Share

Masih Mencintai

Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. 

                                                               Ali bin Abi Thalib. 

***

Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang  masuk. 

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. 

“Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” 

Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. 

Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. 

“Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan  memakai sandal swallow miliknya. 

Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar.

“Mas, apa yang kamu lakukan?”

“Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.”

Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah.

“Aku tidak apa-apa, Mas.” 

Airah  melepas paksa cekalan tangan Adnan dan bergegas keluar mencari di mana Bagas berada. Tak tinggal diam Adnan pun ikut berlari mengekori wanita itu. 

Hati Airah kalut, air matanya tak hentinya menetes dari pelupuk. Ribuan pertanyaan tengah bersarang dalam sanubarinya.

Dari jarak tiga meter  terdapat tiga orang pria yang sangat ia kenali. Sahabat Bagas. Tengah mengobrol dengan salah satu tenaga medis. 

Airah semakin mempercepat derap langkahnya. Menghampiri ketiga pria tersebut. 

“Dani?” Pria itu menoleh, tampak terkejut akan kehadirannya. 

“Bagaimana keadaan Bagas?”

Dani menggeleng.”Dia kritis, Kekurangan darah, sekarang tengah dicarikan darah. Tapi….”

Airah menunggu kelanjutan pria itu dengan hati yang berdebar tidak karuan.“Tapi apa, Dan?” tanyanya tidak sabaran. 

“Stok darahnya sedang habis. Rumah sakit kekurangan golongan darah AB. Sekarang kami juga sedang berusaha untuk menghubungi beberapa Palang Merah."

“Pakai darahku saja. Golongan darahku AB!”

Ketiga pria itu  termasuk Adnan terkesiap dengan raut wajah tercengang.

“Tidak, aku tidak akan membiarkan kamu melakukannya. Kamu baru saja ping—”

“Tapi tekanan darah saya normal,’kan, Mas?” imbuh Airah. Menatapnya. 

 Adnan menghela napas berat.” Tidak, Airah. Aku tidak akan memberimu izin—“

“Jika Mbak Nafisyah ada di posisi Bagas, apa Mas juga akan mengatakan pada orang yang hendak mendonorkan darahnya seperti ini?” Bulir bening dari pelupuk matanya meluncur jatuh. 

Adnan bungkam. 

“Aku mencintai Bagas, sama seperti Mas mencintai Mbak Nafisyah. Tidak! Aku lebih mencintai Bagas. Bahkan jika nyawa sekali pun akan aku berikan, asalkan dia baik-baik saja. Jadi, aku mohon biarkan aku melakukan apa yang harus aku lakukan sekarang, Mas.”

Adnan mengusap wajahnya dengan kasar. 

Dia kembali menatap Airah dengan rahang yang terkatup rapat. Memegang kedua bahu wanita itu. 

"Kamu memang sedang mempertaruhkan nyawamu untuk pria itu." Terdapat kegundahan dalam bola mata Adnan. "Apa kamu lupa kalau kamu  tidak boleh melakukan transfusi darah. Sekali pun kamu sangat ingin melakukannya? Jangan terlalu egois hanya karena memikirkan perasaanmu saja, Airah."

Tangis Airah pecah. Ia lupa bahwa dirinya juga sedang tidak baik-baik saja. Apakah jika dia mendonorkan darahnya akan berdampak buruk pada Bagas? Wanita itu tidak masalah jika dia yang harus menanggung resikonya. Tapi bagaimana jika terjadi sesuatu terhadap pria itu? 

"Apa yang harus aku lakukan, Mas? Aku tidak mungkin membiarkan Bagas sekarat seperti itu?"

Adnan menegakkan tubuhnya. Jari-jemarinya terkepal erat.  "Kamu tunggu di sini! Aku yang akan mencarikan donor darah untuknya."

***

Lampu indikator ruang operasi Bagas pun menyala. Pertanda tindakan bedah sudah dimulai. Bersyukur, hari ini Adnan berhasil mendapatkan orang yang dengan sukarela mau mendonorkan darahnya.

Jari-jemari Airah saling bertautan satu sama lain. Gugup, takut, cemas, dan khawatir beradu menjadi satu. Ucapan istighfar dan doa tak hentinya ia lantunkan, berharap agar adanya sebuah keajaiban.

"Apa yang Lu lakuin di sini ? Apa Lu juga sedang sakit?" tanya Dani.

Airah menggeleng lemah." Tidak, " sahutnya,  tanpa menoleh ke arah si penanya. "Apa kalian sudah menghubungi orang tua Bagas?" 

Dani yang duduk beberapa meter dari wanita itu menganggukkan kepala "Mereka lagi dalam perjalanan menuju kemari."

Denting jam terus berputar, menit merangkai jam, tapi belum ada tanda-tanda bahwa operasi tersebut akan segera berakhir. 

Di sudut depan ruangan itu hanya kesunyian yang menyapa insan-insan tersebut. Tak ada suara hanya deru napas yang terdengar. Pikiran mereka sama-sama berkecamuk pada satu sosok dalam ruangan itu. 

"Mau kemana?" tanya Aziz yang tengah duduk melantai di samping pintu operasi.

"Mau ke kamar kecil sebentar", balas Airah. 

Hingga pintu ruangan operasi itu terbuka Airah tak kunjung menampakkan batang hidungnya. 

***

Pintu kamar Hafsyah terbuka, di sana hanya ada Adnan yang tengah duduk sambil memangku sebuah laptop.

Airah menghampirinya. Duduk berjarak.

"Mas!" Pria itu hanya berdehem, masih fokus pada layar 15 inch di hadapannya.

"Terima kasih dan maaf karena sudah merepotkanmu," ucapnya sambil menunduk.

"Baiklah!" Airah mengangkat wajahnya, melihat wajah si pria yang tampak biasa saja. Tidak ada raut marah atau apa pun itu. 

"Apa Mas marah?"

"Untuk apa aku marah."

"Nada suara Mas terdengar seperti sedang marah?"

"Aku tidak marah."

"Terus?"

Adnan menutup kasar  MacBook-nya. 

"Jangan mempertanyakan hal-hal yang tak perlu dipertanyakan, Airah."

Sekali lagi ia menunduk dengan perasaan bersalah. Matanya berkaca-kaca." Maaf."

Terdengar helaan napas panjang dari Adnan. 

"Sudah waktunya salat, sebaiknya kamu salat dulu. Priamu membutuhkan banyak doa darimu."

Adnan melangkah keluar dari ruangan Hafsyah setelah melontarkan kalimat tersebut. Menghela napas, Airah pun beranjak menuju masjid. 

Selepas shalat dan murojaah, Airah bergegas mengayunkan kakinya mencari dimana kamar inap Bagas berada. Airah merogoh saku dressnya. Menanyakan pada Dani bagaimana kondisi Bagas serta  di mana ruangan rawat inap Bagas. 

Ia mengamati sekitar, berharap tidak ada siapa pun di sana. Dan benar saja kamar Bagas kosong hanya ada pria itu yang terbaring dengan selang infus yang melekat pada tubuhnya.

Airah mendekat. Mengamati wajah pria tersebut dengan mata yang berair. Duduk di kursi samping ranjangnya.

"Bagas," lirihnya. "Maafkan aku. Maaf karena aku sudah begitu menyakitimu, maaf karena aku tidak bisa berada di sisimu. Katakan apa yang harus aku lakukan, Gas? Aku mohon jangan seperti ini."

"Kamu sudah janji padaku kalau kamu tidak akan pernah menyakiti aku,' kan? Melihatmu sakit seperti ini sama saja kamu sudah menyakiti aku, Bagas."

Airah menghapus air matanya. Tersenyum." Aku tidak mau tahu, setelah ini kamu harus berjanji padaku juga dirimu, kalau kamu tidak akan pernah melakukan kekonyolan seperti ini lagi."

Walau hatinya tak ingin pergi meninggalkan pria itu, tapi mau tak mau ia harus pergi. Airah takut, jika ada keluarga Bagas yang tiba-tiba memergoki dirinya. Kaki wanita itu hendak melangkah, tapi urung saat sebuah tangan menahannya. 

Airah menoleh. 

"Jangan pergi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status