Arjuna menapaki langkahnya di tangga. Sejenak, ia berdiri di depan pintu kamar. Di mana di dalam sana telah menunggu seorang gadis yang ia tahu belum bisa menerima takdir sepenuhnya. Ah, Jelita tak menunggunya. Gadis itu mungkin hanya menunggu esok hari ajar bisa segera pulang ke rumahnya.
“Bagaimana, Juna?” tanya Melisa saat Arjuna sedang duduk di depan televisi.
“Apanya, Ma?” Arjuna balik bertanya. Sebenarnya ia mengerti arah pembicaraan sang mama.
“Pernikahanmu.”
Sejenak Arjuna terdiam mendengar pertanyaan sang ibu. Matanya memandangi wanita yang telah melahirkannya sedikit lama, ada sorot harapan juga khawatir di manik mata itu.
Arjuna berpikir jawaban yang tepat untuk melegakan hati ibunya. Ia tak bisa melihat wanita itu terus-menerus merasa khawatir akan pernikahannya.
“Baru beberapa hari, Ma. Jelita butuh pembiasaan dari semua yang terjadi.” Arjuna menjawab akhirnya. Memberi pengertian pada ibunya tentang sebuah kekhawatiran yang mungkin saja dirasakan semua ibu di dunia.
Ibu mana yang sanggup melihat anaknya terluka?
Melisa mengangguk. Lalu, menepuk pundak lelaki yang tumbuh lebih tinggi darinya. Lelaki yang mewarisi fisik ayahnya, tapi mewarisi kelembutan sifat keibuan Melisa di hatinya.
“Mama selalu doakan yang terbaik untukmu.” Melisa menatap Arjuna lekat. Lalu, setetes air meluncur dari sana.
Tangan Arjuna terulur, menghapus jejak air mata di pipi lembut ibunya.
“Mama hanya tidak mau kamu mewariskan nasib mama.” Melisa menahan tangan Arjuna, membuatnya menangkupkan dua tangan itu di wajahnya. Wajah yang amat Arjuna cintai, dan tak pernah bisa tertukar posisinya.
Arjuna menggeleng. Mengisyaratkan ibunya agar tidak pernah membahas itu lagi. Karena setiap kali ia mendengar tentang ayah, ada sisi hatinya yang teriris, luka itu kembali terbuka pelan dan rasanya perih. Arjuna terbayang bagaimana lelaki itu pergi. Lelaki yang harusnya menjadi panutan, memilih memberikan hatinya untuk wanita lain. Sementara Arjuna dan ibunya dibiarkan menangisinya setiap malam. Tanpa kabar, tanpa sapa, karena setelah itu hanya surat cerai yang dikirimkan untuk Melisa.
Sejak itu, Arjuna berjanji akan membahagiakan ibunya dengan cara apa pun. Lelaki itu akan menjadi penjaga untuk ibunya dalam kondisi apa pun. Arjuna tak akan membiarkan ibunya menangis terlalu banyak lagi.
“Arjuna baru mencoba, Ma. Hati Jelita hanya sedang tersesat. Aku janji akan membawa kembali hati itu pelan-pelan.”
Arjuna masih berdiri di depan pintu. Teringat olehnya percakapan dengan sang ibu beberapa menit lalu. Bagaimana pun, ia tak bisa melihat raut khawatir di wajah itu. Kekhawatiran yang sewaktu-waktu bisa menjadi kekecewaan yang mendalam jika saja Melisa tahu bagaimana hubungan Jelita dan Arjuna yang sebenarnya.
Arjuna menekan handel pintu. Lalu memasukinya. Terlihat di ranjang sana Jelita sedang duduk, dan tangannya tergesa saat meletakkan sebuah foto yang mungkin baru saja ia lihat.
Arjuna menatap Jelita, terlihat gadis itu buru-buru menyeka air mata.
“Lah, barang belanjaannya belum diberesin?” Arjuna mengalihkan keadaan dari apa yang ia tebak baru saja terjadi di kamar ini. Ia mengalihkan pandangan ke meja di dekat lemari.
Ya, Jelita mungkin baru saja menangisi sebuah kenangan, pikir Arjuna.
“Ah, iya. Tadi mau beresin.” Jelita bangkit dari duduknya. Ia menuju sebuah meja di depan sofa yang terletak di sisi dinding.
Gadis itu duduk bersila di hambal yang terhampar. Ia mulai mengeluarkan isi dari paper bag yang ia beli dengan ibu mertuanya. Gadis itu merapikannya dengan memasukkannya ke lemari.
Jelita kembali membuka paper bag yang lainnya, lalu berteriak saat melihat sesuatu di dalamnya dengan perasaan ngeri.
“Apa ini?” teriak Jelita memperlihatkan sebuah baju pada Arjuna, dengan wajah pias karena malu. Baju dengan bahan tipis dan jika dipakai akan membelok seluruh bentuk tubuh beserta isinya.
“Cari aja di internet fungsinya untuk apa?” Arjuna tertawa.
Jelita melemparkan baju tipis itu ke arah Arjuna, di mana lelaki itu baru saja duduk memainkan ponselnya di atas kasur.
“Jangan terlalu berfantasi!” ucap Jelita memperingatkan.
Arjuna tak menghiraukan. Ia masih saja tertawa menggoda Jelita, sembari membalas beberapa pesan dari teman-teman kerjanya.
Lelaki itu meletakkan ponsel, lalu mengambil lingerie yang tersangkut di ujung ranjang.
“Cantik sih,” ucap Arjuna sembari mengangkat baju berbahan tipis itu ke udara.
“Butuh perjuangan juga buat dapetinnya.” Arjuna melanjutkan.
Sejenak Jelita bergeming, ia baru akan duduk kembali di tumpukan paper bag yang ada di dekat meja. Seingatnya ia dan mama tak pernah membeli baju itu. Pantas saja Arjuna menghilang setelah mengantarkan Jelita dan Melisa ke mall. Tenryata lelaki itu berburu lingerie.
Ish! Menggelikan sekali kelakuannya.
Jelita berlari menuju ranjang, di mana Arjuna masih memegang lingeri di tangannya. Gadis itu ingin merebut baju itu dari tangan Arjuna, ingin membuangnya atau mengguntingnya mungkin. Bahkan Jelita merinding membayangkan dirinya memakai baju tipis itu di depan Arjuna.
Arjuna menggeser tangannya, hingga lompatan Jelita melesat. Ingin meraih tangan Arjuna, malah jatuh ke pelukannya tanpa sengaja. Jelita jatuh dalam dekatapan Arjuna dalam kondisi setengah terbaring. Posisi Jelita di atas Arjuna. Sementara tangan Arjuna menggenggam erat baju dinas itu.
Harum maskulin tubuh Arjuna terhidu lembut di hidung Jelita. Dalam posisi seperti itu, membuat otaknya sedikit bergeser. Keduanya saling menikmati debaran yang mengencang. Lalu tatapan itu beradu beberapa detik, hingga Jelita menarik diri dari dada bidang Arjuna yang membuat kewarasannya sedikit berkurang.
Jelita mendumel entah apa. Malu, salah tingkah sekaligus kesal. Sementara Arjuna masih merasakan sisa debar halus di jantungnya. Andai waktu bisa dihentikan, ia ingin tetap dalam posisi seperti tadi.
Arjuna tersenyum melihat Jelita. Setidaknya gadis itu kembali. Kembali bersikap seperti biasanya, tak lagi bersedih seperti beberapa saat lalu Arjuna melihatnya menyeka air mata.
Beberapa menit gadis itu merapikan belanjaannya. Sementara Arjuna sambil menunggu Jelita, ia kembali memainkan ponselnya.
“Malam ini kan jadwal aku yang tidur di ranjang,” ucap Jelita mendekat ke arah Arjuna. Gadis itu melihat Arjuna telah siap menarik selimut tebalnya.
Arjuna tersenyum menggoda. Lalu, menepuk bantal di sampingnya. Lelaki itu mengisyaratkan agar Jelita tidur di sampingnya.
“Ogah!” ucap Jelita dengan ketus.
“Yaudah.” Arjuna menarik satu bantal di sampingnya, lalu menyerahkan pada Jelita sembari menunjuk dengan dagunya. Menunjuk ke arah sofa panjang yang terletak di sisi dinding.
“Oh, balas dendam?” tanya Jelita menantang.
“Fine,” lanjut gadis itu. Jekiat melangkah dengan kakak yang dihentikan di lantai, kesal. Ia menuju sofa yang ada di sisi dinding, posisinya tepat di depan ranjang king size yang kini ditiduri Arjuna.
Shit!
Gadis itu mengumpat dalam hati. Andai saja tak ada mama di rumah, mungkin Arjuna yang harus mengaku kalah.
Jelita merebahkan tubuhnya di sofa. Lumayan. Untung saja gadis itu bisa nyenyak tidur di mana saja, meskipun diakui tetap kasur dan ranjang tempat paling nyaman. Gadis itu beringsut, duduk dan menatap Arjuna yang sepertinya terlalu nyaman di atas sana. Jelita melangkahkan kaki, mendekat pada Arjuna, lalu ditariknya selimut yang menutupi tubuh itu.
“Selimutnya aku yang pakai.” Gadis itu berkata setelah mendapat tatapan bertanya dari Arjuna yang tiba-tiba membuka mata.
Arjuna mengendikkan bahunya. Kali ini ia mengalah.
Jelita kembali ke sofa. Ia mulai memejamkan mata, berharap segera bisa tidur malam itu, karena hatinya terlalu melelahkan.
Tak butuh waktu lama, mata Jelita terpejam, dan mulai terdengar dengkuran halus dan teratur dari gadis itu.
Sementara di atas ranjang sana, Arjuna masih terjaga. Tepatnya menunggu gadis yang ia cinta terlelap.
Arjuna turun dari ranjang, ia mendekat ke sofa, di mana tubuh Jelita terbaring tidur dengan pulas. Lelaki itu melayangkan tangannya di depan wajah Jelita, memastikan gadis itu benar-benar sudah terlelap.
Lalu, Arjuna mulai mengangkat tubuh ramping itu. Dengan debar yang sedikit mengencang dalam hatinya. Melihat Jelita dari jarak dekat slalu membuat debar berbeda dalam hatinya. Lelaki itu meletakkan tubuh Jelita di kasur yang empuk, lalu menyelimutinya hingga sedada.
Arjuna menatap wajah itu. Wajah yang hanya dibiarkan dipandangi saat ia terlelap. Lelaki berambut sedikit gondrong itu masih berjongkok di lantai, memandangi pipi mulus Jelita, hidungnya juga kedua mata indahnya yang tertutup. Arjuna mencinta seluruh bagian yang ada pada Jelita. Hinga saat tatapan mata itu beralih ke bibir Jelita, Arjuna kembali merasakan debar di dadanya.
Jekita menggeliat, membuat Arjuna sedikit menjauh dari posisi semula. Khawatir jika sewaktu-waktu Jelita akan bangun dan mendapati dirinya sedang memandang wajah itu. Setelah menggeliat sebentar, tubuh itu kembali diam.
Arjuna tersenyum sembari meletakkan dua jarinya di bibirnya, mengecupnya pelan, lalu ditempelkan jari itu di bibir ranum milik Jelita.
“Selamat malam, Bidadariku.” Arjuna berbisik di telinga Jelita.
Setelah itu langkah Arjuna lurus menuju sofa. Ia rebahkan tubuh kekarnya di sana. Menghadap ranjang, agar bisa meilhat Jelita sebelum mata itu benar-benar terpejam.
Setelah seminggu di Makassar, kini Arjuna dan Jelita kembali ke Jakarta. Salah satu alasan Jelita menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna, agar gadis itu bisa kembali lagi ke Jakarta, karena Arjuna pasti akan kembali bekerja dan tentu membawanya ikut serta. Mungkin jika Jelita tak jadi menikah saat itu, orangtuanya tak lagi mengizinkan gadis itu untuk kembali ke ibu kota. Jelita pasti akan berakhir di kantor papanya bekerja. Membosankan, karena gadis itu ingin memulai karirnya dari nol. Jelita dan Arjuna baru turun dari taksi yang ditumpanginya. Udara terasa dingin ketika tubuh itu diterpa angin malam. Keduanya memasuki pagar rumah yang kini akan ditinggali. Rumah yang sejak beberapa hari ditinggalkan Arjuna, demi kembali ke Makassar dan memenuhi undangan orangtua Jelita. Namun, yang terjadi malah Arjuna yang menikahinya. Gadis yang memakai kulot denim dipadu blues dan jilbab senada itu memandangi rumah di depannya. Rumah dua tingkat dengan halaman yang tak luas, hanya ada beberap
“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada. “Kerja.” Jelita menjawab singkat. Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain. Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu. Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar. Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadap
“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Mental pengecut!” Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan. “Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, te
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih