Share

Maaf

Tak ada satu pun yang dapat menolak, ketika takdir sudah menetapkan dua hati untuk berpisah. 

                                                                     (Airah~ Bagas) 

  ****

Pagi menjelang siang, wanita itu masih bergeming menatap kosong di balik jendela. Menatap pepohonan yang tumbuh segar di area dekat kamarnya dengan buku yang berada dalam pangkuannya. 

Perdebatannya dengan Bagas tadi malam membuat rasa bersalah bersemayam dalam dadanya. 

"Jika kamu ingin mengakhiri hubungan ini, silahkan kamu akhiri sendiri. Tapi ingat! Aku tidak akan pernah mau mengakhiri hubungan ini apa pun yang terjadi!"

"Bahkan jika aku sudah menikah? Bahkan jika aku sudah menjadi istri orang lain, Gas?"

"Arrrggg." Bagas menjambak rambutnya frustasi. 

"Beri aku alasan kenapa kamu ingin menikah dengan pria itu? Aku bahkan tidak mendapat  jawaban apa pun dari Ayah dan Ibumu. Jangan membuatku semakin gila dengan keputusan tiba-tibamu ini." Bagas menatap Airah dengan wajah dan mata yang terlihat memerah.

"Kamu  sudah berjanji akan menungguku. Bahkan jika perlu malam ini pun aku akan melamarmu. Kita menikah." Bagas memegang kedua tangan Airah  dengan lembut sambil menatapnya dengan tatapan memohon.

Airah menggeleng. "Tidak bisa, Bagas!" sahutnya. Dengan air mata yang semakin berlinang. 

"Kalau begitu aku juga tidak bisa melepasmu. Kalau perlu aku akan menculikmu malam ini juga! Persetan, jika aku harus masuk penjara."

"Aku mohon mengertilah Bagas!"

"Kamulah yang harus mengerti, Airah!" teriaknya penuh frustasi. 

"Jika aku memberitahumu alasannya, apa kamu mau mengakhiri hubungan ini?"

"TIDAK. Aku tidak akan pernah melakukannya." Bagas mondar-mandir,  gelisah. 

Airah meneguk ludahnya, takut. Mengambil tangan kanan Bagas seraya membawanya ke perutnya yang masih terlihat rata.

"Ada sosok yang butuh Ayah di sini."

Bagas mengerutkan keningnya." Apa maksudmu?"

"Aku hamil, sudah satu bulan dan pria itu adalah Ayah dari bayi ini."

Bagas menepis tangan Airah. "Apa kamu pikir aku akan percaya?"

"Apa kamu ingin bukti? Aku punya bukti untuk itu?"

Bagas tertawa hambar sesekali menjambak rambutnya, membuat Airah iba sekaligus takut.

"Bagas." Pria itu memegang kedua bahu Airah sambil menatapnya tajam. Membuat si empunya meringis sakit saat Bagas meremas kuat kedua bahunya. 

"Bagas, kamu menyakitiku."

Rahang pria itu terkatup rapat." Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa sakit yang aku rasakan, Airah."

"Bagas," rintih Airah, mencoba melepaskan tangan kekar milik pria itu. 

"Kenapa? Kenapa kau menodainya, hah, " bentak Bagas, yang kini semakin tersulut emosi. 

Airah terisak. Mulutnya keluh hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Dia tahu, dia salah, tapi wanita itu juga tak bisa melakukan apa pun untuk saat ini.

"LEPASKAN  TANGANMU DARINYA." Airah menoleh saat mendengar suara seseorang. Tapi tidak dengan pria di depannya yang masih menatapnya dengan tatapan elangnya.

Adnan melepas paksa cengkraman tangan Bagas di bahu Airah, membuat wanita itu menghela napas lega.

"Kamu tidak apa-apa, Ra?" Adnan bertanya sambil memegang bahu Airah lembut. 

Airah mengangguk. 

"Pasangan yang serasi." Mereka serentak menoleh mendapati Bagas yang tengah memperhatikan keduanya. 

Pria itu tersenyum miris sembari menyeka air matanya." Semoga pernikahan kalian lancar. Dan Airah…" Ia menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit tuk diartikan. "Semoga persalinannya juga lancar."

"Bagas?" Adnan menahan tangannya saat ia hendak mengejar pria tersebut. 

"Biarkan saja. Dia butuh waktu untuk menerima semua ini."

Bulir bening membasahi pipi wanita itu,  mengingat bagaimana amarah, kecewa pria yang namanya masih tertanam erat dalam lubuk hatinya yang paling dalam. 

"Airah, kamu baik-baik saja, Nak?"

Airah menggeleng. Menenggelamkan kepalanya dalam dekapan wanita yang sudah melahirkannya itu. Menumpahkan segala kepedihan yang tengah ia rasakan. Ada rasa sesak yang tengah bersarang dalam sanubari yang ingin dia keluarkan dalam dekapan hangat Ibunya.

"Sabar Nak, Insya Allah ini adalah jalan yang terbaik untuk kalian." Tangis wanita itu pecah. 

Allah, tidak bisakah dia mengulang waktu? Dia ingin bersama dengan pria itu, pria yang saat ini masih sangat dia cintai.

Sintia merenggangkan pelukannya. Menangkup kedua pipi sang buah hati sambil menghapus jejak air mata anaknya dengan ibu jarinya.

"Apa kamu sudah mengambil cuti untuk semester nanti?"

Airah mengangguk. 

Dia tidak sepenuhnya mengambil cuti. Dengan berbagai alasan para dosen mengizinkan wanita itu untuk kuliah secara online. Mungkin terdengar sulit, tapi seperti itulah adanya. Pendidikan menurutnya adalah hal yang paling utama. Lagian kampusnya  juga memiliki program kuliah sistem daring. Jadi tidak terlalu sulit untuk mendapatkan persetujuan dari para dosen.

"Ya sudah, sekarang mulai packing. InsyaAllah, besok kita berangkat."

***

 Pesawat  berbadan besar itu melaju cepat meninggalkan Ibukota. 

Gugup, itulah yang tengah wanita yang duduk di kursi penumpang itu rasakan. Tangannya saling meremas satu sama lain. Mencoba menyalurkan kegugupannya. Matanya menatap kosong hamparan laut biru serta gunung yang menjulang tinggi melalui jendela pesawat. 

Tampak awan putih menaungi sebagian badan pesawat. Air mata yang sejak tadi ia tahan seketika luruh. Semoga ini adalah keputusan tepat yang ia tempuh.

Sebuah tangan memegang lembut punggung tangannya, sontak membuat wanita itu menoleh. 

"Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja."

Di sisi lain, tampak sosok pria yang tengah frustasi dengan sebuah minuman beralkohol di tangannya, beberapa barang juga tampak berserakan di kamar bernuansa hitam putih itu, hingga terlihat seperti kapal pecah. 

Meneguk minuman, mata elangnya menatap kosong dinding putih di depannya, sebelum botol minuman itu ia lempar dan melayang pecah di dinding, tangannya meraih pecahan botol, menatapnya hampa seraya tersenyum miring, alam bawah sadarnya berputar pada pengkhianatan yang telah dilakukan wanita yang ia cintai. Air mata pria itu mengalir, dia tidak sanggup mengingat bagaimana wanita itu bisa mengandung anak dari pria lain. 

“Arrrgggggg.” Ia berteriak lantang penuh frustasi. Cacian dan kata-kata kasar terus ia serukan.

“Bagas!” Terdengar panggilan diiringi ketukan dari luar pintu kamar.

“Bagas, buka pintunya!”

“Bagas, Ibu mohon buka pintunya ,Nak.”

“Mas! Buka pintunya.”

Telinga Bagas seakan tuli tak memperdulikan seruan namanya. Ia butuh sesuatu untuk melupakan segalanya, mengobati luka hatinya.

Bagas tertawa gila, menatap pecahan botol di tangannya dari jarak dekat.

“Pak! Ambil kunci cadangan!” Titah pria paruh baya duplikat Bagas.

Tak berselang lama, pria yang diberi titah itu membawakan benda yang di minta oleh majikannya.

Membuka pintu, betapa terkejutnya mereka melihat kamar tersebut, benda-benda yang biasanya tersusun rapi kini berhamburan dan berserakan di mana-mana.

“Bagas!”

Ibu paruh baya itu mendekat ke arah pria yang tengah bersandar di samping ranjang.

Matanya seketika membulat, melihat darah yang mengalir dari pergelangan tangan anaknya.

“Pak!” Mendengar jeritan Nia, orang-orang yang tengah berada dalam ruangan tersebut langsung berlarian dan mendekat.

Mereka sama halnya, syok.

“Bagas!” Panggil Senjaya.

“Siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status