Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih
Bab 14 *Arjuna masih duduk di balik pintu kamar Jelita. Ia masih mendengar Isak tangis di dalam sana. Malam ini ia harus mengatakan semuanya, didengarkan atau tidak, ia harus akhiri kesimpulan salah dari Jelita. “Maaf untuk semua kekecewaan yang pernah kulakukan. Salahku karena menuruti keinginan Aldi, bukan yang memulai mengajaknya balapan. Dia yang punya ide gila itu.” Arjuna berkata pelan, ia tahu di dalam sana Jelita pasti bisa mendengarnya. Kembali ingatan itu hadir di memori Arjuna. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar ulang. Seandainya ia tahu Aldi pergi dengan cara seperti itu, ia tak akan bersikap egois dan kekanakan, bahkan berniat pun tak akan. “Kamu suka sama Jelita, kan?” Pertanyaan Aldi sukses membuat Arjuna terdiam. Pertanyaan yang ingin ia sembunyikan jawabannya, tapi kadang ada sisi hati ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Ada saat di mana hatinya ingin berteriak dan mengatakan bahwa benar ia menyukai Jelita. Sejak dulu, dari dulu. Lalu,
Part 15 * Aldi mengangguk pada Arjuna, menandakan mereka akan memulai balapan di jalanan hitam yang tak berujung. Arjuna membalas anggukan, lalu menutup kaca helmnya sebelum menancap gas menyusul Aldi yang telah lebih dulu menarik gas. Dua anak lelaki berseragam putih abu-abu itu melintasi jalan raya, saling beradu kecepatan hingga beberapa kali mendapat cacian dari para pengguna jalan. Keduanya sama keras kepala, sama tak peduli pada umpatan yang dilontarkan mereka yang merasa terganggu. Untung saja, Aldi tak memilih jalan utama, karena tahu mungkin satu menit saja mereka akan berakhir di kantor polisi. Dua motor itu saling mengejar, kadang Aldi di depan, kadang Arjuna berhasil mengalahkan jarak. Kini, Aldi yang tertinggal di belakang, membuatnya kembali manancap gas secara brutal hingga bisa menyeimbangi posisi Arjuna. “Aku yang lebih dulu sampai di finish.” Aldi berkata setengah berteriak, saat ia bisa menyajarkan posisinya di samping Arjuna. Sementara Arjuna menoleh, ia bisa
Bab 16*Pagi. Jelita membuka mata karena terdengar adzan subuh berkumandang dari ponselnya. Gadis itu membalikkan badan dan melihat Arjuna di sampingnya. Suami yang masih dengan setengah hati bisa ia terima dalam kehidupannya. Entah. Dari sudut mana pun Jelita melihat, Arjuna hanya terlihat seperti temannya. Teman masa kecil yang kebaikannya tak ada yang bisa menggantikan. Hanya saja waktu pernah mencekat mereka pada kesalahpahaman, hingga yang tersisa hanya benci dan kerenggangan.Gadis itu memejamkan mata, terlalu sesak memikirkan kondisi hati dan perasaannya. Lalu, mata itu kembali terbuka bersamaan dengan helaan napas lelahnya. Kembali ingatan itu hadir di memorinya. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar.Jelita membuka pintu kamar, setelah duduk di bawahnya beberapa menit tenggelam dalam tangisan. Tempat yang beberapa saat lalu menjadi sandaran untuknya dan Arjuna. Tempat yang beberapa saat lalu ia tumpahkan tangisnya atas masa lalu yang ia rasa tak adil
Bab 17*Jelita pulang saat hari mulai gelap. Ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci, itu berarti Arjuna sudah berada di rumah. Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan kondisi terang, karena lampu telah dihidupkan. Ia melangkah ke kamar, ingin mengganti pakaian dan membersihkan diri, juga menunaikan kewajiban shalat magrib yang hanya tersisa beberapa menit saja.Usai melakukan itu, Jelita melangkah ke kamar Arjuna. Ia ingin mengajak suaminya untuk makan malam. Karena Jelita tak memasak, ia telah memesan go food untuk santapan malam ini.“Lita, ayo pindah kamar,” pinta Arjuna saat itu.Sejenak Jelita bergeming, rasa aneh itu kembali hadir dalam hati gadis itu. Ia masih hanya bisa melihat Arjuna sebagai teman. Jelita seolah terjebak di masa remaja mereka, di mana ia dan Arjuna memiliki hubungan yang sangat dekat sebagai teman.Jelita menghela napas, mencoba membuang semua pikiran tak jelas itu. Ia telah berjanji pada diri sendiri untuk melawan arus. Melawan semua perasaan tak bisa
Bab 18*Jam telah menunjukkan pukul lima sore, Jelita baru saja tiba di rumah sakit. Ia ingin menyusul Arjuna dan akan pulang bersama. Letak antara rumah sakit dan kantor Jelita tak jauh, hanya tiga menit dengan berjalan kaki. Lalu lalang para pasien yang duduk di kursi roda menghiasi bangunan berwarna putih itu. Juga para perawat yang hilir mudik dengan tugasnya masing-masing. Ada yang membawa cairan infus dan peralatan lainnya. Ada juga yang sedang selonjoran di kursi tunggu dengan pakaian khas dokter operasi, mungkin baru saja selesai melakukan operasi pasien.Jelita yang melihat itu semua, bisa membayangkan bagaimana lelahnya Arjuna dengan pekerjaannya. Namun, lelaki itu bahagia saat ia bisa melihat senyum keluarga pasien yang berterima kasih padanya. Atau saat esok pagi, Arjuna melihat pasiennya tersenyum setelah melewati masa kritisnya.Dokter. Salah satu pekerjaan mulia. Tak heran Arjuna benar-benar bertekad untuk mewujudkan cita-citanya. Semua berawal dari Aldi, yang membuk