Share

MENCICIPI TANPA PERMISI.

Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.

Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.

Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.

Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya yang tidak pernah tahu apa ini sebenarnya.

'A-apa ini yang dinamakan berhasrat? I--ini benar-benar nikmat. Tapi aku tidak bisa melakukannya. A-aku ...'

Dalam hati, Belinda terus menelaah berbagai rasa yang diberikan Raffa kepada setiap inci tubuhnya. Pemuda itu terus beraksi semakin agresif dan berani, karena ini memanglah tuntutan dari profesinya.

Bukan! Bagi Raffa ini bukanlah sekedar tuntutan dari profesinya. Melainkan ada hal lain yang mendesak jiwa ke-lelakiannya sejak pertama kali melihat Belinda.

Terdengar aneh memang. Namun, saat ini Raffa benar-benar ingin berpetualang dengan klien barunya ini. Menjelajahi setiap permainan-permainan panas yang biasa dia lakukan bersama para tante-tante royal yang memujanya di atas ranjang.

Raffa merasa sedikit aneh, lantaran Belinda sangat pasif dan tidak bergerak sama sekali. Hanya suara desah*n-desah*n samar yang terlontar dari bibir perempuan berdada sintal itu. Biasanya, para kliennya sudah tidak sabar ingin berpetualang dengannya, bila sudah mendapat serangan-serangan nakal dan li*r darinya.

Namun, nampaknya Belinda tak terpengaruh sama sekali. Meski napasnya sudah memburu, dan Raffa sangat tahu itu. Jika perempuan ini mulai tersulut hasrat dengan sentuhan-sentuhan jemari dan bibirnya.

'Kenapa dia diem aja? Apa serangan gue kurang, ya?' Raffa membatin sikap Belinda yang sama sekali tidak merespon serangannya.

Kemudian dia berinisiatif untuk memulainya saja, sebab miliknya juga sudah meronta sejak tadi—ingin dimanja oleh milik Belinda.

Raffa membalik badan Belinda supaya menghadapnya, dan agar dia juga lebih leluasa melakukan serangan selanjutnya.

Akan tetapi, raut wajah perempuan cantik itu telah berhasil membuat hasrat Raffa menguap begitu saja. Alhasil, Raffa mengurungkan niatnya yang ingin melucuti pakaian Belinda.

"Hei, kamu kenapa?" tanya Raffa sembari memindai wajah Belinda yang pucat pasi seperti orang sakit. Telapak tangannya yang besar menangkup kedua sisi wajah Belinda yang menatapnya dengan takut.

Belinda membisu, diam tanpa berkata apa pun. Perasaannya masih berkecamuk tak menentu. Di satu sisi dia ingin sekali melanjutkan permainan ini, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang membuatnya tidak berani melangkah lebih jauh lagi. Sesuatu yang hanya menjadi hak bagi suaminya.

Meski Belinda tahu, entah kapan itu akan terjadi di kehidupan pernikahannya yang hampa. Pernikahan yang membelenggunya selama hampir tiga tahun terakhir. Memaksanya untuk menjadi istri yang patuh dan setia, kendati pada kenyataannya tidaklah seindah angan-angan.

'Bima sial*n!' Belinda mengumpat suaminya dalam hati kala mengingat perlakuan yang dilakukan lelaki itu.

"A-aku lapar. Aku mau makan."

Raffa membeliak tak percaya tatkala mendengar penuturan perempuan yang membayarnya mahal malam ini. Dengan polosnya Belinda berucap demikian, sedang pemuda itu tengah mati-matian menahan gejolak yang mulai muncul kembali.

"Ma-makan? Kamu mau makan?" Raffa terlihat seperti orang bodoh.

'Sial! Kenapa dia malah minta makan? Di saat gue mau makan dia.' Batin Raffa seraya mengusap tengkuknya.

"Iya. Aku mau makan. Apa kamu punya makanan?" Belinda sengaja berdalih, supaya malam ini dia dan Raffa tidak melakukan hal yang seharusnya terjadi antara mereka.

'Aduh ... aku terpaksa bohong. Maaf, ya, Raffa.' Batin Belinda. Dia pun menggeser posisi tubuhnya— menghindari Raffa yang menatapnya dengan penuh tanya.

"Kamu punya makanan apa enggak, sih?" tanyanya kemudian. Belinda berpura-pura membuka lemari es.

Dengusan kasar berembus dari hidung mancung Raffa. "Enggak beres nih cewek," gumamnya seraya menatap punggung Belinda yang sibuk memindai lemari es miliknya.

"Aku enggak ada stok makanan. Biasanya aku delivery order." Raffa mendaratkan tubuhnya di kursi sambil menikmati minumannya lagi. Berharap rasa dingin dari minuman berkarbonasi tersebut dapat mendinginkan otaknya yang memanas.

Belinda menutup pintu lemari es lalu berkata,

"Ya udah. Kamu pesenin, gih! Aku laper soalnya." Dia lantas ikut duduk di sebelah Raffa yang kini tengah memijit pelipisnya.

"Oke," sahut Raffa dengan helaan napas panjang. Dia menuruti saja keinginan klien anehnya yang satu itu. "Kamu sukanya makanan apa?" tanyanya, tanpa menatap Belinda sedikit pun.

"Aku apa aja, sih. Tapi malam ini aku lagi pengen makan Pizza." Belinda menjawab asal sambil menahan tawa. 'Maaf Raffa. Maaf,' sambungnya dalam hati.

Raffa mengangguk lantas segera memesan makanan favorit sejuta umat itu dengan perasaan dongkol, di aplikasi pemesanan.

"Udah. Aku udah pesenin. Tunggu sekitar sepuluh menit." Dia menatap Belinda yang sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun.

Belinda melipat bibirnya seraya mengangguk. Bukan apa-apa, dia cuma sedang menahan tawa yang siap menyembur. Belinda merasa kasihan pada pemuda ganteng ini.

Raffa beranjak dari tempat duduknya.

"Ya udah, ditunggu aja. Aku mau mandi dulu sebentar," ucapnya sambil berlalu dari hadapan Belinda yang cuma menanggapinya dengan anggukan kepala.

'Ck!'

"Masa iya gue maen solo," sungut Raffa sambil terus melangkah ke kamarnya.

Waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya Raffa membersihkan diri setelah bergumul panas dengan para kliennya. Namun kali ini ceritanya berbeda, dia mandi setelah gagal melakukan pergumulan. Akan tetapi, pantang baginya bermain solo, mengingat masih ada banyak waktu untuknya dan Belinda melanjutkan petualangan mereka.

"Kita liat. Abis ini dia bisa tahan apa enggak ngeliat badan gue. Pasti dia bakal minta lagi dan lagi." Raffa sengaja keluar kamar hanya memakai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

Dengan penuh percaya diri, dia keluar kamar—menuju di mana Belinda duduk. Dadanya yang bidang terekspos bebas dan terlihat sangat menggoda. Raffa yakin jika Belinda akan tergoda, karena selama ini tidak ada yang bisa menolak pesonanya.

Memang tidak diragukan lagi, bentuk tubuh yang proporsional sangat menunjang penampilan pemuda berusia 23 tersebut. Otot-otot yang pas dan tidak berlebihan semakin menambah pesona Raffa di mata tante-tante yang menyewa jasanya. Kulitnya yang kuning langsat menjadi daya tarik tersendiri bagi Raffa.

Seringai lebar menghiasi wajah tampan Raffa yang hampir mendekati Belinda. Namun, senyuman itu harus pudar manakala dia melihat sosok perempuan yang tertidur pulas di sofa panjang miliknya.

"Serius? Dia malah tidur?" Raffa mendekat lalu berkacak pinggang. Tatapannya tertuju ke meja—menatap box yang masih tersegel rapi. "Pizza-nya udah dateng, rupanya. Tapi kenapa enggak dimakan? Malah tidur."

Yah, Belinda tertidur di sofa lantaran rasa kantuk yang tidak bisa ditahan lagi. Alasan lainnya adalah demi menghindari Raffa. Konyol. Perempuan itu sungguh konyol.

Raffa mendengkus sambil menatap Belinda yang tidur meringkuk seperti bayi. Dia lantas mendekat dan berjongkok di depan wajah Belinda yang terpejam.

"Apa sih yang sebenernya lu mau? Kenapa lu malah tidur? Enggak nyangka gue, malah ditinggal tidur begini," monolognya, sembari menelusuri setiap jengkal tubuh Belinda yang menggiurkan.

Pandangannya berhenti pada benda kenyal milik Belinda yang berwarna pink merona. Bibir tipis yang menarik perhatian Raffa sejak awal pertemuan mereka di diskotek beberapa jam yang lalu.

"Padahal gue pengen banget ngicipin ini." Ibu jari Raffa menyentuh bibir Belinda lalu mengusapnya. "Gue boleh nyium, kan?"

Tanpa permisi Raffa mengecup bibir ranum itu dan memagutnya sebentar, tak peduli jika setelah ini Belinda memarahinya, lantaran sudah lancang menciumnya.

"Salah lu sendiri, malah tidur." Sudut bibir Raffa tertarik ke samping. Dia menikmati sisa-sisa manis dari bibir Belinda yang masih tertidur.

###

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Edibambang S
parah mahal banget bikin emosi baca novel ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status