Setelah seminggu di Makassar, kini Arjuna dan Jelita kembali ke Jakarta. Salah satu alasan Jelita menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna, agar gadis itu bisa kembali lagi ke Jakarta, karena Arjuna pasti akan kembali bekerja dan tentu membawanya ikut serta. Mungkin jika Jelita tak jadi menikah saat itu, orangtuanya tak lagi mengizinkan gadis itu untuk kembali ke ibu kota. Jelita pasti akan berakhir di kantor papanya bekerja. Membosankan, karena gadis itu ingin memulai karirnya dari nol.
Jelita dan Arjuna baru turun dari taksi yang ditumpanginya. Udara terasa dingin ketika tubuh itu diterpa angin malam. Keduanya memasuki pagar rumah yang kini akan ditinggali. Rumah yang sejak beberapa hari ditinggalkan Arjuna, demi kembali ke Makassar dan memenuhi undangan orangtua Jelita. Namun, yang terjadi malah Arjuna yang menikahinya.
Gadis yang memakai kulot denim dipadu blues dan jilbab senada itu memandangi rumah di depannya. Rumah dua tingkat dengan halaman yang tak luas, hanya ada beberapa bonsai dan kolam renang di samping rumah.
Arjuna membuka pintu, mengisyaratkan agar Jelita segera masuk ke dalam. Keduanya masuk, lalu Arjuna kembali menutup pintu.
“Tunjukkan di mana kamarku,” pinta Jelita saat ia telah berhasil memindai seisi rumah itu. Setidaknya ia melihat ada beberapa kamar di sana, yang tentu tak membuat dirinya harus tidur satu kamar dengan Arjuna.
Sejenak Arjuna merasa ada yang menghantam keras sisi hatinya. Ia menoleh pada Jelita seiring dengan pertanyaan itu meluncur dari bibir gadis yang ia cintai. Terlampau sakit, menyadari bahwa Jelita sama sekali tak bisa menerimanya.
Sementara gadis itu merasa bahagia, karena mulai hari ini ia tak perlu lagi berpura-pura baik-baik saja dengan pernikahan yang tak diharapkan itu. Jelita tak lagi harus memeluk tangan itu, tak lagi harus tersenyum dan bermanja dengan lelaki yang ia benci seumur hidupnya. Semua akan berjalan bagaimana semestinya. Arjuna dengan kehidupannya, Jelita dengan kehidupannya.
“Lita, aku tau kamu tak pernah mengharapkan pernikahan ini.” Saat itu Arjuna memulai percakapan.
“Tapi, tolong bersikap layak di depan orangtua kita.” Arjuna meminta. Ia tak sanggup melihat kekecewaan dari kedua orangtua Jelita, juga raut khawatir dari wajah ibunya, Melisa.
Jelita bergeming. Tatapannya kosong menghantam dinding kamar yang berhadapan dengannya. Tangan itu mengepal, lalu meninju sisi sofa yang ia duduki.
“Aku tahu kamu marah. Tapi, cobalah berdamai dengan takdir ini.”
Takdir?
Jelita tersenyum miring, menatap tajam pada Arjuna yang duduk di sampingnya. Lalu, pergi entah ke mana. Karena, melihat wajah Arjuna, membuat gadis itu mengingat Kevin. Lelaki yang telah menghancurkan sebagian hidupnya, lalu takdir menyerahkannya pada lelaki yang tak ia cintai.
Kini, Jelita di sini. Di rumah Arjuna dan akan tinggal bersama. Sakit, ketika harus melakukan hal-hal yang tak ingin dilakukan. Jelita mengurangi rasa sakit itu dengan caranya sendiri, salah satunya meminimalkan melihat wajah Arjuna setiap hari dengan cara memilih kamar yang berbeda.
“Jelita ....” Suara Arjuna melemah. Entah, ia tak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa. Nyatanya saat semakin banyak ia bicara, Jelita semakin tak peduli.
Kadang ada hal-hal yang lelaki itu pertanyakan dalam diri sendiri. Namun, jawabannya tetap yakin bahwa menikahi Jelita adalah jalan yang terbaik untuk mengembalikan hati gadis itu untuknya.
“Aku hanya meminta kamar, bukan meminta diceraikan.” Jelita menatap Arjuna yang masih memegangi kopernya. Sebenarnya gadis itu sudah tak peduli jika menjadi janda sekalipun, tapi ia berpikir Arjuna benar. Orangtuanya akan menanggung malu seumur hidup, karena kecewa pada putrinya.
Lelaki itu menghembuskan napas pelan. Mencoba mengontrol diri agar tidak memperburuk situasi.
“Di atas ada dua kamar, di bawah dua. Terserah kamu mau yang mana.” Arjuna memutuskan akhirnya. Ia tak ingin berdebat panjang dengan Jelita, karena akan membuat suasana lebih sulit.
Tak lagi menjawab, Jelita mendorong kopernya menuju salah satu kamar yang ada di lantai bawah. Ia berpikir, itu akan lebih baik daripada harus menaikkan koper ke atas sana.
Arjuna juga melakukan hal yang sama. Menarik kopernya untuk masuk ke kamar yang bersebelahan dengan Jelita. Mulai hari ini, ia akan menempati kamar bawah agar bisa dekat dengan gadis itu.
*
Pagi.
Jelita membuka mata saat matahari mengganggu penglihatannya yang menembus melalui jendela kaca. Gadis itu menggeliat, lalu duduk sambil merenggangkan ototnya. Setelah subuh, Jelita kembali tertidur karena perjalanan jauh yang terlalu melelahkan.
Gadis itu beringsut dari ranjang. Lalu, membuka tirai jendela agar cahaya matahari menyinari kamarnya. Setelah itu Jelita keluar, karena perutnya terasa lapar.
Jelita tak melihat Arjuna di rumah. Lelaki itu mungkin sudah sedari tadi pergi bekerja. Ia memasuki dapur, lalu membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa dimasak agar bisa memberikan hak untuk perutnya.
Sial!
Kulkas terlihat kosong. Tak ada satu bahan pun yang bisa diolah Jelita untuk sekadar mengganjal perutnya pagi ini. Hanya dua kotak susu yang tertinggal di sana. Mungkin Arjuna sengaja mengosongkan kulkasnya, atau memang lelaki itu selama ini selalu makan di luar.
Jelita menutup pintu kulkas dengan sedikit kesal. Ia ingin kembali ke kamar dan memesan go food untuk mengisi perutnya pagi ini.
Langkah itu terhenti saat dilihatnya sesuatu di meja makan. Jelita mendekat, lalu menarik satu kursi untuk duduk di sana. Ia mengambil kotak di depannya dan membuka. Wangi khas lontong sayur begitu menggugah selera saat kotak itu terbuka sepenuhnya.
Sepertinya Arjuna memang membeli untuknya, pikir Jelita.
*
Setelah merasa kenyang, Jelita kembali ke kamar. Gadis itu ingin mandi agar tubuhnya segar. Namun, sebelum itu Jelita mengecek ponselnya.
Kulkas kosong, makan apa yang ada dulu. Siang pesan aja go food. Nanti kalau aku udah pulang, kita belanja. Sorean.
Sebuah pesan dari Arjuna terbaca. Jelita hanya memahami, tanpa berniat membalasnya. Ia mencampakkan ponsel itu di ranjang, lalu kembali ke sisi jendela. Kembali memandangi pemandangan di belakang rumah Arjuna sembari merenungi nasib sialnya.
Jelita memicingkan mata saat melihat sebuah pohon di belakang sana. Sejenis pohon Karsen yang diatasnya dibangun sebuah tempat duduk menyerupai rumah pohon. Gadis itu baru melihatnya, padahal sejak tadi ia berdiri di depan jendela.
Gadis yang masih mengenakan piyama tidur itu keluar dari kamar, untuk melihat tempat unik itu. Jelita masih ingat bagaimana Arjuna kecil sering menceritakan tentang rumahnya di Jakarta.
“Suatu hari kamu harus main ke sana, Lita.” Arjuna sering mengulang kalimat itu setelah ia liburan dari Jakarta.
Ingatan Jelita kembali pada saat ia dan Arjuna masih mengenakan seragam sekolah dasar.
“Kenapa gak sekolah?” tanya Jelita melalui sambungan telepon, saat itu mereka masih berusia sembilan tahun.
“Kamu pasti gak punya temen ya.” Arjuna kecil terlalu percaya diri. “Aku lagi di Jakarta, mama papa udah izin.”
“Kapan pulang?” tanya Jelita.
“Kangen ya.”
Jelita menutup teleponnya, kesal pada Arjuna yang terlalu percaya diri. Padahal memang benar, Jelita merasa sendiri. Karena setiap pagi, jika bukan Arjuna yang berteriak memanggil Jelita, maka sebaliknya. Lalu, mereka akan berangkat ke sekolah bersama-sama.
Jelita menaiki tangga yang terbuat dari kayu untuk sampai ke atas. Terhitung sepuluh tangga yang dinaiki Jelita, hingga ia bisa duduk di lantai kayu yang dibangun di atas pohon. Menyerupai rumah setengah jadi, karena hanya atap dan setengah dinding yang melengkapi.
Gadis cantik itu duduk di sana, menjulurkan kakinya ke bawah.
“Suatu hari kamu harus ke sana.” Kalimat Arjuna kembali memenuhi pikirannya. Hal itu benar terjadi, Jelita kini bahkan duduk di tempat yang paling Arjuna sukai. Namun, harusnya keadaan hatinya tak seperti ini. Bukan dalam keadaan benci setengah mati.
Jelita memandangi ke bawah, terlihat rumput hijau memenuhi halaman belakang rumah.
“Papa membuatkannya khusus untukku.” Arjuna terus bercerita. Sementara Jelita mendengarnya dengan bahagia.
Rumah yang ia tinggali kini, dibeli ibu Arjuna untuk tempat tinggal jika mereka harus datang ke Jakarta karena pekerjaan. Melisa, selain cantik, ia juga lahir dari keluarga yang kaya. Ada hal yang bisa ia dapatkan dengan mudah, ada juga yang tak bisa ia genggam meskipun ia berusaha. Cinta sang suami. Melisa tak mendapatkan itu dalam hidupnya. Makin Arjuna tumbuh, cinta dari ayahnya untuk Melisa semakin berkurang, hingga yang tersisa hanya surat cerai sebagai bukti sudah tak ada yang tertinggal di hati itu.
Jelita kembali terlempar pada cerita-cerita Arjuna. Wajah itu terlihat sangat bahagia ketika ia berbagi pengalamannya. Bahkan ketika Arjuna mengatakan bahwa ayahnya adalah ayah terbaik di dunia. Namun, saat usia Arjuna memasuki SMP, lelaki itu malu pada kalimatnya. Malu pada Jelita karena pernah mengatakan itu padanya. Karena nyatanya, ayahnya hanyalah lelaki terburuk yang pernah ia temui.
Membayangkan itu, ada setitik rasa iba pada lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya.
Jelita memandangi seluruh bangunan kecil yang kini ia duduki. Gadis itu ingat, Arjuna menyuruh ayahnya untuk membuat rumah seperti dalam serial kartun yang sering ia tonton. Serial kartun binatang loreng yang membangun rumah di atas pohon, agar tak diganggu binatang lain. Mereka tinggal bersama anaknya. Seperti Arjuna, ayah, dan ibunya. Namun, mimpi Arjuna dicundangi takdir. Kadang Jelita ingin bertanya, bagaimana kondisi hati lelaki itu, tapi kebenciannya lebih mendominasi, hingga tak tersisa ruang untuk kembali pada keadaan yang sama seperti dulu.
“Kayak gini loh.” Arjuna menunjukkan sebuah foto. Gambar dirinya yang dipeluk erat oleh orang tua saat berada di atas rumah pohon. Terlihat senyum manis dari ketiganya. Senyum indah layaknya keluarga bahagia.
Jelita bangun, ingin turun ke bawah. Namun, gerakannya terhenti saat ia melihat dua nama yang terpahat di permukaan pohon yang menaungi tempat unik itu.
Arjuna dan Jelita.
Terpahat dengan tulisan sedikit dalam, seperti tulisan tangan Arjuna.
“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada. “Kerja.” Jelita menjawab singkat. Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain. Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu. Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar. Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadap
“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Mental pengecut!” Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan. “Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, te
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih
Bab 14 *Arjuna masih duduk di balik pintu kamar Jelita. Ia masih mendengar Isak tangis di dalam sana. Malam ini ia harus mengatakan semuanya, didengarkan atau tidak, ia harus akhiri kesimpulan salah dari Jelita. “Maaf untuk semua kekecewaan yang pernah kulakukan. Salahku karena menuruti keinginan Aldi, bukan yang memulai mengajaknya balapan. Dia yang punya ide gila itu.” Arjuna berkata pelan, ia tahu di dalam sana Jelita pasti bisa mendengarnya. Kembali ingatan itu hadir di memori Arjuna. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar ulang. Seandainya ia tahu Aldi pergi dengan cara seperti itu, ia tak akan bersikap egois dan kekanakan, bahkan berniat pun tak akan. “Kamu suka sama Jelita, kan?” Pertanyaan Aldi sukses membuat Arjuna terdiam. Pertanyaan yang ingin ia sembunyikan jawabannya, tapi kadang ada sisi hati ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Ada saat di mana hatinya ingin berteriak dan mengatakan bahwa benar ia menyukai Jelita. Sejak dulu, dari dulu. Lalu,