“Kamu itu harus tahu balas budi, Nur. Sejak almarhum ayah kamu meninggal. Ibu kamu nitipin kamu ke Bibi. Ya, sekarang sudah saatnya kamu balas budi dengan menyenangkan kami. Juragan Arga kan gak jelek-jelek amat, meskipun sudah tua tapi kan setidaknya hidup kamu bisa terjamin. Jadi gak apa-apalah harusnya kamu terima saja. Kamu harus rela menggantikan Nirina---adik sepupu kamu itu kan sudah punya pacar. Jadi memang selayaknya kamu yang menikah. Kamu juga masih jomblo sampai sekarang.”
Nuri menunduk. Sesak sebenarnya yang terasa. Namun mau gimana lagi, memang benar sudah sejak kelas satu SMA dirinya menumpang di rumah Paman Nursam dan Bibi Lela---adik kandung Ibulah dirinya menumpang hidup sambil menyelesaikan sekolah SMA. Ibu masih belum pulang menjadi TKW di luar negeri. Nuri tak tahu jika setiap bulan, uang upah Ibu dikirimkan pada Bibi Lela. Dia pun tak tahu uang itu dipakai buat apa saja. Bahkan dia tak bisa berkomunikasi dengan Ibu karena dirinya tak memiliki gawai. Nuri tak tahu nomor mana yang harus dihubunginya. Dia pun tak tahu jika awalnya Juragan Arga berniat melamar Nirina, tetapi Nirina menolaknya dan meminta sang ayah menikahkan juragan dengannya. Nirina sudah punya Rudi---lelaki tambatan hatinya.Dua orang utusan juragan Arga menatap pada Nuri, Bibi Lela dan Paman Nursam. Sementara itu, Nirina sudah melenggang pergi karena dijemput oleh Rudi---kekasihnya. Dia begitu bahagia ketika tahu jika Nuria lah yang akan dijodohkan. Awalnya dia sudah hendak melarikan diri ketika mendengar ayahnya berbicara jika juragan melamarnya.“Jadi gimana? Apakah pinangan kami diterima?” tanya Suryadi. Lelaki berusia lima puluh tahun yang merupakan tangan kanan juragan Arga. Di sampingnya duduk satu orang lainnya yang sama-sama mengenakan setelan pakaian berwarna hitam.“Iya, kami terima. Nuri juga sudah lulus sekolah, kok. Jadi silakan ajak keluarga juragan Arga untuk datang kemari. Lagian istri juragan Arga juga sudah meninggal, jadi harusnya Nuri bisa bahagia.”Bibi Lela tersenyum dengan sumringah. Dia tak peduli pada apa yang dirasakan oleh keponakannya. Yang penting dirinya bisa kecipratan kekayaan juragan Arga yang memang tak diketahui dari mana asalnya. Namun di kampung mereka, sudah terkenal jika keluarga tertutup itu kaya raya. Santer berhembus kabar jika juragan Arga itu pelaku bandar narkoba dan bisnis terlarang. Namun tak ada yang tahu kebenarannya.Mereka pun sebetulnya belum bertatap muka langsung dengan sang juragan, hanya saja kerap mendengar jika ajudannya sedang mencarikan istri untuk juragan.“Kalau begitu, bersiap saja. Mungkin mingu depan kami bersama keluarga juragan Arga akan datang ke sini lagi dan kita langsung tentukan hari pernikahannya.”“Iya, dengan senang hati. Kami akan menunggu kedatangannya. Asalkan hutang-hutang saya bisa dianggap lunas.” Paman Nursam tak kalah semangatnya.Sudah hampir tiga puluh juta dia berhutang pada juragan Arga. Hutang yang dipakainya untuk memanjakkan Nirina yang gaya hidupnya mengikuti kalangan sosialita. Ponsel selalu ganti setiap ada keluaran terbaru, belum lagi sepeda motor yang dimintanya dan juga berbagai pakaian mewah agar tak memalukan karena dirinya calon menantu perangkat desa.“Baik Pak Nursam, akan saya sampaikan padanya.” Kedua utusan itu pun berpamitan.“Nur, cepetan beresin ini gelas dan piring kotor bekas tamu. Setelah itu, kamu jangan lupa nyari pakan buat kambing-kambing kita. Jangan sampai mereka kelaparan.” Bibi Lela melirik Nuria lalu berjalan meninggalkan keponakannya itu ke kamar. Dia duduk dan mengambil uang dari lacinya. Uang kiriman dari Fatma---Ibu Nuria yang jadi TKW dari luar negeri. Dia tak pernah menceritakan padaa Nuri terkait uang itu, dia simpan dan pakai untuk kebutuhannya sendiri.“Hmmm buat beli mobil masih kurang banyak. Semoga nanti dapat tambahan dari juragan Arga. Namun biar dia tertarik, aku harus memoles dulu si Nuria biar gak burik dan malu-maluin,” tukasnya seraya mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan.***Satu minggu berjalan dengan terasa sangat cepat. Nuria tak tahu harus berbuat seperti apa. Hidup di kampung dan tak memiliki akses digital membuatnya benar-benar ketinggalan informasi. Meskipun awalnya dirinya sudah hendak ikut dengan Firda---teman sekelasnya yang akan merantau ke kota. Namun dia pun bingung harus memulainya seperti apa. Firda baru hendak berangkat bulan depan. Sedangkan minggu ini pinangan resmi dari keluarga juragan Arga akan datang. Mau melarikan diri pun dia bingung mau lari ke mana?Keesokan harinya, Bibi Lela mengajaknya ke salon untuk perawatan. Seminggu ini lumayan tugasnya sedikit berkurang. Tak lagi dibiar berpanas-panasan di lapangan mencari rumput segar untuk pakan kambing. Meskipun semua pekerjaan rumah, tetap saja dia harus kerjakan.Hari yang ditunggu datang. Wajahnya sudah begitu cantik dipoles make up yang membuatnya begitu menawan. Pakaiannya yang biasa hanya memakai kaos lusuh kini berganti dengan kebaya terusan yang disewanya dari salon kecantikan. Bibi Lela sengaja mendandaninya dengan maksimal agar Juragan Arga tertarik dengan kecantikan paripurna yang keponakannya tampilkan.Paman Nursam mempersilakan keluarga besan untuk menduduki ruang tengah yang sudah digelari oleh karpet. Berbagai kue terhidang agar tak mengecewakan.“Selamat datang di kediaman kami, Juragan!” Paman Nursam menunduk hormat pada lelaki yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tengah rumahnya itu.Juragan Arga hanya mengangguk. Usianya memang tak lagi muda, sudah empat puluh lima tahun kini, tetapi tak dapat dielakkan kalau garis ketampanan masa muda masih tersisa di sana. Hidung mancungnya masih bertengger gagah, alisnya tebalnya bak ulat bulu. Bibirnya tampak merah natural dan garis rahangnya tampak membingkai tegas. Bahkan penampilannya kini bisa menyembunyikan umurnya yang sudah kepala empat dan duda beranak tiga.“Selamat datang di kediaman kami, Juragan. Kami berterima kasih banyak atas niat baik juragan yang akan meminang Nuria---putri almarhum Haidar menjadi istri juragan. Semoga pertemuan ini bisa menjadi awal kebaikan untuk kedua belah pihak.” Paman Nursam berbicara dengan panjang lebar. Juragan Arga mengangguk. Lalu dia menatap Nuria dengan sorot mata yang tak bisa terbaca.“Meskipun Nuria masih berumur delapan belas tahun, semoga saja dia bisa jadi istri yang baik untuk juragan. Dia sudah dewasa, sudah bisa juga untuk memasak dan mengurus rumah, Juragan.”Paman Nursam kembali berujar. Ada sedikit rasa khawatir melihat ekspresi Juragan Arga yang datar. Namun lagi-lagi tak ada sahutan dari mulut lelaki itu. Nuria yang sejak tadi duduk di samping Bi Lela hanya kuasa menunduk, tak berani menatap lelaki yang umurnya lebih dari dua kali lipat dari dirinya. Hatinya mengkerut, ketika sekilas tadi bersitatap. Juragan menoleh ke arah Suryadi---tangan kanannya yang duduk di sisi sebelahnya. Mereka saling tatap, lalu juragan mengangguk. Suryadi gegas berdiri dan menuju keluar. Suasana hening, tak ada yang berani membuka percakapan. Kelima orang lainnya yang datang bersama rombongan Juragan juga tak ada yang membuka suara. Tak berapa lama, Suryadi---lelaki dengan rambut plontos dan kulit sedikit gelap itu datang dan membawa satu berwarna hitam dan berukuran agak b
Acara lamaran pun usai rombongan keluarga Juragan meninggalkan kediaman Paman Nursam. Bi Lela dan Paman Nursam mengantar rombongan hingga ke depan. Mereka menyalami semua orang yang ikut dalam rombongan itu, kecuali Juragan Arga. Dia tak mau bersentuhan dengan siapapun, termasuk dengan Paman Nursam. “Yah, Juragan teh sombong gitu, ya?” bisik Bi Lela ketika dua mobil mewah itu meninggalkan pekarangan rumahnya.“Ya, namanya juga orang kaya, Bu. Yang penting sekarang tuh, hutang-hutang kita sudah dianggap lunas oleh Juragan Arga!” Paman Nursam menggenggam jemari Bi Lela dengan pandangan berbinar. “Alhamdulilah, Yah. Ringan hidup Ibu. Ini semua gara-gara Ayah sih nurutin terus kemauan Nirina! Jadi kelilit hutang sendiri!” bisik Bi Lela sambil melotot pada Paman Nursam. “Ya mau gimana atuh, Bu. Namanya juga sayang.” Paman Nursam menatap istrinya sambil menghirup udara yang banyak, lalu dihembuskan kasar. Nuria mengangkat wajah, pikirannya kosong. Berharap semua ini hanya mimpi buruk, d
Nuria tak ambil pusing dengan apa yang sepupunya pakai. Lagipula kalung, gelang dan cincin itu tak mampu memberinya kebahagiaan. Andai boleh, ingin saja Nuria memilih untuk tak menikahi Juragan Arga dan menentukan sendiri masa depannya. Usianya kini baru delapan belas tahun, masih banyak hal yang ingin dia ketemukan. Bukan sesingkat ini terikat dalam pernikahan. Bi Lela tersenyum seraya menyembunyikan juga tangannya ke belakang. Semua orang bersikap aneh hari ini. Nuria gegas ke dapur untuk membersihkan wajah sebelum nanti mau memasak untuk makan malam.“Nur, masaknya gak usah banyak-banyak. Bibi sama Rina mau kondangan habis maghrib nanti. Jadi masak buat kamu saja, ya! Paman juga ikut nganterin!” tukasnya. Wajah Bi Lela kali ini tampak benar-benar cerah. “Oh, gak pada makan, Bi?” Nuria yang tengah mengupas bawang menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh pada Bi Lelau yang berdiri di ambang pintu. “Enggak!” Bi Lela tersenyum manis, lalu meninggalkannya. Lagi-lagi aneh, tanganny
“Gelang ini mirip banget punya kamu, ya! Padahal ini tuh Bibi beli yang imitasi tempo hari. Nah sore tadi baru jadi. Pas Bibi amati, kok mirip banget punya kamu, Nur! Tuh ‘kan mirip! Tapi ini bukan punya kamu, kok!” tukasnya seraya memutar-mutar tangan di depan wajahnya. Namun wajahnya tampak tak tenang apalagi tatapan Nuria yang mengantakan seolah tak percaya.“Oh gitu, Bi?” Nuria tersenyum simpul. Dia masa bodo sebetulnya jika betul pun gelang itu miliknya. Rasanya semangat hidupnya sudah tergadai dengan semua keadaan ini. “Iya, Nur! Bibi berangkat dulu, ya! Bibi mau pergi kondangan!” Bi Lela tersenyum seraya menepuk pundak Nuria. Satu paper bag yang dia incar sudah beralih ke dalam tentengannya. Alat make up lengkap yang akan digunakan olehnya.Nuria hanya mengangguk. Lalu menutup pintu kamar setelah Bi Lela meninggalkannya. Lagi-lagi dia hanya menghabiskan waktu dengan duduk bengong dan memeluk lutut di dalam kamarnya. Semua barang mewah yang Juragan Arga kirimkan tak bisa membel
Nuria menggeleng kepala, feelingnya sudah semakin tak karuan. Dia gegas berbalik hendak melarikan diri melalui pintu dapur. Namun sayang, gerakannya kalah cepat. Kedua tangan Radit berhasil merengkuhnya dari belakang.“Dit! Kamu mau ngapain? Lepasin aku!” Nuria memekik. Namun satu tangan Radit membekap mulutnya. Nuria pun menggeliat sehingga gelas yang dibawanya jatuh memecah keheningan.“Aku cuma mau nolongin kamu, Nur! Setelah kita melakukannya, pasti tua bangka itu akan menggagalkan lamarannya dan kita akan menikah.” Radit mulai melepas celana panjangnya dan membiarkannya terjatuh ke lantai. Nuria menggeleng, dia memberontak. Lalu sekuat tenaga menggigit tangan Radit yang membekapnya.“Awww!” bekapan itu terlepas, rengkuhannya sedikit mengendur dan Nuria berteriak,”Tolooong! Tolooong!” Nuria berlari, tetapi lagi-lagi kalah cepat, tangan Radit menarik kemeja yang digunakannya hingga bagian kancingnya terlepas beberapa. Kemeja lusuh itu pun terkoyak. “Tolooong!” Satu teriakan lagi
“Nur, aku yakin Juragan Arga itu orang jahat! Buktinya Radit meninggal!” tukas Nirina membuat kedua alis Nuria saling bertaut. Matanya memicing menatap sepupunya yang seolah mengetahui sesuatu. “Kenapa kamu bilang gitu? Apa hubungannya meninggalnya Radit dengan Juragan Arga?” Nuria menatap lekat pada wajah Nirina yang tampak sedikit pucat. “Ahm, gak ada … gak ada, kok.” Dia pun gegas bangkit dan meninggalkan Nuria sendirian. Nuria memejamkan mata, sebetulnya hatinya dilliputi rasa takut dan suasana terasa mencekam. Bahkan bayangan Radit dan setiap perlakuannya masih membekaskan rasa trauma dalam dada. Kini ditambah kabar meninggalnya Radit yang begitu mendadak. Kepalanya berdenyut nyeri, Nuria pun memilih merebahkan tubuhnya lalu melepas semua kepenatan itu perlahan. Berharap semua ini hanya mimpi buruk, berharap semua tanda merah yang menjejak ditubuhnya besok sudah hilang lenyap. *** Keesokan harinya, Nirina mengetuk pintu kamar itu pagi sekali. Nuria baru saja selesai melakuk
Nuria dengan terbata akhirnya bisa menyelesaikan semua pertanyaan yang diberikan oleh pihak polisi. Dirinya hanya menjelaskan apa yang diminta saja dan menjawab pertanyaan dengan ya atau tidak. Semoga tuduhan tak mengerucut padanya. Namun tetap saja kesimpulannya adalah, Radit pernah datang dan melecehkannya. Nuria pun tak bisa mengelak dan bercerita jika ditolong oleh dua orang lelaki berpakaian hitam. Baginya jujur itu lebih baik, meskipun ke depannya akan seperti apa nasibnya. Hanya berharap tak terlibat dalam kasus yang menggemparkan warga kampung itu.Mereka pun pergi meninggalkan kediaman Nuria. Menyisakkan rasa takut. Nuria mengelap keringat dingin. Sesekali melirik ke arah belakang, tetapi dua orang yang mengikutinya itu entah punya ilmu apa. Nuria tak bisa melihatnya berkeliaran.Beberapa hari berlalu, desas-desus kabar terdengar, katanya kabar kematian Radit ada hubungannya dengan Juragan Arga. Dengar-dengar mereka sudah menyambangi kediaman lelaki paruh baya itu juga. “Nur
Perlahan dia mengangkat dagu Nuria sehingga kedua netra Indah yang tengah berkaca-kaca itu kini bersirobok dengannya. “Aku suamimu, jangan takut … aku akan menjagamu, hm?” Suara baritonnya yang datar dan tatapan dalam itu tak serta merta bisa mengusir rasa takut pada hati Nuria yang berkelindan. Nuria hanya bisa mengangguk untuk menjawab kalimat yang diucapkan juragan Arga---lelaki berusia empat puluh lima tahun yang kini sudah sah menjadi suaminya. Acara tak dilanjutkan di rumah megah itu. Bahkan Nuria tak diperkenalkan dengan siapapun di sana. Juragan Arga hanya diiringi oleh ajudan dan beberapa orang anak buahnya. Tak ada satupun keluarga yang dia kenalkan pada Nuria maupun pada Paman Nursam dan Bi Lela, sungguh aneh. Sebuah mobil berhias bunga-bunga sudah berada di depan gerbang. Mobil yang berbeda dengan yang digunakan untuk menjemput Nuria pagi tadi. Tangan kekar itu mengulur pada Nuria.“Berpeganganlah … aku lihat kamu gemetar. Sudah makan?” Suara juragan Arga mengalihkan p