Alhubbu kal harbi, minas sahli an tus’ilaha, walaakin minas sha’bi an tukhmidaha. (Cinta itu laksana sebuah perang, amat mudah mengobarkannya, namun amat sulit untuk memadamkannya)
Anonim
***
Lebih dari setengah jam menunggu, hingga pintu bercat coklat susu di depan mereka, akhirnya terbuka. Tiga orang yang tengah duduk di kursi panjang depan ruangan tersebut bergegas berdiri dan menghampiri sosok pria berbadan gempal itu.
"Bagaimana keadaan anak saya dok?" Kekhawatiran tampak jelas di kedua bola mata paruh baya tersebut.
"Dia baik-baik saja, untunglah lukanya tidak terlalu dalam, " balas pria ber-snelli putih panjang di depannya sambil mengulas senyuman.
"Bisa saya lihat anak saya, Dok?" tanya Nia.
"Silahkan, kalau begitu saya pamit diri, kalau ada apa-apa Bapak Ibu bisa panggil saya. "
Mereka mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih.
Ketiganya memasuki ruangan, menghampiri sosok yang tengah tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.
"Bagas!" lirik Nia mengelus lembut rambut legam sang anak. Bulir bening kembali jatuh di kedua pelupuk matanya.
Senjaya menghampiri sang istri seraya mengelus lembut lengan atas istrinya.
"Sabar, Bu."
"Ada apa dengan anak kita, Pak?" Nia menggeleng." Ibu sangat mengenal Bagas. Dia tidak akan melakukan hal seperti ini, bahkan jika mendapat masalah besar sekalipun. "
Senjaya tak menjawab, ia pun tak mendapat jawaban dari pertanyaan istrinya itu.
Nia membalikkan badannya, menghadap sang suami.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan Airah?"
"Tidak baik suudzon, Bu. Kita tunggu saja hingga Bagas siuman."
Jam berdentang di angka 12, malam.
Tampak Bibir pucat itu bergerak bergumam memanggil nama seseorang. Menyadari adanya pergerakan wanita yang tidur berbantal lengan itu pun terbangun.
"Mas!" Ia mengguncang pelan tubuh Bagas.
"Airah!" Bagas terus bergumam memanggil nama yang sama.
"Pak! Bu!" Panggil Naya adik Bagas.
Mendengar seseorang yang memanggilnya, sontak membuat kedua orang tua tersebut bangun dari pembaringan.
"Bagas! Nak, ini Ibu." Nia mengelus lembut lengan atas Bagas.
"Bagas!" Panggil Senjaya. "Bagas bangun Nak. Sadarlah!"
"Panggil dokter, Pak, " titah Nia ketakutan.
"Airah!" Mata tajam itu terbuka lebar, mengurungkan kaki sang Ayah yang hendak berlari keluar ruangan.
"Alhamdulillah." Nia bergegas memeluk tubuh sang anak.
"Bu!" Bagas membalas pelukan ibunya.
Pria itu masih sakit, bukan pada pergelangan tangannya tapi pada hatinya. Dalam dekapan hangat ibunya setidaknya ia bisa berbagi luka hatinya.
"Maafkan Bagas, Bu, " ucapnya lirih.
Memimpikan wanita yang sudah menjadi milik orang lain laksana sayat sembilu yang menggores luka batinnya semakin dalam.
Mampukah ia melupakan wanita yang sudah memberinya banyak kenangan indah itu? Hanya waktulah yang akan menjawab segalanya.
Sedangkan dari jarak 620 mil laut, tampak sosok wanita yang sama tengah terbaring di atas Brankar rumah sakit. Di tangannya terdapat seuntai tasbih. Bertasbih memuji Allah.
"Sudah siap Airah?"
Wanita itu mengangkat wajahnya sembari tersenyum lembut. "InsyaAllah, Mas."
Brankar ABS itu pun didorong menuju salah satu ruang operasi. Airah menghela napas pelan saat tubuhnya sudah sampai di depan kamar operasi.
Adnan tersenyum menatap wanita yang tengah terbaring di atas Brankar.
"Kamu pasti bisa." Ia selalu menyemangati.
"Do'ain Airah, Mas."
"InsyaAllah, Mas selalu mendoakanmu."
***
Beberapa bulan telah berlalu…..
Setelah memarkirkan mobil miliknya, Bagas melangkahkan kakinya ke sebuah tempat.
Bau alkohol, asap rokok langsung menyengat tercium saat pria itu melangkah masuk ke dalam. Diterangi hanya dengan lampu disko berbentuk bulat yang berkelip-kelip memutar di atas plafon, tampak puluhan orang yang tengah asik menari menikmati musik DJ yang diputar.
Bagas melangkah lebar membelah puluhan lautan manusia yang tengah asyik menari itu. Menaiki anak tangga. Berbelok, memasuki private room. Di depan sana sudah ada tiga orang sahabatnya yang tengah asyik menikmati jus mereka masing-masing.
Pria itu mengayunkan langkahnya, mendekat ke arah mereka lalu duduk di double sofa.
"Lu yakin mau ikut balap motor itu lagi?"
Bagas menganggukkan kepalanya. Setelah lama ia vakum dari balap motor, kini ia kembali memutuskan untuk terjun ke dalam balapan liar itu.
"Lu udah memikirin matang-matang?"
Bagas menghembuskan napas pelan. Ia menarik satu gelas, menuangkan jus orange ke dalamnya, kemudian meneguknya hingga habis tak tersisa.
"Gue ingin memulai hidup gue balik."
"Dengan menjadi berandalan lagi?" tukas pria bernama Dani.
Bagas tersenyum smirk. Ia berjalan pelan mendekat ke arah jendela bening di depannya. Menatap hampa langit yang membungkus malam bersama dengan wanita yang juga ikut menatap lalu lalang kendaraan melalui jendela kaca bening di depannya.
Langit malam itu tampak pekat, bersih tanpa cahaya kerlap-kerlip bintang dan bulan yang ikut menemaninya. Tak menunggu waktu lama hingga gerimis berjatuhan, perlahan membungkus ibu kota dengan derasnya air hujan yang mengguyur semesta alam. Pohon-pohon basah, gaia, dedaunan, bunga, tiang listrik, juga atap-atap gedung, hingga mengenai jendela kaca beningnya.
Menghela napas berat, tangan lentik itu terayun menutup curtain wall jendela kamarnya. Ia kemudian melangkah pelan menuju mokki beds yang bersisian dengan tempat tidurnya.
Seulas senyuman terbit dari bibirnya bersamaan dengan bulir bening yang berjatuhan dari pelupuk matanya.
Dengan lembut jari jemarinya mengelus pipi chubby bak bakpao yang tengah tertidur pulas tanpa merasa terganggu apa pun itu.
Seraya bergumam; “Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi wa la fis samaa'i wahuwas sami'ul alim.”
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang bersama nama-Nya, sesuatu apapun itu tidak berbahaya di bumi dan di langit. Dia Maha Mendengar lagi Mengetahui.”
Bunyi ketukan pintu membuat Airah tersentak dan menoleh.
Sintia tersenyum dan mendekat ke arah sangat buah hati. Tersenyum menatap bayi mungil yang terlelap tidur.
"Tidurlah, biar ibu yang berjaga, " katanya, tersenyum lembut ke arah Airah. "Kamu juga butuh istirahat."
Airah balas tersenyum, mengangguk kemudian beranjak menuju tempat tidurnya.
Sejenak lenggang, hanya terdengar bunyi suara guyuran air yang terus berjatuhan.
"Adnan sudah memberitahu Ibu." Sintia menjeda kalimatnya, tatapannya fokus kepada bayi mungil di tempat tidurnya. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ra?"
Mata yang semula terpejam itu, kini kembali terbuka. Airah tak menanggapi, Ia berbalik tidur menyamping. Membelakangi sang Ibu.
Matanya lurus menatap curtain wall di depannya. Perlahan tapi pasti air mata itu kembali berjatuhan.
Hati yang semula utuh itu kini kembali pecah berserakan. Dia tidak mungkin terus berada dalam kubangan kesedihan, bukan? Hidup harus terus berjalan.
"Jika menjadi seorang berandalan bisa membuat gue menjadi lebih baik. " Ia membalikkan badannya, menatap para sahabatnya dan tersenyum tipis."Kenapa tidak gue lakuin saja dari dulu?"
Pepatah pernah berkata, 'Hati yang terluka ibarat kaca yang pecah, meski di satukan kembali tetap terlihat goresan retaknya. "
Aku merindukanmu seperti matahari yang merindukan bulan. ~ Airah~ *** Hampir mendekati dua belas bulan wanita itu meninggalkan kota metropolitan, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dia kembali menginjakkan kakinya di kota itu. Kota yang membawanya pada kenangan masa silam. Airah menatap Arunika dengan bulir bening yang berjatuhan, cahayanya memancarkan warna ke orengan dari ufuk timur hingga mengenai dinding kaca kamarnya. Sejuknya udara pagi tak dapat menyejukkan hatinya yang tengah dilipat gejolak yang berkecamuk. "Jadi kapan berangkat ke kampusnya, Ra?" Wanita itu terperanjat kaget saat Sintia tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Berjalan mendekat dan menyimpan nampan makanan dan minuman yang ia bawa di atas nakas. Airah menoleh sekilas. "InsyaAllah besok, Bu," balasnya, kembali menatap pepohonan di balik jendela. Sintia menghampirinya. Membalikkan tubuh Airah kemudian menggenggam tangan sang anak dengan lembut dia berujar, "Apa kamu yakin dengan keputusanmu in
Tak ada kenangan yang dapat dilupakan dengan mudah, apalagi jika kenangan itu menimbulkan jejak luka yang membekas. (Bagas~Airah) "Ketika kita bertemu tragedi nyata dalam hidup, kita dapat bereaksi dengan dua cara—entah dengan kehilangan harapan dan jatuh ke dalam kebiasaan merusak diri sendiri, atau dengan menggunakan tantangan untuk menemukan kekuatan batin kita."~ Anonim. *** Airah menghembuskan napas panjang saat setelah sampai di depan gerbang kampus. Setelah sekian lama, akhirnya dia menjejakkan kakinya kembali di kampus tersebut. Dengan mengucap Bismillah ia melangkahkan kakinya menuju kelas. Melewati koridor demi koridor dan tatapan aneh orang-orang yang tertuju padanya. Hingga langkahnya sampai ke ruang kelasnya. Terlihat beberapa pasang mata yang menatapnya heran. Mungkin karena busana yang kini ia kenakan. "Airah?" Wanita itu menoleh. Tersenyum mendapati Anya (sahabatnya) yang juga melihatnya heran. "MasyaAllah, kamu berhijab sekarang?"
"Jika melukaiku adalah jalan untuk menebus kesalahan dan rasa sakit hatimu, maka lukai dan sakiti saja hatiku. Tapi, ku mohon jangan melukai dirimu sendiri, karena itu sama saja kamu menambah rasa bersalahku padamu." Nur Airah Nih 🥀🥀🥀 Jam berdenting menunjukkan pukul dua dini hari. Airah melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat sebagai penutup malam ini. Air matanya tak dapat ia bendung kala masa lalu muncul silih berganti dalam memori. Bahu wanita itu terguncang oleh tangis. Wajahnya, wajah sosok yang sangat dia cintai. Wajah pria yang ingin dia bersamai hingga ajal menjemput. Wajah sosok yang selalu dia harapkan menjadi imam dalam sholatnya. Kini, hanya dapat ia kenang dengan doa yang terus dia langitkan. Airah merindukan pria itu. Sangat. Hampir dua belas bulan wanita itu menjauh berharap agar dapat melupakan sosoknya, melupakan semua kenangan yang telah mereka raju
Kutitip dirimu hanya pada-Nya, karena Allah lah sebaik-baiknya penjaga. Nur Airah Nih *** Airah menatap pintu bercat biru dari jarak lima meter di hadapannya sambil mondar-mandir gelisah. Ia menoleh saat mendengar pintu ruang kuliah teknik informatika 101 tersebut terbuka. "Dani!" Pria itu menoleh. Airah lekas berlari menghampirinya, dan berdiri di hadapannya. "Bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?" "Dia baik-baik saja. Lu, nggak usah khawatir." Airah tersenyum tipis." Terima kasih banyak." Dani menganggukkan kepalanya seraya melanjutkan langkah kakinya. Kini dia bisa bernapas lega, walau tak sepenuhnya. Meminta bantuan kepada Dani adalah salah-satunya jalan yang bisa ia tempuh saat ini. Dia tidak ingin terjadi sesuatu terhadap Bagas diluar nalar kewarasannya. Airah menghembuskan napas lelah saat ia berbalik badan dan melihat Angel and the geng tengah berjalan lebar ke arahnya. "Ngapain Lu di
Bisakah aku mendengar suaramu sebagai obat atas rinduku. ~Adnan Ghafi Shahzaib~ 🕊🕊🕊 Sejenak lenggang, hanya terdengar suara degup jantung dua insan yang tengah terpaku dalam pikiran mereka masing-masing. Adnan menghela napas berat, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sembari matanya menatap lurus plafon putihnya di atasnya. Pikirannya seakan tengah menerawang jauh ke belakang. Sedangkan wanita yang duduk tiga meter darinya tengah menatap lurus lantai granit putih polos di bawahnya. Menunggu jawaban atas pertanyaannya. Detik menit menunggu tapi tak kunjung pria itu menyahut apa pun. Adnan menutup matanya sejenak. Lagi helaan napas itu terdengar berat keluar dari bibirnya. "Jika aku mempertanyakan hal yang sama, apa kamu juga akan menjawabnya?" Adnan menoleh, menatapnya lamat. Kali ini Airah yang diam tak menjawab. Pria itu kembali mengalihkan tatapannya pada plafon di atasnya. "Tak ada seorang pun yang tak merindukan orang yang mereka cintai, Ra, " imbuhny
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala
Aku hanya bisa mengenang kisah kita bersama, disaat aku sudah tak bisa lagi menggapaimu. Bagas Gunawan Basri *** Kelopak mata itu perlahan terbuka. Mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aroma obat-obatan langsung tercium oleh indera penciumannya. "IBU! Mas Bagas sudah sadar." Terdengar suara nyaring. "Bagas! Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak." Pria itu diam masih mencerna."Airah, mana Bu?" tanyanya. "Wanita itu tidak ada, Bagas. Dia bahkan tidak mempedulikan bagaimana keadaanmu. Jadi, ibu mohon berhentilah mencarinya, ya?" Bagas tak menjawab. Dia merasa bahwa Airah baru saja datang menjenguknya dan berceloteh berbagai hal seperti biasanya. "Bagas, apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit, Nak?" tanya Nia khawatir saat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata sang putra. "Bisa ibu panggilkan Airah untukku?" Rindu tampak jelas di kedua bola mata Bagas. Mata Nia berkaca
Kita berpijak pada bumi yang sama, menatap langit yang sama, juga pada perasaan rindu yang sama. Tapi, mengapa kita tak dapat bersama-sama? ~Rintihan hati dua insan yang dilanda rindu~ *** Airah menghentikan bacaan Alqurannya saat mendengar ketukan pada pintunya. "Unda, boleh Asya masuk." Ia menyunggingkan sebuah senyuman saat mendengar suara teduh tersebut. "Boleh sayang masuklah!" Hafsyah berlari ke pangkuan Airah saat pintu itu dibuka oleh Sintia. "Yasudah, ibu ke bawah, ya?" Airah tersenyum, mengangguk. "Kok, belum tidur sih, Nak?" tanyanya, mengelus lembut pucuk kepala sang anak. Hafsyah menggeleng." Nggak bisa tidul unda." Kening Airah mengerut." Kenapa tidak bisa tidur, hm?" "Abi biasanya bacain Asya dongeng sebelum tidul." "Jadi, anak bunda yang satu ini mau dibacain dongeng, ya?" Hafsyah mengangguk cepat—ia tersenyum. "Biasanya Abi bacain dongeng apa untuk Hafsyah?" Hafsyah mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ma