"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing.
Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya.
"Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin.
Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut.
Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol.
"Hotel?"
Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya.
Bulu kuduk Belinda seketika berdiri. Entah kenapa mendengar kata Hotel, dia mendadak jadi gelisah.
Lamunan wanita itu buyar manakala Raffa menghentikan mobilnya.
"Ayo turun. Kita udah sampai," ajak Raffa setelah melepas seat belt dari tubuhnya.
Namun, ketika dia hendak membuka pintu mobil, Belinda menyentuh lengannya tiba-tiba.
"Tunggu dulu!" seru Belinda dengan tatapan mata yang terlihat cemas.
Raffa berbalik lantas bertanya,
"Ada apa?" Keningnya mengernyit heran saat menatap Belinda yang terlihat aneh. "Kamu kenapa? Kok pucet?" Refleks tangannya terjulur dan menempelkannya di kening Belinda.
"Dingin." Raffa menarik tangannya kembali. Dia tidak melihat tanda-tanda Belinda sakit.
"A-aku cuma ...," Belinda masih memegang lengan Raffa dengan posesif. Kegugupan telah membuatnya tidak sadar, bila dia sudah menyentuh pria lain.
Tingkah Belinda yang aneh jelas saja membuat Raffa jadi pusing.
"Cuma apa? Ayo turun. Kan kita mau ...." ucapannya terjeda sesaat. Raffa menatap lekat-lekat wajah Belinda yang tidak lepas menatapnya.
Jantung wanita itu sudah berdebar tak keruan. Ini pertama kalinya dia pergi ke Hotel bersama pria asing. Dia cuma takut, jika ada seseorang yang mengenalinya.
"Hem, sebenarnya aku takut." Pengakuan Belinda barusan jelas saja membuat Raffa semakin bingung.
Pemuda yang saat ini memakai kemeja berbahan jeans tersebut kemudian bertanya,
"Takut kenapa, hem?" Raffa menatap lamat-lamat wajah Belinda yang masih terlihat cemas.
"Aku takut kalau kita ke tempat umum, suamiku atau seseorang yang kenal denganku ada di sini," ungkap Belinda akhirnya.
"Terus gimana?" Raffa seakan tidak peduli dengan ketakutan yang melanda klien barunya itu. "Hem? Sekarang mau kamu apa?" tanyanya dengan kesabaran yang hampir menipis.
'Heuh! Untung cakep. Kalau enggak, udah gua suruh turun daritadi.' Gerutunya dalam hati.
"Gimana kalau kita ke tempat kamu? Hem, kamu ada rumah atau apartemen?" tanya Belinda dengan polosnya.
Namun, tidak dengan Raffa yang sekarang ini hampir meledakkan kemarahannya.
'Ck! Ya kali gua ngajak dia ke apartemen.' Pemuda itu membatin.
Alasannya kesal ialah bila selama ini dirinya tidak pernah membawa seorang perempuan ke apartemennya. Selama hampir tiga tahun dia menjalani profesi sebagai lelaki penghibur.
Raffa paling anti membawa pulang seorang perempuan. Dia selalu menghabiskan malam-malam panasnya di Hotel.
"Gimana?" Belinda bertanya lagi, sebab Raffa tidak menghiraukan permintaannya. "Ya, udah. Kalau enggak bisa, aku pulang aja." Dia melepaskan lengan Raffa, lalu berbalik.
"Eh, tunggu! Mau ke mana?"
Giliran Raffa menyentuh lengan Belinda, yang hendak membuka pintu.
Belinda berbalik badan lantas menyahut,
"Aku mau pulang aja. Kayaknya kamu juga enggak setuju kalau kita ke rumah kamu."
Mendengar itu, Raffa sontak berpikir sejenak.
'Bisa berabe ini urusannya. Kalau Mami Kumala tahu.' Batinnya menyeru—dia tentu saja tidak mau mami Kumala sampai tahu perihal ini. Bisa-bisa malam ini Raffa kehilangan honornya.
Demi apapun, jika tidak karena duit, Raffa tidak akan sudi membawa perempuan ke apartemen.
'Ck! Baru ketemu aja udah nyusahin.'
"Emang kata siapa aku enggak setuju?" Pemuda itu berkilah.
"Habisnya tadi diem aja. Aku pikir kamu enggak setuju kalau kita pindah tempat." Belinda menarik tangannya dari pintu mobil. Dia lantas menghadap Raffa.
"Ayo. Kita ke apartemen kamu aja." Belinda tersenyum sangat manis sekali, membuat kekesalan Raffa seketika menguap entah ke mana.
'Heuh .... jadi enggak sabar pengen nyobain.'
eh?
"Ayo."
Raffa kembali ke posisi semula. Dia menghidupkan kembali mesin mobil lalu menginjak pedal gas, melesat dari Hotel tempatnya biasa menginap menuju apartemen.
Baru kali ini Raffa mendapat klien yang merepotkan. Tidak seperti tante-tantenya yang lain. Yang ganjen dan menurut kepadanya. Belinda memang berbeda dari segi sifat mau pun penampilan.
Kebanyakan dari klien Raffa selalu berpenampilan seksi dan menarik. Memakai baju terbuka dan berdandan menor ala-ala apalah itu sebutannya.
Tak butuh waktu lama, Raffa dan Belinda tiba di gedung bertingkat itu. Apartemen elit yang terletak di tengah kota dengan berbagai macam fasilitas lengkap dan mahal pula. Harganya pun tidak main-main. Raffa harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapatkan hunian yang super wah tersebut.
Semuanya dia dapatkan dengan hasil menjual diri. Mungkin terdengar lucu dan menjijikkan. Selama hampir tiga tahun Raffa hidup dari hasil memuaskan para wanita-wanita yang haus kepuasan.
Belinda yang melihatnya saja dibuat takjub. Dia pikir, Raffa tinggal di rumah biasa atau apartemen sederhana. Namun, dugaannya ternyata salah. Raffa tinggal di apartemen mewah dan sangat bagus.
"Kamu tinggal di sini?" tanyanya, begitu heels di kakinya menginjak lantai apartemen Raffa yang mengkilap.
Ruangan besar itu benar-benar bersih dan wangi. Semua perabot di dalamnya bermerek dan modern. Tak ada yang mengira jika seorang pemuda lajang yang tinggal di sini.
"Iya." Raffa menjawab sambil berlalu dari hadapan Belinda yang masih terlihat sibuk mengelilingi tempat tinggalnya. Pemuda itu menuju pantry, lalu membuka lemari es.
"Mau minum apa?" tawarnya kemudian.
"Apa aja." Belinda menghampiri Raffa ke pantry. Kemudian dia duduk di bar mini yang kebetulan juga tersedia di sana. "Waow. Mini bar."
Pemuda itu lantas mengambil minuman yang selalu tersedia di lemari es. Apalagi kalau bukan minuman bintang favoritnya. Dia meraih dua kaleng lalu menutupnya lagi.
Raffa mendekat dan duduk di samping Belinda.
"Ini. Di sini cuma ada ini." Menyodorkan kaleng yang dia bawa.
Belinda tersenyum, lantas berucap,
"Enggak apa-apa. Asal jangan minuman beralkohol." Dia mengambilnya lalu membuka tutup kaleng tersebut, tetapi rupanya cukup sulit.
Raffa yang melihatnya jadi menawarkan diri untuk membantu.
"Sini aku bukain." Setelah terbuka dia menyodorkannya kembali ke Belinda.
"Thanks." Belinda menenggaknya hingga tersisa separuh. Tenggorokannya menjadi segar, dan agak tergelitik dengan soda yang terkandung dalam cairan dingin berkarbonasi tersebut.
Sejenak keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Belinda tak pernah menyangka jika dirinya berani melangkah sejauh ini. Pergi ke luar rumah tanpa seizin dari suaminya. Sedangkan Raffa, diam-diam menelisik perempuan yang ada di sebelahnya sambil berpura-pura menikmati minumannya.
Tubuh yang langsing, mata yang indah, hidung yang mancung, ditambah adanya tahi lalat yang berada tepat di antara dagu dan bibir. Menambah kesan manis saat sedang tersenyum.
Belinda benar-benar sangat sederhana dan elegan. Dari caranya bicara pun terkesan lemah lembut, namun menggemaskan. Sedikit polos dan apa adanya.
"Suamimu profesinya apa?" tanya Raffa, setelah begitu lama terdiam dan sibuk memindai Belinda. Dia merasa ingin tahu lebih banyak lagi tentang wanita pendiam ini.
Belinda agak lama menjawab pertanyaan Raffa. Dia seperti tengah menimbang-nimbang jawabannya.
"Hem ... suamiku punya usaha ekspor impor di Bandung." Singkat dan padat.
Raffa manggut-manggut.
"Alasanmu mencari kesenangan apa? Maaf aku terlalu banyak bertanya," tanyanya lagi.
"Cuma pengen menghibur diri aja. Aku bosan. Makanya aku minta Mbak Dini buat nyariin hiburan. Eh, malah dia ngasih kamu ke aku." Belinda terkekeh.
Dia pikir hiburan yang diberikan Dini sesuatu yang lain. Namun rupanya, Dini malah mengenalkannya pada Raffa.
Raffa mengernyit.
"So? Sekarang atau nanti?"
Pertanyaan Raffa jelas memudarkan senyum Belinda.
"Apa?" Wajah polos Belinda semakin menambah rasa penasaran di hati Raffa.
Pemuda berlesung pipi itu beringsut maju lantas berbisik di telinga Belinda.
"Petualangan kita malam ini." Dengan berani Raffa mengecup telinga Belinda yang membeku di tempatnya. "Atau kita main di sini aja." Kecupan mesra itu beralih ke pipi tirus Belinda yang betah mematung.
Belinda menelan ludahnya berkali-kali. Terpaan napas Raffa yang hangat membuat darahnya berdesir. Dia hanya mampu mengerjapkan kelopak matanya tanpa bersuara. Otaknya mendadak buntu.
#####
Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya
Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala."Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya."Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang."Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apaan?""Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.
Raffa menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Panti Asuhan yang letaknya tidak jauh dari rumahnya yang dulu. Pemuda itu menatap seorang perempuan paruh baya yang tengah berbincang di halaman Panti Asuhan tersebut.Dadanya terasa sesak, lantaran dia hanya bisa memandang dari jauh sosok yang melahirkannya itu. Sosok ibu yang hampir tiga tahun terakhir ini tidak dapat disapa mau pun di peluk."Ibu ..." Cuma itu yang bisa Raffa ucapkan. Kerinduan pada sang ibu sedikit demi sedikit terobati, manakala dia mendatangi tempat ini.Tempat di mana ibunya selalu berkunjung setiap satu bulan sekali. Raffa ingat betul, pada waktu pertama kali dia menginjakkan kaki ke Panti Asuhan Muara Bunda. Pada waktu itu hari ulang tahunnya yang ke 10 tahun. Hingga detik ini dia masih menyimpan memori kenangan indah bersama ibunya."Mungkin lain waktu Raffa menemui Ibu. Semoga Ibu mau memaafkan
Sementara di rumah Belinda.Perempuan itu langsung memerintahkan asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya untuk membersihkan kamar tamu. Dia juga memasak makanan kesukaan suaminya dengan penuh semangat. Meski di hatinya merasa sedih, dengan kemungkinan yang akan terjadi. Suaminya entah mau menyentuh masakannya atau tidak. Seperti yang sudah-sudah.Belinda terus mendesah frustrasi, bukankah seharusnya dia merasa senang? Suaminya datang untuk menemuinya setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bertemu."Seandainya Mas Bima seperti suami-suami di luaran sana. Mungkin aku tidak akan merana setiap hari. Menunggu kedatangannya hampir tiap malam, yang aku tahu itu tidak akan pernah terjadi." Belinda terus bermonolog sendiri sambil menata makanan di meja dengan dibantu asisten rumah tangganya yang lain."Mbak, saya mau mandi dulu. Tolong ini nanti diterusin, ya?" ucapnya semba
Tengah malam Belinda terbangun. Dia melirik ke sisi tempat tidurnya yang kosong. Lagi-lagi, Bima menyakiti hatinya dengan tak kasat mata. Harusnya malam ini dia menghabiskan malam penuh gelora bersama suaminya itu. Melepas rindu dalam balutan hangatnya cinta sejoli yang baru bertemu.Namun, semua kehangatan itu nampaknya memang tak dapat dirasakan olehnya. Dicintai dan disayangi oleh Bima mungkin cuma ada dalam angan-angan Belinda. Bagaimana mungkin, dia bisa merasakan semua itu, jika Bima saja tak pernah sudi tidur satu kamar dengannya semenjak menikah.Pria itu memilih tidur di kamar lain dan tidak peduli dengan perasaan istrinya yang hampir tiap hari mengharapakan sentuhan dan kasih sayangnya.Malam-malam dingin seperti ini, Belinda selalu menghabiskannya sendiri. Itu sudah jadi kebiasaannya. Bersuami pun percuma, bila dia tidak pernah dianggap keberadaannya.
Di meja makan, Belinda dan Bima terlihat seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Duduk di meja yang sama, tak lantas membuat hubungan mereka jadi baik. Bima sibuk dengan sarapannya sementara Belinda sibuk dengan urusannya sendiri. Meski ekor matanya tak henti melirik sang suami yang sudah berpenampilan rapi.Bima terlihat gagah dan berwibawa. Usianya memang terbilang cukup matang. Namun, ketampanan wajah Bima tak diragukan lagi. Dewasa dan tegas, itu kesan pertama Belinda waktu pertama kali bertemu lelaki berusia 48 tahun tersebut."Aku akan pulang hari ini," ucap Bima membelah kesunyian di ruang makan luas ini. Seperti biasa, tanpa menatap wajah Belinda sama sekali.Biasanya Belinda akan sedih dan kecewa mendengar penuturan Bima. Namun, kali ini tidak lagi. Dia seolah telah kebal dan terbiasa mulai detik ini."Aku titip salam buat Mbak Marina," ujarnya, yang terkesan tidak peduli denga