakan. Ia merasa dirinya tidak keberatan jika tidak ikut karena besarnya biaya dan pendapatan bapaknya yang tidak seberapa. Namun ia pun juga memikirkan nasib kelompoknya jika ia tidak ikut, pasti mereka akan kekurangan anggota dan juga membebani anggota yang lain. Ia terus merenung sampai memejamkan matanya dan akhirnya tertidur.

       Pada saat matahari telah terbenam, Lyona dibangunkan oleh ibunya yang telah datang dari balai desa. Lyona mengerjapkan matanya berkali hingga pandangannya tidak kabur lagi. Ia pun beralih ke posisi duduk sambil mengumpulkan nyawanya.

       “Udah sore, ayo mandi!” suruh ibunya.

       “Iya.” Lyona segera bangkit dari ranjangnya.

       Segera ia bangkit dan mengambil handuk serta baju ganti. Dengan mata yang masih mengantuk, ia berjalan menuju kamar mandi.

       Setelah beberapa menit kemudian, Lyona keluar dengan badan yang segar dan mata yang kembali cerah. Ia pun berjalan menuju kamarnya dan mengerjakan tugas sekolahnya. Ia mengambil tas dan mengeluarkan bukunya yang kemudian ia taruh di meja belajarnya. Lyona mengambil alat tulisnya, lalu membuka buku dan mulai mengerjakan tugasnya.

       Kemudian ia ingat akan study tour yang akan diadakan dan besarnya biaya yang harus ia bicarakan dengan orang tuanya. Lyona menghela napas dan akhirnya berdiri. Ia mengintip dari pintu kamarnya. Dilihatnya kosong, tidak ada orang. Lalu ia kembali berdiri sambil memegang pintu. Tidak lama ibunya muncul di depan matanya dan ia sedikit terlonjak kaget. Ibunya menatap anaknya itu dengan bertanya-tanya.

       “Kenapa kamu?” tanya ibunya.

       Lyona tersadar dan berkata, “Hah? Ah gak kok, gak papa.” Lyona berusaha bersikap sedatar mungkin.

       “Kamu kayak kaget gitu ada ibu.”

       “Oh, aku tadi mau keluar tapi mendadak ada ibu muncul. Jadinya aku kaget pas lihat ibu.”

       “Kamu ini ada-ada aja. Ayo makan! Nanti aja tugasnya diterusin.”

       “Iya bu.”

       Lyona mengikuti ibunya di belakang. Ia masih mengatur napasnya untuk berhadapan dengan orang tuanya. Lyona paling tidak bisa jika berhadapan dengan orang tuanya karena masalah uang. Ia tahu betul bagaimana susahnya orang tuanya bekerja dan berapa banyak biaya yang telah mereka keluarkan untuk dirinya. Akhirnya ia kembali tennag dan duduk di meja makan bersama orang tuanya.

       “Wahh … enak semua ini!” serunya melihat makanan-makanan itu.

       “Iya dong, kan ibumu yang masak,” timpal ayahnya sambil melirik dan tersenyum menggoda ibunya.

       “Ah kalian ini, ayo dimakan keburu dingin nanti gak enak.”

       Lyona mengambil nasi dan disusuk ibunya, ayahnya telah lebih dulu mengambil nasi dan lauk. Menurut Lyona seenak apapun masakan orang lebih enak masakan ibunya. Ia tidak bisa menahan diri jika sudah melihat masakan ibunya. Mereka bertiga makan dengan lahap dan dengan sedikit candaan.

       Sambil menelan makanannya, Lyona akhirnya memutuskan untuk memberitahu orang tuanya. Lyona dengan tersenyum pun mengatakan.

       “Bapak. Ibu.” Kedua orang tuanya melihat Lyona bersamaan.

       “Iya? Kenapa Lyo? Mau nambah?” tanya ibunya.

       “Enggak. Ada yang perlu Lyona sampaikan tentang sekolah.”

       Lyona menarik napas dan orang tuanya melihatnya dengan tatapan menunggu apa yang akan anak mereka katakan. Dalam dirinya, Lyona sangat gemetar dan jantungnya berdebar-debar. Ia hanya berharap detaknya tidak sampai terdengar orang tuanya. Ia menyembunyikan perasaan takutnya itu dengan senyum kecil. Beberapa menit kemudian, ia membuka mulut dan mengatakannya dengan sangat hati-hati.

       “Jadi, di sekolah akan diadakan study tour tapi belum tau kapannya.” Lyona membukanya dengan baik.

       “Oh, bagus dong. Kamu harus ikut biar makin akrab sama teman-temanmu,” ibunya menimpali dengan antusias.

       “Iya, tapi biayanya mahal bu.”

       “Berapa nak?” tanya bapaknya kemudian.

       “Tadi dirapatkan masih sekitar 750.000 tapi itu belum pasti sih pak. Kemungkinan bakal naik dan makin mahal.”

       Bapaknya memundurkan badannya dan menyandar pada kursi. Ibunya mengalihkan pandangannya ke bawah dan berusaha bernapas tenang. Lyona ikut menunduk ketika melihat respon kedua orang tuanya.

       “Lyo gak keberatan kok gak ikut. Study tour-nya juga gak wajib.”

       Lyona berusaha mencairkan suasana. Ia memang sudah memutuskan untuk tidak ikut mengingat perekonomian mereka. Namun tetap saja, ia harus menyampaikan hal ini.

       “Kapan kira-kira study tour-nya?” bapaknya bertanya.

       “Kira-kira 2 bulan lagi, pak.”

       “Bapak sama ibu akan mengusahakan. Kamu harus ikut, Lyo.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status