Perlahan dia mengangkat dagu Nuria sehingga kedua netra Indah yang tengah berkaca-kaca itu kini bersirobok dengannya. “Aku suamimu, jangan takut … aku akan menjagamu, hm?” Suara baritonnya yang datar dan tatapan dalam itu tak serta merta bisa mengusir rasa takut pada hati Nuria yang berkelindan. Nuria hanya bisa mengangguk untuk menjawab kalimat yang diucapkan juragan Arga---lelaki berusia empat puluh lima tahun yang kini sudah sah menjadi suaminya. Acara tak dilanjutkan di rumah megah itu. Bahkan Nuria tak diperkenalkan dengan siapapun di sana. Juragan Arga hanya diiringi oleh ajudan dan beberapa orang anak buahnya. Tak ada satupun keluarga yang dia kenalkan pada Nuria maupun pada Paman Nursam dan Bi Lela, sungguh aneh. Sebuah mobil berhias bunga-bunga sudah berada di depan gerbang. Mobil yang berbeda dengan yang digunakan untuk menjemput Nuria pagi tadi. Tangan kekar itu mengulur pada Nuria.“Berpeganganlah … aku lihat kamu gemetar. Sudah makan?” Suara juragan Arga mengalihkan p
Kaki Nuria yang terasa lelah, akhirnya untuk pertama kalinya menginjak ruang tengah rumah megah itu. Untuk sementara, dia tertegun melihat foto-foto keluarga yang terpampang di sana. Namun pikirannya teralihkan pada tangisan bayi yang menggema mengisi seluruh ruangan. Dia mengedar pandang, penasaran ingin mengetahui bayi siapa yang tengah menangis itu? “Istirahat dulu, kamu pasti lelah, yuk!” Suara juragan Arga membuatnya menoleh. Lelaki yang masih dengan tuxedo itu mengulurkan tangan ke arahnya. Meskipun rasa penasaran menggelayuti hati, tetapi jangankan bertanya hal itu. Nuria tak memiliki keberanian sama sekali. Hingga perlahan tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Rumah besar itu entah kenapa begitu sepi. Nuria celingukan ke kanan kiri, tetapi seolah tak ada orang lain lagi selain mereka berdua di sana. Dirinya masih pasrah mengikuti langkah demi langkah juragan Arga yang mengajaknya meniti tangga. Meskipun hatinya kebat-kebit, bercampur baur seluruh rasa yang ada dalam da
Juragan Arga menyibak selimut, bersamaan dengan itu terdengar lantunan kumandang adzan maghrib. Dia menolah pada Nuria sebelum beranjak. “Aku ada perlu sebentar, kamu salat duluan saja, ya! Gak apa ‘kan?” Sorot mata itu menatap dalam. Nuria mengangguk, lalu menunduk agar manik hitam itu tak begitu terasa mengintimidasinya.Helaan napas panjang, Nuria hembuskan ketika daun pintu itu tertutup rapat. Ingin rasanya dia kunci dari dalam agar lelaki itu tak kembali menghampirinya. Namun mau dikata apa? Dia tak kuasa. Sebetulnya rasa penasaran masih memenuhi pikirannya. Suara teriakan itu masih terdengar, meski semakin perlahan dan berselang isakan. Rasa ingin tahu membuatnya perlahan mengusir rasa takut dan perasaan mencekam yang tiba-tiba hadir. Dirinya memberanikan diri membuka gagang pintu, tetapi dirinya menggeleng pelan ketika rupanya juragan Arga mengunci pintu kamarnya dari luar. “Ada apa sebenarnya ini? Ibu, Ayah … aku takut.” Nuria menyandarkan tubuh pada tembok. Matanya menyapu
“Papa! Kamu beneran jadi nikahin perempuan kampungan itu, cih!” Suara seorang perempuan memekik dari dalam kamar dan mendekat ke arah mereka berdua. Juragan Arga menghela napas lalu berdiri dan meminta Nuria tetap di tempat. Sementara itu, dia bergegas berjalan dan menutup daun pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Nuria menghela napas kasar. Terdengar suara cekcok dari dalam kamarnya, tetapi perlahan menjadi samar seiring dengan bantingan pada daun pintu yang terdengar. Nuria mematung, sebetulnya penasaran. Namun dia lebih memilih diam dan menunggu juragan Arga kembali. Cukup lama, Nuria berdiam sendirian. Duduk mematung menatap cokelat panas yang sudah tak lagi berasap. Namun suaminya belum juga kembali. Akhirnya Nuria memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamar ketika adzan isya berkumandang dan juragan Arga belum juga kembali datang. Empat rakaat dia tunaikan dengan khusuk, lalu seperti biasa bermunajat, berserah diri pada takdir dan kehidupan yang tak seindah impian.
"Apa kamu belum siap, Istriku?” tanyanya dengan sorot mata mendamba. Nuria bergeming. Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya, tetapi isakan yang berirama. Prang!Nuansa hangat dan tegang itu seketika buyar, sebuah benda keras menghantam jendela kaca dari luar. Pecahan kaca tampak terlempar. Juragan Arga menghela napas panjang. Semua kondisi ini sepertinya tak mendukung untuknya meminta hak sekarang. Padahal dirinya sudah menahan begitu lama, memendam semuanya semenjak kejadian itu menimpa pada Nilam---istrinya. Perlahan dia menjauhkan tubuhnya dari Nuria yang masih memejamkan mata seraya terisak. Juragan Arga menatap wajah itu, jemari kokohnya perlahan bergerak mengusap air mata yang menganak sungai pada kedua pipi istrinya. Satu buah kecupan dia labuhkan lama pada kening perempuan yang masih terisak itu. Lagi, diusap air mata yang kembali membanjiri. “Jangan takut … aku akan menunggu hingga kamu siap, Istriku,” bisiknya dengan suara parau. Dia meraih selimut lalu menariknya dan
Nuria mematung menatap mobil yang meninggalkan gerbang. Entah mau ke mana mereka. Suaminya hanya bicara jika sedang ada urusan. Nuria mendekat pada lemari dan mencari-cari jilbab. Dia akan turun ke lantai bawah untuk membunuh rasa bosan. Meskipun tak tahu akan melakukan apa? Namun berdiam di kamar membuat dunianya terasa terpenjara. Di lantai bawah tampak Bi Lala tengah sibuk membersihkan perabotan. Suaranya terdengar nyaring karena bersenandung. Sebuah lagu sunda yang membuat siapapun tersentuh dengan liriknya---pileuleuyan. “Bagus suaranya, Bibi.” Sontak Bi Menih menoleh. Sedikit tersipu karena terpergok sedang bersenandung ria. “Duh ada Neng Nuria, eh Nyonya maksudnya.” Digaruknya kepala yang rasa tak gatal. “Panggil Neng saja gak apa, Bi. Panggil Nur juga boleh.” Nuria menyunggingkan senyum. Keberadaan Bi Lala sedikit mengusir rasa hampa di dalam dada. “Ah gak berani. Juragan bilang sama istrinya tuh harus panggil Nyonya atau Ibu.” “Saya kan masih muda, Bi. Dipanggil Neng j
“Abang ada urusan sebentar, Istriku. Mungkin selama seminggu ini kamu tidur sendirian! Gak apa, ya?! Kalau kesepian, minta Bi Lala saja temani tidur di sini!” Dia mengusap pipi Nuria. Lalu bangkit dan gegas berjalan dengan wajah yang tampak tegang. “B--Bang!” Panggilan Nuria menghentikan langkah lelaki itu. Dia menoleh dan menatap dengan senyuman yang tak tampak natural. “Ya, Istriku.” “Apa aku boleh beli ponsel? Aku mau mencari nomor Ibu. Pengen tahu kabarnya.” Entah kenapa Nuria masih saja merasa harus izin ketika hendak menggunakan uang yang diberikan suaminya. Juragan Arga terdiam sejenak. Langkahnya kembali mendekat ke arah Nuria, tetapi ternyata tujuannya bukan Nuria, melainkan menuju ke arah lemari. Lalu dia berjongkok dan mengambil sesuatu dari laci paling bawah yang dia kunci. Sebuah tas kain mini berwarna merah diambilnya. “Kamu gak usah beli lagi … maaf Abang lupa belum memberikan ini. Sudah ada sim cardnya. Tanya pada Bi Lala saja cara menggunakannya.” Ada senyum te
“Bibi, apakah suamiku punya banyak lagi istri-istri muda yang menjadi simpanannya? Apakah bukan hanya aku saja dan dua orang yang tadi Bibi sebutkan?” Nuria teringat gadis sabayanya yang berangkat bersama dengan suaminya tempo hari. Perempuan yang tampak begitu disayangi juga oleh juragan Arga. Bi Lala menautkan alis. “Memangnya Nyonya lihat di mana, ya?” “Dari balkon kamar tempo hari, Bi. Dia ada bawa suster sama anak kecil juga.” Bi Lala menautkan alisnya. Dia mencoba mengingat-ingat. Namun tak pernah ingat jika majikannya membicarakan lagi pernikahannya.“Setahu Bibi gak ada, Nyonya. Istrinya Juragan hanya Nyonya Saraswati almarhum, Nyonya Nilam dan sekarang Nyonya.” “Lalu siapa gadis muda itu, ya, Bi? Apa mungkin calon istri barunya, ya?”Nuria menautkan alis dan mengingat-ingat lagi, tapi benar sekali, dia masih ingat jika suaminya bahkan memperlakukannya dengan begitu manis. Bi Lala menggeleng.“Hmmm … setahu Bibi, Juragan bukan tipe seperti itu, Nyonya. Mungkin nanti bisa